Anggaran Pendidikan Tinggi Minim, Akses Kuliah di Indonesia Masih Berat
Pendidikan di Indonesia semakin baik dengan program wajib belajar. Namun, akses ke perguruan tinggi masih berat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akses pendidikan dasar dan menengah di Indonesia semakin membaik dengan pembiayaan yang terjangkau, bahkan gratis untuk sekolah negeri. Sebaliknya, akses untuk kuliah di perguruan tinggi Indonesia masih berat karena tingginya biaya kuliah dan minimnya anggaran pendidikan tinggi yang disediakan negara.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam, di Jakarta, Rabu (13/3/2024), mengatakan, anggaran fungsi pendidikan minimal 20 persen APBN belum sepenuhnya mampu mendukung pembiayaan pendidikan tinggi, bahkan di perguruan tinggi negeri (PTN). Karena itu, pembiayaan pendidikan tinggi hingga saat ini prinsipnya masih gotong royong, yaitu investasi bersama antara pemerintah dengan masyarakat serta pihak lain.
Di acara bincang edukasi bertajuk Mengupas Skema Terbaik dan Ringankan Pendanaan Mahasiswa beberapa waktu lalu, Nizam memaparkan, dari berbagai data yang dikompilasi tahun 2020, rata-rata biaya total pendidikan Indonesia sekitar 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 28 juta/mahasiswa. Jika dibandingkan India yang berkisar 3.000 dolar AS, biaya di Indonesia berkisar 75 persennya.
Namun, jika dibandingkan dengan Malaysia, maka biaya pendidikan di Indonesia baru seperempatnya, karena biaya kuliah di sana sekitar 7.000 dolar AS/mahasiswa. Adapun, di Jepang biayanya mencapai 8.000 dolar AS, Hongkong mencapai 12.000 dolar, Singapura mencapai 25.000 dolar AS, Australia berkisar 20.000 dolar AS, dan Amerika 23.000 dolar AS.
Hingga saat ini, subsidi biaya kuliah dari pemerintah dengan standar minimum di PTN baru sekitar 28 persen. Anggaran Diktiristek tahun 2024 sekitar Rp 33,6 triliun, tetapi itu termasuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) atau dana masyarakat sekitar Rp 7 triliun. Saat ini, sebagian besar anggaran Diktiristek habis digunakan untuk belanja pegawai.
“Jika mau menyubsidi seperti di Malaysia, butuh Rp 110 triliun atau empat kali lipat anggaran PTN, belum bantuan PTS. Kalau mau seperti Australia kebutuhan mencapai Rp 1.000 triliun, tentunya tidak mungkin dengan APBN yang ada. Karena itulah, pembiayaan gotong royong sebagai investasi bersama pemerintah dan masyarakat untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang kompetitif,” kata Nizam.
Menurut Nizam, anggaran 20 persen fungsi pendidikan dari APBN, tiap tahunnya lebih dari 50 persen ditransfer ke daerah. Adapun, anggaran ini di pusat tersebar di 28 kementerian/lembaga pemerintah, termasuk Kemendikbudristek.
Dari alokasi Kemendikbudristek tahun 2023 sekitar Rp 81 triliun, sepertiga dialokasikan untuk jaring pengaman sosial untuk afirmasi beasiswa anak sekolah hingga mahasiswa. “Anggaran untuk PTN saja masih kecil. Kalau bicara kualitas butuh pembiayaan lebih besar,” kata Nizam.
Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal yang juga Rektor Universitas Yarsi Jakarta mengatakan, secara makro memang pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah. Karena itu, perlu terobosan untuk meningkatkan dukungan pendanaan pendidikan tinggi, termasuk bagi perguruan tinggi swasta (PTS).
Fasli mengatakan, potensi pendanaan dari pemerintah daerah (pemda) juga harus mulai didorong. Selama ini terkesan pembiayaan pendidikan tinggi hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Padahal, potensi pendanaan untuk mendukung anak dari keluarga miskin dapat berkuliah, sebenarnya dapat disediakan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, serta anggaran desa.
“Perlu ada kepastian keberlanjutan pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu dari usia sekolah hingga kuliah. Jika alokasi Kartu Indonesia Pintar atau KIP Kuliah tidak mencukupi untuk sejumlah calon mahasiswa yang terdata sejak dari bangku sekolah, pemda dapat mengusahakan pembiayaannya. Bahkan, bisa dipastikan dari tingkat desa karena ada anggaran desa dan badan usaha milik desa,” paparnya.
Fasli menyoroti, pemberian KIP Kuliah untuk PTS sebenarnya justru memberatkan. Sebab, alokasi uang kuliah mahasiswa mengacu pada besaran uang kuliah Tunggal (UKT) di PTN, dan UKT PTS dengan kualitas yang baik biaya operasionalnya lebih mahal.
“Untuk KIP Kuliah di PTS semestinya perlu disesuaikan. Setidaknya bisa disubsidi 70-80 persen biaya kuliah, itu sudah membantu. Bukannya PTS tidak mau memperbanyak beasiswa KIP Kuliah, namun bagi universitas seperti Yarsi, misalnya, tiap menambah satu mahasiswa KIP, jadi rugi tiga kali lipat karena (harus) menyubsidinya tinggi. Jadi, PTS berdarah-darah memberikan KIP Kuliah,” kata Fasli.
Sementara itu, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka di Jakarta Elin Driana mengatakan, dengan anggaran pendidikan tinggi yang terbatas dan kebijakan saat ini, akses berkuliah lebih diberikan bagi keluarga berada. Apalagi, PTN dengan seleksi mandiri memberi peluang menetapkan UKT tertinggi yang mampu diakses keluarga berada.
“Katanya pembiayaan berkeadilan, nyatanya belum, terutama masih belum adil untuk mereka yang berpendapatan menengah, yang UKT-nya juga ditetapkan tinggi,” kata Elin.
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin mengatakan, biaya kuliah tinggi tidak terhindarkan. Sebab, biaya operasional kampus, khususnya PTS terus meningkat dan dibebankan kepada mahasiswa. Biaya investasi juga meningkat dan inflasi tinggi.
Didin juga menyoroti kebijakan pemerintah yang ambigu sehingga beban biaya kuliah tinggi. “Perguruan tinggi itu kan ditetapkan nirlaba, tapi perlakuannya tetap seperti lembaga bisnis. Seharusnya ada perlakukan khusus bagi lembaga pendidikan tinggi dari pemerintah pusat dan daerah,” ujar Didin.
Menurut Didin, ada sejumlah kebijakan yang langsung berdampak pada penurunan biaya kuliah. Sebagai contoh pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk perguruan tinggi tetap dianggap komersial. Padahal jika ada pemotongan bisa saja dipakai untuk membantu pembiayaan kuliah mahasiswa yang terkendala biaya, Demikian juga terkait pembayaran air dan Listrik.
“Memperlakuan perguruan tinggi bukan sama seperti lembaga bisnis, bisa jadi keberpihakan pemerintah. Asal jelas saja aturannya, supaya pengurangan biaya ini memang untuk mendukung operasional PT, bukan untuk yayasan,” kata Didin.
Menurut Didin, pemerintah sebenarnya dapat melanjutkan dosen DPK, yakni dosen aparatur sipil negara (ASN) yang ditempatkan di PTS. Bagi PTS, hal ini dapat mengurangi beban pembiayaan, karena gaji dosen dibayar pemerintah, sehingga dana dapat dialokasikan untuk mahasiswa dan peningkatan kualitas perguruan tinggi.
Berdasarkan data yang diakses dari laman Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), kualitas PT masih harus banyak diperbaiki. Untuk PTS, akreditasi program studi sebagian besar masih di kategori baik (5.887 prodi), baik sekali (1.969 prodi), dan unggul (699 prodi). Hal yang sama di perguruan tinggi kementerian/lembaga maupun perguruan tinggi agama.