Pernikahan Menjadi Beban dan Bukan Lagi Prioritas Orang Muda Indonesia

Anak muda kini semakin berani memilih tidak menikah. Pernikahan bukan lagi prioritas dalam hidup.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pasangan pengantin Kaesang Pangarep dan Erina Gudono menaiki kereta yang ditarik kuda seusai menjalani upacara pernikahan di Pendopo Agung Ambarrukmo, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (10/9/2022).

JAKARTA, KOMPAS — Angka pernikahan di Indonesia turun signifikan setiap tahun. Anak-anak muda yang secara sosial dan psikologis sudah mapan untuk memasuki pernikahan nyatanya cukup banyak yang sengaja menunda atau memilih tidak menikah.

Pernikahan bagi banyak anak muda kini bukan lagi prioritas utama saat hidup sudah mapan. Jalan hidup yang biasanya belajar/kuliah, bekerja, lalu menikah dan mempunyai anak semakin jauh dari bayangan atau pikiran mereka. Pemenuhan hidup ataupun kebahagiaan hidup tak lagi diukur dari punya pasangan hidup dan anak atau keluarga inti.

Dwi Hastuti (36), seorang general manager di lembaga pelatihan bagi guru di Jakarta, saat ini sudah tidak terpikir harus segera menikah. Bagi dia, menikah bukan lagi prioritas. Juga status tidak menikah bukan lagi menjadi beban karena ini adalah pilihan hidupnya.

”Kalau dulu memang ada cita-cita harus menikah di usia 25 tahun dan punya anak. Tetapi, pas bekerja, fokus jadi berubah. Apalagi, dunia pekerjaan saya yang terkait dunia pendidikan benar-benar jadi passion saya. Saya terlalu menikmati pekerjaan yang membawa saya keliling berbagai daerah, bertemu dengan banyak guru dan anak-anak,” kata Dwi.

Baca juga: Sekarang Makin Banyak Orang Muda Enggan Menikah

Ditambah lagi, di kantornya ada enam anak muda seusia dirinya yang juga belum menikah. Mereka bahkan punya pandangan yang sama, tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas hidup, meski usia hampir memasuki kepala empat. Mereka asyik menikmati hidup, bekerja, bergaul, dan menjalani hidup yang mereka yakini tanpa terlalu ambil pusing dengan komentar-komentar dari sekeliling karena belum juga menikah.

”Bukannya tidak berpacaran, ya. Tapi tidak terlalu mengejar ke komitmen pernikahan gitu. Kalau ketemu yang pas, cowok yang punya nilai-nilai sama dan mendukung saya berkarier dengan bebas seperti yang saya jalani saat ini, ya, bisa saja sih kemudian menikah,” ujar Dwi tersenyum.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Sejumlah anak muda tengah duduk-duduk menikmati malam di Koridor Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (9/4/2023). Dari data BPS, terjadi penurunan tren pernikahan di Indonesia. Makin banyak orang muda di Indonesia yang menyatakan enggan menikah.

Sebagai perempuan, Dwi tidak merasa terbebani dengan komentar bahwa dia nanti akan susah punya anak jika semakin tua menikah. Meskipun orangtua atau keluarga berharap Dwi menikah, dia tetap meyakini menikah atau tidak adalah pilihan dirinya, bukan karena desakan keluarga.

Saya merasa tidak kesepian dengan hidup meskipun belum menikah di usia sekarang.

”Kalau ditanya Ibu, ya, saya bilang saja, ’Allah belum kasih jodoh. Tanya sama Allah kenapa belum ada jodohnya.’ Biasanya Ibu tidak berkomentar lagi,” ujar Dwi tertawa.

Dengan statusnya sebagai lajang, Dwi merasa leluasa untuk menjalani pekerjaan yang bukan lagi sekadar untuk mengejar karier. Baginya, pekerjaan melatih para guru, bepergian ke banyak sekolah, menyaksikan perubahan mutu sekolah yang biasa-biasa saja jadi meningkat, dan menyaksikan kebahagiaan para siswa yang senang belajar dan pergi ke sekolah memberi kebahagiaan yang membuatnya tidak lagi memikirkan tentang menikah.

”Semakin ke sini, saya semakin tidak memikirkan pernikahan. Saya pun tidak mengkhawatirkan masa depan, semuanya saya biarkan mengalir. Saya merasa tidak kesepian dengan hidup meskipun belum menikah di usia sekarang,” kata Dwi.

Dipandang kompleks

Hal senada disampaikan Randy (36), seorang spesialis education for sustainable development (ESD) di Jakarta, yang sebenarnya terbilang mapan. Dia tinggal di apartemen, aktif ikut komunitas yoga, nge-gym, hingga kongko di kafe.

Dia juga selalu menyempatkan diri untuk healing satu bulan sekali, minimal ke Bandung atau Sukabumi. Setiap tahun dia selalu punya agenda untuk travelling di dalam ataupun di luar negeri.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Polisi mengatur lalu lintas kendaraan di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Sabtu (30/7/2022). Kesibukan bekerja dan hidup mandiri di kalangan anak muda ternyata mendorong mereka untuk tidak segera menikah.

Randy dengan tegas mengakui, pernikahan bukan prioritas dirinya. Bahkan, berkomitmen dalam suatu pernikahan bukan pilihannya.

”Aku tuh memang punya pikiran yang berbeda. Bagiku, menjalin hubungan tidak harus dengan komitmen pernikahan, ya. Sebab, pernikahan itu kompleks. Hubungan dengan orangtua dan keluarga sendiri saja sudah kompleks, ditambah lagi dengan mertua,” ujarnya.

Randy mengaku dirinya berpikiran terbuka terhadap hubungan. Berbagai buku bacaan dan informasi tentang tren kehidupan saat ini membentuk pola pikir yang berbeda antara dirinya dan keluarganya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pengunjung berkonsultasi di salah satu stan Pameran Wedding Surabaya Asosiasi Pengusaha Perlengkapan Pernikahan (AP3) di Tunjungan Plaza, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (7/3/2021).

Randy terbuka menjalani hubungan tanpa pernikahan, bahkan tidak ingin punya anak alias child-free. Dia merasa kasihan membayangkan anak yang akan hidup di tengah dunia yang semakin tidak pasti, mulai dari dampak perubahan iklim hingga perubahan dunia yang rasanya semakin berat ke depan.

Dia pun tak ingin lagi menambah beban planet Bumi yang sudah punya 8 miliar penduduk.

”Aku berpikir, kalau punya anak, akan struggling, ya. Soalnya, kita tidak tahu dunia ke depan gimana. Jadi, untuk apa menikah? Aku terbuka saja punya pasangan yang hidup bareng, tidak dengan menikah, dan child-free. Tapi, sejujurnya, dengan hidup sendiri, aku lebih bahagia,” tuturnya.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Jaka Anindita-Chempaka Sjahbuddin, pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka (child-free), di Apartemen Taman Rasuna, Jakarta Selatan, Sabtu (20/1/2024).

Pandangan Randy tentang pernikahan tentu tidak mulus diterima keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Saat lulus SMA, Randy sengaja mencari tempat kuliah yang menuntut dia keluar dari kampung halamannya di suatu daerah di Jawa Timur. Saat bekerja pun, dia memilih ke Jakarta karena yakin merasa nyaman dengan pilihan hidupnya.

”Aku tuh jarang pulang kampung. Paling, Lebaran, itu pun sebentar. Aku lebih nyaman di Jakarta dan menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas lainnya. Di sini, urusan private orang dihargai, mau menikah atau enggak, mau beragama atau enggak, ya, lingkunganku gak rese,” kata Randy yang lulusan S-2 di salah satu universitas negeri di Yogyakarta.

Bagiku, menjalin hubungan tidak harus dengan komitmen pernikahan, ya. Sebab, pernikahan itu kompleks.

Randy menikmati hidup dan pencapaiannya saat ini dan merasa bebas untuk melakukan apa saja yang diinginkan tanpa terkendala urusan dengan pasangan ataupun anak-anak. Bagi Randy, hidup seperti ini tidak akan dilepaskan, dan dia siap untuk mempersiapkan masa tuanya seorang diri.

Pilihan Dwi dan Randy sebagai anak muda yang tidak bergegas menikah memengaruhi jumlah pernikahan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 2018 sampai 2023. Tahun 2018, angka pernikahan tercatat 2,01 juta pernikahan dan turun menjadi 1,96 juta pernikahan pada 2019.

Setelah itu, angka pernikahan kembali turun pada 2020, yakni 1,78 juta pernikahan, disusul tahun 2021 dengan 1,74 juta pernikahan dan 2022 yang mencapai 1,70 juta pernikahan. Angka pernikahan di Indonesia kembali turun hingga menjadi 1,58 juta pernikahan pada 2023 atau mengalami penurunan sekitar 128.000 pernikahan dibandingkan tahun sebelumnya.