Larangan Menambang di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Konstitusional
Larangan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kini jadi konstitusional jika tak penuhi persyaratan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak untuk menghapus larangan menambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diminta oleh perusahaan nikel yang beroperasi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, PT Gema Kreasi Perdana. MK menilai, larangan tersebut dimaksudkan untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari kegiatan yang mengancam kehidupan seluruh makhluk beserta ekosistemnya. Larangan penambangan kini ditingkatkan tak lagi sebatas aturan biasa melainkan konstitusional jika tak memenuhi persyaratan.
Hal tersebut terungkap dalam putusan uji materi Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 35 Huruf k Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang dibacakan pada Kamis (21/3/2024) dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo. Permohonan tersebut diajukan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), yang diwakili oleh direktur utamanya, Rasnius Pasaribu. PT GKP merupakan perusahaan tambang yang mengantongi izin usaha pertambangan operasi produksi di wilayah Pulau Wawonii seluas 850 hektar yang diterbitkan Bupati Konawe.
Dalam pertimbangannya, MK mengutip tujuan dibentuknya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologinya secara berkelanjutan. Selain itu, UU itu juga dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan dan sinergi pemerintah dengan pemda dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau kecil, serta memperkuat peran Masyarakat dan lembaga pemerintah, dan lain-lain.
MK menegaskan, ada banyak hal yang wajib diperhatikan dan dipenuhi saat pemerintah mengeluarkan izin pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, misalnya izin lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem perairan pesisir, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hal lintas damai bagi kapal asing.
Hal ini sejalan dengan penerapan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil supaya pemanfaatnya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati, tidak mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang, dan perlunya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya.
Hal ini sejalan dengan penerapan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil supaya pemanfaatnya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati, tidak mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang, dan perlunya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya.
Perhatikan UU Penataan Ruang
MK juga menyatakan tentang pentingnya memperhatikan UU Penataan Ruang dalam pemberian izin pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut Enny, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami PT GKP, tidak terlaksananya izin yang dimiliki perusahaan tersebut adalah karena pengaturan penataan ruang daerah yang menjadi dasar diterbitkannya izin tidak sejalan dengan penataan ruang dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau terpencil.
Pembiaran terhadap penerbitan izin yang tidak sejalan dengan penataan ruang dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil, katanya, justru akan menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak masyarakat atas kelestarian lingkungan yang dijamin dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, juga dapat mengancam kelestarian lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai penyangga kedaulatan NKRI.
”Selain itu, juga dapat mengancam kelestarian lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai penyangga kedaulatan NKRI,” kata Enny.
Karena itu, MK mengimbau agar pemerintah daerah wajib memperhatikan secara sungguh-sungguh persyaratan kumulatif di dalam Pasal 23 Ayat (3) UU No 1/2014 dan perundang-undangan terkait saat menerbitkan izin bagi kegiatan di luar kepentingan yang diprioritaskan.
Karena secara filosofis, pulau-pulau kecil sangat rentan dan terbatas sehingga memerlukan perlindungan khusus. Termasuk terhadap kegiatan yang dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam doktrin hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk beserta ekosistem di atasnya.
Larangan menambang pasir
MK juga menyatakan larangan menambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti diatur di Pasal 35 Huruf k UU PWP3K konstitusional. Pasal itu melarang penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Kondisi seperti dirumuskan Pasal 35 Huruf k itu harus dipenuhi untuk menjadikan kegiatan penambangan mineral tidak dilarang. Menurut MK, keadaan demikian selaras dengan dasar pemikiran dibentuknya UU tersebut, yaitu agar pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau terpencil dapat dilakukan secara berkelanjutan, menghargai hak masyarakat adat/lokal, serta mengeliminasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan alam.
UU tersebut juga mengatur ancaman pidana bagi pelanggaran terhadap larangan tersebut, yaitu paling singkat 2 tahun penjara dan paling lama 10 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp 10 miliar. Menurut MK, ancaman pidana itu dimaksudkan untuk mengendalikan kegiatan penambahan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
”Karena secara filosofis, pulau-pulau kecil sangat rentan dan terbatas sehingga memerlukan perlindungan khusus. Termasuk terhadap kegiatan yang dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam doktrin hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk beserta ekosistem di atasnya,” kata Enny.