Mikroplastik Nabati Terurai 7 Bulan, Harapan Pengganti Plastik Fosil
Mikroplastik hasil fragmentasi plastik dari minyak bumi membutuhkan 100-1.000 tahun agar dapat terurai.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Keberadaan mikroplastik telah menjadi keresahan banyak pihak. Ukurannya yang kecil atau kurang dari 5 milimeter menjadikannya rentan masuk dalam saluran pencernaan, peredaran darah, dan organ pernapasan makhluk hidup.
Mikroplastik yang merupakan hasil fragmentasi plastik membutuhkan waktu 100-1.000 tahun untuk terurai, tergantung jenis polimer dan kondisi lingkungan. Hal ini membuat Bumi, bahkan di pelosok kutub Arktik dan Antartika, tak luput dari polusi mikroplastik dan nanoplastik.
Karena itu, alternatif plastik dinilai sudah mendesak. Mencari dan menemukan alternatif terhadap plastik atau polimer berbahan dasar minyak bumi dan mikroplastik kini menjadi hal yang sangat penting.
Kabar baik datang dari University California San Diego (UCSD) dengan dukungan perusahaan Algenesis yang menunjukkan mikroplastik polimer nabati mereka terurai dalam waktu kurang dari tujuh bulan. Makalah ilmiah hasil riset ini ditulis oleh profesor, alumni, serta mantan ilmuwan di UCSD dan muncul di Nature Scientific Reports.
”Kami mencoba mencari bahan pengganti untuk bahan-bahan yang sudah ada, dan memastikan bahan pengganti tersebut akan terurai secara biologis pada akhir masa pakainya dan tidak akan mengumpul di lingkungan. Itu tidak mudah,” ujar profesor kimia dan biokimia Michael Burkart, salah satu penulis makalah dan salah satu pendiri Algenesis, dalam situs resmi UCSD, 21 Maret 2024.
Algenesis mengembangkan polimer berbasis alga sejak enam tahun lalu. Polimer nabati ini ditargetkan bisa terurai secara alami dalam waktu jauh lebih cepat dibandingkan polimer konvensional berbasis fosil atau minyak bumi.
”Kami memiliki banyak data yang menunjukkan bahwa material kami (plastik polimer dari alga) menghilang di dalam kompos, tetapi ini adalah pertama kali kami mengukurnya pada tingkat mikropartikel,” ucap Robert Pomeroy yang juga profesor kimia dan biokimia juga dari Algenensis.
Pengujian
Untuk menguji kemampuan biodegradasi plastik dari alga itu, tim menggiling produk tersebut menjadi mikropartikel halus. Tim peneliti kemudian menggunakan tiga alat pengukuran berbeda agar memastikan ketika mikroplastik dimasukkan ke dalam kompos, bahan tersebut dicerna oleh mikroba.
Alat yang pertama adalah respirometer. Ketika mikroba menguraikan bahan kompos, terjadi pelepasan karbon dioksida (CO2) yang diukur oleh respirometer. Hasil ini dibandingkan dengan penguraian selulosa yang dianggap sebagai standar industri dengan 100 persen kemampuan terurai secara hayati. Polimer nabati ini teruji hampir seratus persen cocok dengan selulosa.
Selanjutnya tim menggunakan flotasi air. Karena plastik tidak larut dalam air dan dapat mengapung, plastik dapat dengan mudah terangkat dari permukaan air. Dalam jangka waktu 90 dan 200 hari, hampir 100 persen mikroplastik berbahan dasar minyak bumi berhasil ditemukan. Artinya, tidak ada satu pun yang terurai secara hayati.
Hasil riset ini menunjukkan mikroplastik nabati lebih dari sekadar solusi berkelanjutan bagi siklus hidup produk akhir serta ramah bagi tempat pembuangan sampah yang padat.
Di sisi lain, setelah 90 hari, hanya 32 persen mikroplastik berbahan dasar alga yang berhasil ditemukan. Hal ini menunjukkan lebih dari dua pertiganya telah terurai secara hayati. Setelah 200 hari, hanya tersisa 3 persen mikroplastik yang menunjukkan 97 persen telah hilang.
Pengukuran terakhir melibatkan analisis kimia melalui kromatografi gas/spektrometri massa (GCMS) yang mendeteksi keberadaan monomer yang digunakan untuk membuat plastik. Hasil analisis menunjukkan, polimer tersebut terpecah menjadi bahan tanaman awalnya. Mikroskop pemindaian elektron lebih lanjut menunjukkan mikroorganisme memproses mikroplastik yang dapat terbiodegradasi selama pengomposan.
”Bahan ini adalah plastik pertama yang terbukti tidak menghasilkan mikroplastik saat kita menggunakannya,” kata Stephen Mayfield, rekan penulis makalah, profesor Sekolah Ilmu Biologi dan salah satu pendiri Algenesis.
Ia mengatakan hasil riset ini menunjukkan mikroplastik nabati lebih dari sekadar solusi berkelanjutan bagi siklus hidup produk akhir dan ramah bagi tempat pembuangan sampah yang padat.
Menciptakan alternatif ramah lingkungan terhadap plastik berbahan dasar minyak bumi merupakan satu bagian dari jalan panjang menuju kelangsungan hidup. Tantangan saat ini adalah menggunakan material baru pada peralatan manufaktur yang sudah ada sebelumnya dan awalnya dibuat untuk plastik tradisional.
Algenesis telah bermitra dengan beberapa perusahaan untuk membuat produk yang menggunakan polimer nabati yang dikembangkan di UCSD. Beberapa yang dicontohkan adalah Trelleborg untuk digunakan dalam kain berlapis dan RhinoShield untuk digunakan dalam produksi pelindung (casing) ponsel.
”Saat kami memulai pekerjaan ini, kami diberi tahu bahwa hal itu tidak mungkin,” kata Burkart. ”Sekarang kami melihat kenyataan yang berbeda. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi kami ingin memberikan harapan kepada masyarakat. Hal ini mungkin saja terjadi,” kata Mayfield.