Bagaimana Cara Menentukan Kalender Islam di Indonesia?
Kalender Islam belum memiliki kriteria tunggal dalam penentuan awal bulan. Akibatnya, beda hari raya masih akan terjadi.
Meski kalender Islam menjadi kalender terbesar kedua di Indonesia setelah kalender Masehi, belum ada kriteria tunggal penentuan awal bulan dalam kalender Islam.
Banyaknya kriteria yang digunakan dan tumpang tindihnya dengan aturan kalender lain membuat sistem kalender Islam belum utuh dipahami masyarakat. Terlebih, selama tiga dekade terakhir, kalender Islam juga mengalami pergeseran sistem yang mendasar.
Kesalahpahaman yang umum ditemui adalah pandangan bahwa penyusunan kalender Islam di Indonesia terbagi secara mutlak antara mereka yang menggunakan metode hisab atau perhitungan dan rukyat atau pengamatan.
Padahal, rukyat yang baik ditopang hisab yang akurat dan hisab yang tepat didasarkan pada rukyat yang berkualitas.
Semua organisasi massa Islam, Pemerintah Indonesia, dan negara-negara lain dalam menentukan kalender Islam selalu didasari oleh hisab. Dengan hisab, hari-hari besar agama Islam sudah bisa ditetapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Baca juga: Kalender Islam dan Kalender Jawa, Produk Budaya yang Kian Terpinggirkan
Keteraturan gerak benda-benda langit membuat perhitungan kalender apa pun bisa ditentukan jauh maju ke depan atau ditelusur mundur ke belakang.
Bedanya, sejumlah ormas Islam dan banyak negara Islam tetap memakai rukyat demi memastikan datangnya tiga bulan terkait ibadah wajib dalam Islam, yakni Ramadhan atau bulan ke-9, Syawal (bulan ke-10), dan Zulhijah (bulan ke-12). Ini dilakukan sebagai pelaksanaan perintah agama dan sejumlah kalangan menilai hukumnya wajib.
Rukyat dilakukan bukan karena data hisab tidak akurat, tetapi sebagai metode pembuktian hasil hisab. Seeing is believing alias melihat dulu baru dipercaya.
Kemajuan teknologi internet membuat umat Islam Indonesia bisa melihat penentuan hari-hari besar Islam di negara lain. Berbeda dengan kalender Masehi, tak ada otoritas tunggal global yang mengatur penyusunan kalender Islam. Artinya, tiap negara Islam punya kewenangan menyusun kalender.
Bahkan, sejumlah negara, termasuk Indonesia, memberi kebebasan kepada organisasi atau kelompok keagamaan di negaranya untuk menentukan hari besar keagamaan yang kadang beda dengan keputusan negara. Akibatnya, variasi perbedaan hari besar Islam tak hanya berlaku di lingkup global, tetapi juga lokal.
Dalam konteks ini, sidang isbat yang dilakukan setiap tanggal 29 bulan Syakban (8) untuk menentukan awal Ramadhan, 29 Ramadhan (9) untuk menentukan awal Syawal, dan 29 Zulkaidah (11) untuk menentukan awal Zulhijah menjadi penting sebagai sikap negara atas perbedaan yang ada.
Baca juga: Utamakan Kepentingan Umat dalam Penentuan Kalender Islam
Bayangkan betapa bingungnya masyarakat dan ruwetnya kondisi sosial jika semua ormas dan kelompok Islam bisa mengumumkan hari rayanya sendiri-sendiri. Karena itu, negara harus hadir.
Di sisi lain, setiap kalender memiliki aturan sendiri. Namun, kekurangpahaman terhadap aturan ini membuat aturan kalender Islam sering dicampuradukkan dengan aturan kalender Masehi atau kalender Jawa.
Kalender Islam tidak mengenal konsep garis batas tanggal internasional seperti kalender Masehi. Waktu pergantian hari dalam kalender Islam adalah saat maghrib atau matahari terbenam, bukan pukul 00.00 seperti dalam kalender Masehi.
Dalam kalender Islam, Ramadhan bisa berlangsung 29 hari atau 30 hari, tetapi dalam kalender Jawa, bulan Pasa yang merupakan padanan dari Ramadhan selalu 30 hari.
Tak hanya itu, selama tiga dekade terakhir, kalender Islam mengalami perubahan mendasar. Sejak dulu hingga kini, kalender Islam yang diperkenalkan kepada masyarakat maupun diajarkan di sekolah-sekolah mengacu pada kalender matematis yang memiliki tahun kabisat sebagai metode koreksi.
Padahal, saat ini kalender Islam bergeser menjadi kalender astronomis yang awal bulannya ditentukan melalui pengamatan astronomi, yaitu pengamatan hilal untuk tiga bulan terkait ibadah wajib dan potensi terlihatnya hilal untuk sembilan bulan yang lain. Metode ini juga diterapkan di banyak negara Islam.
Pergeseran kalender Islam dari kalender matematis ke astronomis itu terjadi akibat semakin masifnya penerapan ilmu astronomi modern dalam perhitungan dan pengamatan hilal.
Saat ini kalender Islam bergeser menjadi kalender astronomis yang awal bulannya ditentukan melalui pengamatan astronomi.
Perubahan ini membuat sistem hisab dan pengamatan hilal yang dilakukan ormas Islam sama dengan sistem dan peranti yang umum digunakan dalam dunia astronomi modern.
Meski demikian, proses perubahan ini belum diterima semua kalangan umat Islam. Masuknya kepentingan politik membuat perbedaan penentuan awal bulan dalam kalender Islam sering menimbulkan kegaduhan, bahkan konflik, di masyarakat.
Bagaimanapun, penentuan awal bulan Hijriah bukan semata soal pemaduan sains dan ilmu agama, tetapi juga bagaimana mengelola kepentingan dan persoalan sosial politik yang melingkupinya.
Sistem di Indonesia
Perubahan sistem kalender Islam itu berlaku global, tidak hanya di Indonesia. Perubahan itu membuat kalender Islam menjadi satu-satunya sistem penanggalan Bulan (Kamariah) yang berbasis pada pengamatan astronomi.
Saat ini, ada dua kriteria besar penentuan awal bulan Islam yang digunakan di Indonesia, yaitu kriteria wujudul hilal (WH) atau terbentuknya hilal yang dipedomani Muhammadiyah dan kriteria imkanur rukyat (IR) atau kemungkinan terlihatnya hilal yang digunakan pemerintah dan sebagian besar ormas Islam.
Baca juga: Kalender Masehi Masih Menyimpan Kesalahan
Perbedaan dua kriteria itu terletak pada perlu atau tidaknya hilal sebagai penanda awal bulan (month) Hijriah diamati. Hilal adalah bulan sabit tipis yang terlihat pada saat maghrib selepas terjadinya konjungsi atau kesegarisan Matahari, Bulan, dan Bumi. Konjungsi ini jadi tanda dimulainya fase Bulan (moon) baru.
Dalam kriteria WH, syarat penentuan awal bulan kalender Hijriah sangat simpel, yaitu konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam dan Matahari terbenam lebih dulu dibandingkan Bulan pada saat maghrib setelah konjungsi.
Ketinggian dan umur Bulan tidak menjadi pertimbangan asalkan saat maghrib sesudah konjungsi Bulan diperhitungkan sudah di atas ufuk.
Sementara acuan kriteria IR yang digunakan saat ini adalah kriteria Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang baru dan mulai digunakan dalam penentuan awal Ramadhan tahun 2022.
Kriteria baru dari MABIMS ini mensyaratkan hilal yang menjadi tanda masuknya bulan baru Hijriah harus memiliki elongasi atau jarak sudut antara Matahari dan Bulan minimal 6,4 derajat dan tinggi hilal minimal 3 derajat.
Jika posisi hilal saat maghrib sesudah konjungsi memenuhi kriteria baru MABIMS, maka sesudah maghrib akan masuk bulan Hijriah baru. Jika posisi hilal tak memenuhi kriteria itu, bulan Hijriah yang berjalan akan disempurnakan jadi 30 hari. Artinya, awal bulan baru mulai berlangsung pada maghrib keesokan harinya.
Kriteria ini disusun tim astronom dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atau kini jadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta astronom dari sejumlah perguruan tinggi dan ormas Islam yang ditugaskan Majelis Ulama Indonesia. Jadi, kriteria ini bisa dipertanggungjawabkan secara sains dan keagamaan.
Kriteria baru MABIMS itu disusun berdasarkan data pengamatan hilal di Indonesia selama beberapa dekade serta diharapkan mampu menjembatani perbedaan kriteria awal bulan Hijriah di Indonesia. Kriteria ini kemudian diadopsi negara-negara Islam lain di ASEAN.
Penerapan kriteria baru MABIMS ini jadi patokan diterima atau tidaknya kesaksian melihat hilal. Artinya, kesaksian melihat hilal oleh sebagian masyarakat atau kelompok umat Islam diterima jika posisi hilal saat itu berdasarkan data hisab memenuhi kriteria MABIMS. Ketentuan ini membuat kesalahan pengamatan hilal bisa dihindari.
Mengamati hilal bukan perkara mudah karena harus bisa mengamati sabit tipis hilal dalam kondisi langit masih terang. Astronom sering mengibaratkan hal ini dengan mencari nyala lilin dengan latar belakang hutan yang terbakar. Karena itu, pengamat hilal yang tidak terlatih bisa salah mengidentifikasi hilal.
Pengamatan astronomi apa pun akan sangat bergantung pada kondisi cuaca dan atmosfer rendah Bumi. Karena itu, pengamatan hilal umumnya dilakukan di banyak tempat oleh banyak orang guna meningkatkan peluang terlihatnya hilal.
Kondisi global
Belum adanya kriteria tunggal dalam penetapan awal bulan Hijriah itu tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Setiap negara bebas menentukan hari besar keagamaan Islam sesuai kriteria yang digunakan di negaranya.
Dari data Proyek Pengamatan Hilal Global (ICOP), penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di seluruh dunia itu umumnya terbagi dalam dua atau tiga hari berbeda.
Meski demikian, masyarakat banyak menggunakan ketetapan Pemerintah Arab Saudi sebagai acuan atau pedoman dalam penetapan hari raya Islam. Terlebih sesudah berkembangnya internet yang membuat masyarakat bisa memantau penentuan hari besar Islam di seluruh dunia.
Di sisi lain, pengamatan hilal dan pengamatan astronomi pada umumnya sangat bergantung pada posisi geografis pengamat.
Sistem kalender Islam di Arab Saudi juga berdasarkan pengamatan hilal untuk tiga bulan terkait ibadah wajib. Namun, bisa jadi hilal yang teramati di Arab Saudi tak bisa diamati di Indonesia. Hal ini bukan karena pengamat hilal di Indonesia kurang mahir menghitung dan mengamati hilal, tetapi karena masalah geografis.
Waktu terjadinya konjungsi di seluruh dunia itu sama. Namun, waktu maghrib di Arab Saudi sekitar empat jam setelah waktu maghrib di wilayah barat Indonesia. Akibatnya, posisi hilal saat maghrib di Arab Saudi akan lebih tinggi dibandingkan di Indonesia sehingga peluang terlihatnya hilal menjadi lebih besar.
Selain itu, alasan yang sering muncul dalam perbincangan di masyarakat ataupun media sosial terkait perbedaan penentuan hari raya adalah waktu di Indonesia lebih dulu dibandingkan waktu Arab Saudi.
Kondisi ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari penggunaan sistem garis batas tanggal internasional yang digunakan dalam kalender Masehi. Padahal, konsep ini belum digunakan dalam sistem kalender Islam.
Sejumlah kriteria kalender Islam global yang dibangun, seperti kriteria baru MABIMS dan kriteria Kalender Islam Global Turki, sudah mengadopsi konsep garis batas tanggal internasional ini.
Baca juga: Posisi Bulan Menyatukan Awal Ramadhan 1444 Hijriah di Indonesia
Namun, kedua kriteria itu masih digunakan secara terbatas di sejumlah negara Islam karena setiap negara berhak menentukan kriteria awal bulan Hijriah-nya.
Karena itu, upaya penyatuan sistem kalender Islam perlu dilakukan baik dalam lingkup lokal atau satu negara maupun di tingkat global. Harapannya, adanya satu kriteria tunggal kalender Islam yang mampu mewadahi tantangan astronomi dan geografis di seluruh dunia bisa segera diwujudkan.
Jika penyatuan kalender Islam di tingkat nasional dan regional bisa dilakukan, seharusnya akan lebih mudah untuk memperjuangkan kesatuan kalender Islam itu di tingkat global. Meski perbedaan itu rahmat, kesatuan kalender Islam jauh lebih memberikan manfaat bagi persatuan umat.