Djamaludin Ancok, Guru Besar Psikologi yang Jenaka Itu Berpulang
Djamaludin Ancok dikenal sebagai dosen jenaka. Dia berperan penting menjalin kerja sama dengan lembaga di luar negeri.
SLEMAN, KOMPAS — Guru Besar Purnatugas Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Djamaludin Ancok, berpulang dalam usia 77 tahun. Selama hidupnya, Djamaludin dikenal sebagai dosen jenaka dengan kepakaran di bidang psikologi industri dan organisasi.
Djamaludin ditemukan meninggal di rumahnya di Dusun Sambilegi Kidul, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (15/3/2024) sekitar pukul 18.30 WIB.
Kepala Polsek Depok Timur Komisaris Masnoto menjelaskan, penemuan jenazah Djamaludin berawal dari komunikasi istri almarhum, yang sedang berada di Jakarta, dengan salah seorang tetangga di Dusun Sambilegi Kidul. Awalnya, istri almarhum meminta tetangga itu mengecek kondisi suaminya. Alasannya, Djamaludin tidak bisa ditelepon dan tidak terlihat di kamera pemantau (CCTV) di rumah.
Setelah itu, tetangga itu bersama dua rekan mendatangi rumah Djamaludin. Saat itu, pintu rumah Djamaludin terkunci. Dia juga tidak merespons panggilan. Setelah pintu rumah dibongkar, jenazah Djamaludin ditemukan di lantai kamar tamu.
Selain kepada keluarga, hal tersebut juga dilaporkan ke polisi. Jenazah Djamaludin lalu dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dari hasil pemeriksaan, kata Masnoto, tidak ditemukan tanda kekerasan pada tubuh korban.
”Menurut pemeriksaan medis, korban meninggal dua sampai tiga hari (sebelumnya),” katanya saat dihubungi, Sabtu (16/3/2024).
Masnoto menambahkan, berdasarkan keterangan tetangga, Djamaludin terakhir terlihat pada Rabu (13/3/2024) sore. Selama beberapa waktu terakhir, dosen yang telah pensiun itu disebut sendirian di rumah. Menurut rencana, jenazah Djamaludin akan dimakamkan pada Sabtu siang di Sleman.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahmat Hidayat menuturkan, Djamaludin merupakan dosen yang mampu menyampaikan materi kuliah secara menarik. ”Untuk memberi pemahaman tentang teori keilmuan, beliau kerap menggunakan ilustrasi lucu dan menarik perhatian. Gaya mengajar jenaka ini yang kemudian menjadi gaya khas dari Prof Djamaludin Ancok,” ujarnya.
Menurut Rahmat, Djamaludin Ancok juga dikenal sebagai pakar dengan dasar keilmuan psikologi sosial. Dalam perjalanan keilmuannya, dia pun mendalami psikologi industri dan organisasi.
Rahmat menambahkan, Djamaludin diangkat sebagai dosen UGM pada 11 Desember 1974. Dia kemudian menempuh pendidikan doktor di Indiana University, Amerika Serikat, tahun 1977-1982. Menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat itu, Djamaludin kehilangan salah seorang putranya. Namun, dia tetap berangkat melanjutkan studinya.
”Mengingat posisinya sebagai ayah, pasti beliau masih dalam situasi sangat berduka dan berat meninggalkan keluarga. Namun, beliau memutuskan tetap pergi. Kepergian beliau ketika itu memberikan pesan mendalam kepada kami, para dosen. Dalam kondisi apa pun, kami tetap harus fokus pada tugas,” ungkap Rahmat.
Rintis kerja sama
Menurut Rahmat, Djamaludin juga berkontribusi penting merintis kerja sama Fakultas Psikologi UGM dengan universitas dan lembaga di luar negeri. Melalui kerja sama itu, dia membuka jalan bagi dosen-dosen UGM mengajar di mancanegara.
Rahmat menuturkan, dirinya menjadi salah satu dosen yang ikut merasakan manfaat dari kerja sama yang dirintis Djamaludin. Dari kerja sama tersebut, Rahmat mendapat kesempatan mengajar di Swedia.
Pada 31 Agustus 2011, Djamaludin pensiun sebagai dosen Fakultas Psikologi UGM. Meski begitu, dia masih kerap diundang ke UGM menghadiri berbagai acara. Rahmat terakhir kali bertemu Djamaludin saat bersama-sama melakukan takziah salah satu dosen Fakultas Psikologi UGM yang meninggal pada pertengahan Februari 2024.
”Di sela-sela perbicangan santai tersebut, beliau masih sempat mengingatkan tentang pentingnya menjaga relasi dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak di luar negeri,” ujar Rahmat.
Sementara itu, Dekan Fakultas Psikologi UGM periode 2016-2021, Faturochman, mengatakan, dirinya memiliki relasi dekat dengan Djamaludin. Sebab, Faturochman sempat menjadi murid Djamaludin saat menempuh pendidikan S-1 dan S-3. Selain itu, Faturochman juga sempat menjadi asisten dan mitra dalam beberapa penelitian Djamaludin.
Sama seperti Rahmat, Faturochman mengatakan, gaya jenaka memang menjadi ciri khas yang sulit dilupakan dari figur Djamaludin. Dia menyebut, cerita lucu dari almarhum tidak pernah membosankan dan selalu menyenangkan untuk didengar.
”Walaupun sudah sepuluh kali mendengar cerita lucunya, saya pasti tetap tertawa. Leluconnya memang banyak sekali variasinya,” kata Faturochman.
Tak hanya saat mengajar di UGM, Djamaludin juga disebut kerap berkelakar dan bergaya jenaka saat menjalin relasi dengan kampus-kampus di luar negeri. ”Saya rasa, karena lelucon-lelucon beliaulah, akhirnya kerja sama dengan luar negeri itu bisa mulus dilakukan,” kata Faturochman.
Di tengah kondisi usianya yang semakin sepuh, Djamaludin masih aktif mengajar dan melakukan kajian. Sejak pandemi Covid-19, Djamaludin, misalnya, aktif mengajar secara daring di Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat.
Faturochman mengatakan, terakhir kali bertemu dengan Djamaludin sekitar tiga minggu lalu. Ketika itu, dia mengantarkan almarhum takziah ke salah satu kolega yang baru saja meninggal. Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, Djamaludin sama sekali tidak mengeluhkan sakit.
Faturochman menuturkan, Djamaludin memang tidak pernah mengeluh sakit kecuali saat ditanya. Ketika sudah kelihatan kesulitan berjalan, misalnya, dia pun baru mengaku mengalami gangguan asam urat setelah ditanya.
Namun, dalam kondisi sakit pun, Djamaludin tetap berusaha menjalankan tugas saat diundang mengajar. Djamaludin pun tidak ingin orang lain ikut cemas atau kasihan melihat kondisinya sehingga dia kerap menyertakan guyonan saat menceritakan kondisinya.
”Biasalah, asam urat, kan,penyakitnya orang pintar,” ucap Faturochman menceritakan guyonan almarhum.
Selamat jalan, Prof Djamaludin....