Berita Pemilu 2024 di Media Belum Ramah Disabilitas
Pelibatan disabilitas dalam pembangunan infrastruktur digital penting agar semua bisa mengakses informasi yang benar.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberitaan di media digital terkait Pemilihan Umum 2024 masih belum inklusif, banyak kelompok rentan, seperti disabilitas, kesulitan mendapatkan informasi tentang calon pemimpin mereka sebelum memilih. Ini menyebabkan kelompok disabilitas menjadi sangat rentan terhadap berita bohong atau hoaks.
Hal ini terungkap dalam riset yang dilakukan Cut Meutia Karolina dan Irwa Rochimah Zarkasi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia. Mereka melakukan diskusi kelompok terpumpun bersama sejumlah kelompok disabilitas tunanetra di tiga kota, yakni Jakarta, Bandung, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Cut Meutia menjelaskan, pada media daring terlalu banyak pop-up iklan dan sederet halaman selanjutnya yang tidak memunculkan berita lengkap sehingga kelompok disabilitas hanya mendapatkan sebagian informasi saja. Di media sosial pun sama, informasi yang biasanya berbentuk gambar sering kali tidak dilengkapi dengan fitur audio untuk menjelaskan isi gambar tersebut.
”Di Indonesia ada masalah besar terkait kesetaraan akses digital yang sangat menentukan pada terpaan informasi bagi tunanetra. Banyak sekali media daring, laman, unggahan di media sosial yang tidak aksesibel bagi mereka,” kata Cut Meutia dalam seminar yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Rabu (13/3/2024).
Padahal, kelompok tunanetra merupakan kelompok yang aktif menggunakan media sosial dan sering bertukar informasi secara digital, baik dengan kelompoknya maupun nondisabilitas. Ketika proses pertukaran informasi tersebut tidak melalui verifikasi, sama saja dengan menyebarkan misinformasi, bahkan hoaks.
Bagi tunanetra yang memiliki literasi baik, dia akan bertanya kepada kelompoknya untuk memverifikasi secara manual informasi yang didengarnya. Riset ini menunjukkan hanya tunanetra di DI Yogyakarta yang familier memverifikasi informasi melalui laman atau aplikasi cek fakta, sedangkan di Jakarta dan Bandung tidak.
Kita masih akan menjalani pilkada serentak, seharusnya semua informasi harus disampaikan dalam bentuk yang universal. Kalau tidak, ya, mereka belum memperhitungkan pemilih tunanetra sebagai kelompok yang perlu dijangkau suaranya.
Oleh karena itu, peneliti mendorong semua pihak untuk melibatkan kelompok disabilitas tunanetra dalam membangun infrastruktur digital yang inklusif. Selama ini, mereka lebih sering dilibatkan pada tahap akhir saat uji coba fitur bagi disabilitas yang dibuat sebuah laman media daring atau aplikasi digital.
Pemerintah juga perlu membuat aturan mengenai kewajiban media daring atau penyedia jasa dan layanan informasi digital untuk menyediakan fitur yang ramah disabilitas, termasuk pada layanan informasi pemerintahan. Selain itu, kapasitas literasi digital kelompok disabilitas juga perlu diupayakan menjadi lebih baik.
”Kalau kondisinya tidak aksesibel seperti ini, akan sangat mudah menjebak tunanetra pada informasi hoaks,” ucap Cut Meutia.
Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati mengakui belum semua penyandang tunanetra melek digital, masih banyak yang belum bisa mengakses fitur pembaca layar. Namun, dia juga menilai belum semua media daring dan media sosial ramah disabilitas sehingga menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan informasi seputar Pemilu 2024.
Dia berharap para pemangku kepentingan di bidang informasi dan kepemiluan, khususnya Komisi Pemilihan Umum dan partai politik, untuk mulai mengafirmasi hak pemilih mereka yang jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan, jumlah tunanetra sekarang sekitar 1,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia, atau sekitar 3,75 juta orang. Sementara jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5 persen.
”Kita masih akan menjalani pilkada serentak, seharusnya semua informasi di ranah publik harus disampaikan dalam bentuk yang universal. Kalau tidak, ya, mereka belum memperhitungkan pemilih tunanetra sebagai kelompok yang perlu dijangkau suaranya,” kata Aria.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Masduki berpandangan, kondisi ini menciptakan iklim demokrasi yang buruk. Padahal, keterbukaan informasi terkait gagasan para kontestan pemilu adalah kunci yang menentukan masa depan bangsa.
Ditambah lagi percakapan politik yang muncul di publik hanya sekadar percakapan informal yang tidak substansial. Pertumbuhan media sosial yang menggerus media massa juga turut berperan menyuburkan percakapan itu lalu menimbulkan disinformasi, misinformasi, dan mal informasi di masyarakat.
”Kita ada di situasi demokrasi Indonesia yang kabur, bagaimana berita sembako lebih mendominasi para pemilih ketimbang informasi yang cerdas dan relevan berkaitan dengan hak mereka sebagai pemilih,” kata Masduki.
Selain itu, kekaburan informasi di media massa tidak terlepas dari intervensi pemilik media di ruang redaksi. Hal ini menandakan kekaburan informasi di masyarakat bukan tercipta secara organik, melainkan sudah tersistematis karena lemahnya regulasi yang mengganggu independensi jurnalistik.