Meredam Konflik Harimau Sumatera dan Manusia di Lampung
Konservasi harimau sumatera sangat penting untuk melibatkan masyarakat yang berinteraksi langsung di lapangan.
Konflik antara satwa liar dengan manusia masih terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Terbaru, konflik manusia dengan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilaporkan terjadi di Pekon Sumber Agung, Kecamatan Suoh dan Pekon Bumihantatai, Kecamatan Bandarnegeri Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Lampung.
Harimau sumatera telah menyerang dua orang warga di wilayah yang berbatasan dengan habitat predator tersebut di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada 8 Februari dan 21 Februari 2024. Kemudian harimau juga kembali menyerang seorang warga yang sedang melakukan aktivitas berkebun pada 11 Maret 2024.
Warga yang jengah terhadap terkaman harimau ini pun meluapkan emosinya dengan membakar kantor Resort Suoh TNBBS pada Senin (11/3/2024) sore. Warga marah terhadap petugas yang sampai sekarang belum berhasil menangkap harimau tersebut. Padahal, korban terkaman harimau terus bertambah sehingga warga masih diliputi keresahan.
Baca juga: Konflik Manusia-Harimau Berimbas Pembakaran Kantor Resort Suoh TNBBS di Lampung Barat
Bila dirunut jauh ke belakang, penyebab konflik antara harimau dengan manusia yang terjadi selama ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada satwa liar tersebut. Banyak hasil kajian menunjukkan, harimau yang berkonflik sering terjadi pada wilayah hutan yang sudah terdegradasi.
Selain itu, konflik juga terjadi karena individu harimau cenderung agresif dan mengalami kesulitan fisik seperti sakit atau tua sehingga berdampak pada sulitnya menangkap satwa liar. Kondisi ini kemudian membuat mereka memilih mengejar mangsa yang lebih mudah ditangkap seperti kerbau, kambing, bahkan manusia.
Meski demikian, manusia tidak bisa sembarangan menangkap maupun membunuh harimau sumatera. Satwa liar ini merupakan fauna dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018.
Larangan membunuh satwa dilindungi juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dalam Pasal 21 ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Upaya mencegah hingga meredam konflik ini pun sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Ketentuan tersebut di antaranya mengatur terkait satwa yang membahayakan kehidupan manusia.
Secara prinsip, setiap satwa liar termasuk harimau sumatera yang keluar mendekati areal garapan atau pemukiman manusia dan membahayakan masyarakat harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup. Kemudian harimau akan dikembalikan ke habitatnya.
Namun, bila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa tersebut dapat dititipkan di lembaga konservasi untuk nantinya dirawat dan direhabilitasi. Adapun pengelolaan di luar habitat jenis satwa liar yang dilindungi hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau lembaga dan masyarakat yang sudah menjalin kerja sama.
Langkah penanganan
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Satyawan Pudyatmoko meyakini bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran dalam menanggulangi konflik yakni tidak lagi diperbolehkan menyakiti atau melukai satwa. Luapan emosi dan kekesalan warga kemungkinan dipicu berbagai kondisi seperti keamanan, kenyamanan, dan faktor ekonomi.
“Kami berpesan dan mengimbau agar seluruh masyarakat tetap tenang dan tidak bertindak anarkis. Tim Gabungan lapangan KLHK bersama pemerintah daerah, TNI, kepolisian, dan mitra kerja lainnya tetap bekerja untuk segera menyelesaikan persoalan konflik ini,” ujarnya.
Saat ini, KLHK telah mengambil langkah-langkah untuk menangani konflik antara harimau sumatera dan manusia di Lampung Barat. KLHK juga telah membentuk tiga tim gabungan dari Balai Besar TNBBS dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung.
Pertama, tim patroli dibentuk untuk melakukan pemantauan-patroli di lokasi konflik. Tim ini juga bertugas mencari tanda-tanda keberadaan harimau sumatera terbaru berupa jejak dan bukti-bukti lain serta memastikan lokasi pemasangan kandang jebak.
Upaya melindungi harimau juga akan melindungi hutan sebagai habitatnya.
Kedua, dibetuk tim penangkapan dan evakuasi satwa yang bertugas melakukan pemasangan kandang jebak dan kamera pemantau (camera trap) serta melakukan evakuasi satwa. Sementara tim ketiga yakni pengamanan masyarakat bertugas menenangkan, memberikan imbauan, dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
“Mengingat upaya penangkapan harimau sumatera melalui pemasangan empat unit kandang jebak belum berhasil, maka diperlukan tindakan penyelamatan lebih lanjut,” kata Satyawan.
Upaya penyelamatan lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan metode lain yakni peralatan pembiusan atau anestesi oleh tim ahli dari Taman Safari Indonesia yang mempunyai kapasitas teknis dan berpengalaman dalam penanganan konflik satwa liar. Tim tersebut juga dilengkapi dengan perlengkapan medis dan obat-obatan.
Menurut Satyawan, implementasi dan kepatuhan seluruh pihak termasuk masyarakat terhadap berbagai peraturan yang telah diterbitkan pemerintah berpengaruh besar terhadap kejadian konflik manusia dan satwa liar. “Ke depan, kita harus bisa berbagi ruang dengan berbagai hidupan liar. Sebab, satwa liar juga mempunyai fungsi dan peran dalam sistem penyangga kehidupan,” ungkapnya.
Pelibatan masyarakat
Ketua Forum Harimau Kita Erni Suyanti dalam diskusi daring beberapa waktu lalu menegaskan, upaya konservasi harimau sumatera sangat penting untuk melibatkan masyarakat. Hal ini karena mereka berinteraksi langsung dengan satwa tersebut di habitatnya secara langsung dan turut terdampak bila terjadi interaksi negatif.
Pelibatan masyarakat ini juga penting mengingat terdapat kearifan lokal tentang harimau di beberapa daerah. Sebagai contoh warga di Desa Ladang Palembang di Kabupaten Lebong, Bengkulu, mempercayai bahwa Bukit Sa’ang Macan merupakan tempat harimau jelamaan atau renkarnasi leluhur sehingga mereka berupaya senantiasa menjaga hutan.
Adanya kepercayaan lokal juga membuat masyarakat di perbatasan kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu di Bengkulu Tengah dapat hidup berdampingan dengan harimau sumatera. Bahkan, masyarakat tidak berani membunuh maupun memasang jerat di habitat harimau sumatera tersebut.
Baca juga : Karakteristik Individu Harimau yang Berkonflik Perlu Dipahami
Setelah adanya pendampingan dari Wildlife Conservation Society (WCS) sejak 2008, masyarakat di Desa Pekon Rajabasa, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, juga timbul kesadaran untuk dapat hidup berdampingan dengan harimau sumatera. Mereka juga kini membagi ruang dan waktu untuk aktivitas manusia dan harimau sumatera.
“Upaya melindungi harimau juga akan melindungi hutan sebagai habitatnya. Selama ini, masyarakat lokal juga memiliki ketergantungan tinggi dengan alam seperti memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan sumber air. Jadi, masyarakat sekitar akan turut terdampak bila terdapat masalah dengan harimau atau habitatnya,” katanya.