Ratusan Perempuan Turun Ke Jalan, Rayakan Hari Perempuan Internasional
Hari Perempuan Internasional menjadi momentum bagi perempuan di dunia untuk bersuara.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari Perempuan Internasional 2024 yang jatuh pada tanggal 8 Maret diperingati perempuan di sejumlah kota di Tanah Air, Jumat (8/3/2024). Di Jakarta, ratusan perempuan dari berbagai organisasi perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional dengan berjalan dari depan Kantor Badan Pengawas Pemilu hingga kawasan Monumen Nasional.
Para perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia itu berkumpul sejak pukul 07.00 dan memulai aksi memperingati Hari Perempuan Internasional atau Internasional Women’s Day (IWD) 2024 dengan berorasi. Massa kemudian melakukan long march menyusuri Jalan Thamrin hingga depan patung kuda di kawasan Monumen Nasional, Jakarta.
Pada aksi yang mengusung tema ”Jaga Demokrasi, Lindungi Hak-hak Perempuan” itu, para perempuan membawa spanduk besar dengan tulisan ”Perempuan Indonesia Geruduk Istana, Adili Jokowi Perusak Demokrasi”. Dengan mengenakan pakaian serba hitam dan ungu, peserta aksi membawa poster-poster berisi berbagai situasi perempuan.
Selama berjalan menuju kawasan Monas, para perempuan bergantian naik di sebuah truk kecil yang berada di bagian depan peserta aksi, kemudian meneriakkan sejumlah tuntutan. Pada orasi tersebut, mereka menuntut pemerintah memberikan perhatian pada isu perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia.
Hari Perempuan Internasional merupakan tonggak perjuangan perempuan di seluruh dunia untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi berbasis jender. Di Indonesia, partisipasi perempuan masih sulit direalisasikan karena belenggu kekerasan terhadap perempuan yang sistematis dan terstruktur.
Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika menegaskan, peringatan IWD tahun 2024 menjadi momen penting bagi gerakan perempuan. Sebab, pada peringatan IWD, para perempuan menyerukan perlawanan atas segala karut-marut kebijakan pro-oligarki dan tindakan menghancurkan demokrasi yang dilakukan rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam periode kepemimpinannya.
Sementara di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat tidak menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang diterbitkan justru mempersempit kebebasan masyarakat sipil untuk berpendapat dan melapangkan jalan investasi.
Sebagai contoh, sejumlah regulasi tetap dilahirkan walau mendapat penolakan masyarakat, seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Kesehatan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pemekaran Papua, dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Aliansi Perempuan Indonesia menilai kemerosotan demokrasi di Indonesia juga tergambar jelas dalam proses Pemilu 2024, dengan ketidaknetralan Presiden melalui cawe-cawenya hingga jajaran menterinya serta pelanggaran etik karena adanya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada peringatan IWD, para perempuan menyerukan perlawanan atas segala karut-marut kebijakan pro-oligarki dan tindakan menghancurkan demokrasi.
Oleh karena itu, dalam aksi peringatan IWD, Aliansi Perempuan Indonesia menuntut dan menyerukan penegakan demokrasi serta supremasi hukum. Selain itu, mereka menuntut pengesahan sejumlah rancangan undang-undangan (RUU) seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Antidiskriminasi, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta, serta mewujudkan aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Secara terpisah, dalam rangka perayaan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2024, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, selain demokrasi yang mundur, negara juga abai dalam melindungi perempuan.
Praktik penghancuran demokrasi dan negara hukum oleh rezim pemerintahan Presiden Jokowi ditandai dengan lahirnya kebijakan di berbagai sektor yang menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia, terlebih lagi hak-hak perempuan.
Menurut Ketua YLBHI M Isnur, berdasarkan catatan YLBHI, ada sejumlah kebijakan negara yang tidak berpihak pada masyarakat, khususnya perempuan.
Hal itu, antara lain, meliputi kerentanan perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan terhadap intimidasi dan kriminalisasi, lambatnya pembahasan RUU PPRT, lahirnya UU Cipta Kerja yang merugikan buruh perempuan, belum maksimalnya pelaksanaan UU TPKS, dan makin banyaknya peraturan daerah yang diskriminatif pada kelompok minoritas jender dan seksual.