Dari Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah sampai Makan Siang Gratis
Program peningkatan gizi bagi siswa sekolah telah lama berjalan. Program ini harus tepat sasaran.
Indonesia akan mulai melaksanakan program pemberian makan siang dan susu gratis harian bagi siswa pendidikan anak usia dini hingga jenjang menengah atas pada masa kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang unggul dalam pemilihan presiden periode 2024-2029.
Program makan siang gratis ini diklaim bisa mengatasi anak Indonesia bebas agar bebas dari masalah kurang gizi akut demi menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cerdas menuju Indonesia Emas 2045.
Perdebatan mengenai makan siang gratis bagi puluhan juta anak sekolah itu masih menyisakan banyak pertanyaan, antara lain, apakah pemberian makan siang gratis ini untuk semua anak tanpa terkecuali, dilaksanakan tiap hari, hingga alokasi dananya dari mana?
Selain itu, sempat pula mencuat usulan untuk memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tetapi ditolak sejumlah kalangan. Alasan penolakan tersebut adalah, jika tidak ada penambahan biaya BOS, hal itu akan merugikan siswa dan guru. Pihak sekolah pun bertambah beban dalam melaksanakan program makan siang gratis.
Baca juga: Mengalkulasi Nilai Program Makan Siang Gratis
Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, yang juga Rektor Universitas Yarsi, seusai diskusi bertema ”Mengupas Skema Terbaik dan Ringankan Pendanaan Mahasiswa”, di Jakarta, Selasa (5/3/2024), menilai, pemberian makan siang gratis bagi anak sekolah itu cukup baik. Namun, hal itu belum tentu layak jadi program prioritas saat ini.
Apalagi, pemanfaatan anggaran negara, termasuk anggaran fungsi pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum optimal, terutama untuk mendukung akses, mutu, dan relevansi dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi dan pendidikan di luar sekolah.
Fasli mengingatkan, jika tetap menjadi prioritas, pelaksanaan program makan siang gratis lebih baik mengacu pada program pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) yang diprioritaskan untuk daerah tertinggal atau miskin. Pelaksanaannya pun tiga hari per minggu karena mengacu pada keterbatasan anggaran.
Atasi kurang gizi
Di Indonesia, program makanan untuk pendidikan pernah dijalankan pada periode tahun 2010-2011. Pada tahun 2010, makanan tambahan berupa kudapan diberikan kepada 1.385.000 siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar serta raudlatul atfal dan madrasah ibtidaiah di 27 kabupaten dan kota di 27 provinsi yang termasuk daerah tertinggal.
Program PMTAS diluncurkan pada 13 Januari 2010 bersama dengan tujuh menteri lain. ”Bahan makanan menggunakan produk lokal sehingga program ini, selain meningkatkan gizi anak, juga bisa menggerakkan ekonomi lokal,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat itu, seperti dikutip dari Kompas (14/1/2010).
Baca juga: Anak Usia Sekolah Alami Banyak Masalah Kesehatan dan Gizi
Pelaksanaan PMTAS tersebut mengacu pada tingginya persoalan gizi yang dihadapi anak-anak Indonesia. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukkan, prevalensi kekurangan gizi pada anak-anak berusia di bawah lima tahun atau balita sebesar 18,4 persen. Karena itu, perlu intervensi perbaikan gizi.
Usai PMTAS, program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah mulai tahun 2016 dilakukan terbatas lewat Program Gizi Anak Sekolah (Progas) di jenjang sekolah dasar (SD). Pada 2016, Progas dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Banten dengan memberi sarapan siswa selama 96 hari.
Pada tahun 2017, Progas dilaksanakan di lima provinsi, yakni NTT, Papua, Papua Barat, Maluku, dan Banten, melalui kegiatan makan bersama selama 120 hari.
Sarat masalah
Meski demikian, berdasarkan kajian bertajuk ”Evaluasi Program Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMTAS): Ringkasan Eksekutif Tahun 2013” oleh Program Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan (ACDP) Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), implementasi PMTAS menghadapi banyak kendala.
Program yang sebenarnya punya dampak positif untuk memotivasi siswa ke sekolah serta meningkatkan kemampuan belajar siswa ini tidak berjalan seperti pedoman yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan pengucuran dana yang tidak lancar hingga kesiapan para pelaku di lapangan terkait dengan gizi anak.
Ketua Tim/Research Specialist Djoko Kartono menjelaskan, pelaksanaan PMTAS bertujuan untuk memperbaiki asupan gizi; memperbaiki ketahanan fisik; meningkatkan kehadiran dan minat belajar; meningkatkan kesukaan akan makanan daerah yang bergizi; serta memperbaiki perilaku bersih dan sehat, termasuk kebiasaan makan yang sehat.
Selain itu, implementasi program tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan menambah pendapatan masyarakat melalui peningkatan penggunaan produksi setempat.
Selama tahun 2010 dan 2011, program tersebut dilaksanakan Kemendikbud dan Kementerian Agama (Kemenag). Pada 2010, sasaran penerima dibatasi pada murid SD umum/madrasah ibtidaiah (SD/MI) kelas 1-6, dan pada tahun 2011 anak prasekolah (TK/RA) ditambahkan ke dalam program tersebut.
Pada tahun 2011, program tersebut dilaksanakan di 27 kabupaten dalam 27 provinsi yang meliputi 1,2 juta anak TK/SD dan 180.000 murid RA/MI.
Pelaksanaan PMTAS bertujuan untuk memperbaiki asupan gizi, memperbaiki ketahanan fisik, meningkatkan kehadiran dan minat belajar, dan meningkatkan kesukaan akan makanan daerah yang bergizi.
Pengalokasian anggaran untuk makanan tambahan bagi sekolah umum (TK/SD) di wilayah barat sebesar Rp 2.500 per porsi dan Rp 2.650 per porsi di wilayah timur. Biaya satuan untuk madrasah (MI/RA) sebesar Rp 2.250 untuk wilayah barat dan Rp 2.600 untuk wilayah timur. Anggaran keseluruhan PMTAS pada tahun 2011 sekitar Rp 300 miliar.
Sasaran yang dijadwalkan pada tahun 2010 dan 2011 adalah 108 hari pemberian makan kepada anak. Program ini dimaksudkan untuk memberikan 15 persen asupan gizi harian yang dianjurkan (RDA) dari kalori (300 kalori) dan 10 persen RDA dari protein (5 gram) melalui makanan tambahan yang disiapkan petugas sekolah dan warga setempat.
Kriteria yang diutamakan dalam memilih kabupaten di tiap provinsi adalah daerah tertinggal, terpencil, dan kepulauan; kabupaten yang tinggi tingkat kemiskinannya; dan kabupaten yang tinggi persentase anak yang terhambat pertumbuhan fisiknya. Hal ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2010 sebagai dasar hukum dari PMTAS.
Masalah pendanaan
Survei dilakukan di 246 sekolah di sembilan kabupaten di Provinsi Bengkulu, Kepulauan Bangka-Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Data menunjukkan, menurut orangtua, sebanyak 20 persen anak yang menjadi sampel, makan kurang dari tiga kali sehari dan 20 persen anak berangkat ke sekolah tanpa sarapan.
Selain itu, data survei juga mengungkapkan, program PMTAS tidak mampu menjalin keterkaitan dengan program pembangunan lain yang relevan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). PKH dan UKS yang sekarang berjalan bukan merupakan fasilitas pembiayaan yang tepat untuk menyerap dana PMTAS.
Adapun Pedoman BOS dapat disesuaikan agar memungkinkan penyerapan dana PMTAS. Namun, dana BOS perlu ditambah agar mencakup dana yang diperlukan untuk program PMTAS. Apabila cara BOS yang akan digunakan, PMTAS sebaiknya ditambahkan sebagai bagian dari Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Selain itu, dana yang diterima juga mendekati akhir tahun sehingga terpaksa digunakan dengan cara tidak sesuai petunjuk teknis. Yang penting, laporan keuangan pada akhir tahun anggaran dapat disusun sebagaimana disyaratkan Kementerian Keuangan.
Dalam banyak kasus, jumlah dana yang diterima sekolah tidak cukup untuk menyediakan makanan tambahan yang sesuai jadwal pemberian makanan tambahan serta dalam jumlah yang diharapkan. Sebab, sasaran telah ditetapkan sebelum mulai tahun ajaran dan sebelum diketahuinya jumlah tepat murid yang mendaftar sekolah.
Pengalokasian dana juga tidak mempertimbangkan adanya variasi biaya dan ketersediaan produk dan bahan baku yang diperoleh di daerah setempat. Bukti juga mengindikasikan kurangnya pemahaman mengenai gizi di kalangan sebagian pelaksana program di sekolah yang kemungkinan disebabkan minimnya pelatihan.
Hasil survei juga memperlihatkan, tidak satu pun sekolah yang jadi sampel mampu mengikuti pedoman program yang mensyaratkan agar tiap anak menerima makanan tambahan tiga kali per minggu selama 108 hari dalam kurun waktu dua semester.
Dalam banyak kasus, jumlah dana yang diterima sekolah tidak mencukupi untuk penyediaan makanan tambahan sesuai dengan jadwal pemberian makanan. Sebagian sekolah di daerah terpencil menemui kesulitan untuk mengambil dana dari Kantor Pos. Akibatnya, program tidak bisa dilaksanakan secara optimal sehingga tak mencapai target peningkatan kesehatan dan gizi anak.
Ditemukan juga nilai gizi makanan tambahan PMTAS dalam hal kalori, protein, kalsium, dan zat besi jauh di bawah standar rekomendasi PMTAS. Rata-rata lebih dari 74 persen makanan tambahan di sekolah sampel memiliki jumlah kalori lebih rendah daripada standar program tersebut.
Makanan tambahan yang disediakan di lebih dari 62 persen sekolah sampel memiliki jumlah rata-rata protein di bawah standar 5 gram. Kandungan kalsium dan zat besi jauh di bawah angka kecukupan gizi (AKG).
Wawancara dan Diskusi Kelompok Terarah memberikan informasi bahwa sekolah kerap mengubah jenis makanan tambahan dengan berbagai alasan, antara lain, kesukaan murid dan ketersediaan bahan di pasar setempat. Akan tetapi, murid umumnya paling menyukai makanan tambahan dengan nilai gizi tertinggi.
Karena kecukupan gizi lewat PMTAS belum terpenuhi, secara umum perbaikan gizi dan kesehatan anak sekolah belum optimal. Hasil evaluasi menunjukkan beberapa dampak positif, seperti bertambahnya motivasi murid bersekolah dan perhatian pada pelajaran, tanda meningkatnya prestasi sekolah, memberdayakan warga, dan berkontribusi pada perekonomian setempat.
Meskipun program PMTAS hanya dilaksanakan selama dua tahun (2010 dan 2011), ada cukup bukti bahwa program tersebut memiliki nilai potensi besar. Namun, kegagalan mematuhi jadwal pemberian makanan mengakibatkan rendahnya pencapaian tujuan program. Agar tepat sasaran, pemantauan dan pengawasan perlu dilakukan pelaksana program di sekolah dan desa.