Penelitian Jejak Budaya Tionghoa di Nusantara Perlu Dikembangkan
Penelitian jejak budaya Tionghoa di Nusantara perlu dikembangkan untuk memperkaya wawasan kebudayaan, termasuk adaptasi dalam arsitektur, seni, makanan, dan perkembangan sastra Indonesia modern.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Interaksi etnis Tionghoa dengan suku bangsa di Nusantara sudah terjadi sejak lama. Jejak-jejaknya mewujud dalam akulturasi budaya di berbagai daerah. Penelitian mengenai jejak budaya Tionghoa di Tanah Air perlu dikembangkan untuk memperkaya wawasan kebudayaan.
Jejak pertemuan budaya Tionghoa dan budaya lokal tersebut melahirkan adaptasi dalam berbagai rupa, mulai dari arsitektur bangunan, permainan tradisional, seni, hingga makanan. Bahkan, peranakan Tionghoa juga mempunyai sumbangsih terhadap perkembangan sastra Indonesia modern.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Herry Yogaswara mengatakan, penelitian pertemuan budaya Tionghoa dengan budaya lokal belum terlalu banyak digarap melalui riset ekspedisi. ”Riset-riset seperti ini perlu dikembangkan. Intinya bagaimana penelitian yang menggunakan cara pandang arkeologi dengan cara memaknainya dari bidang ilmu lain, termasuk antropologi, sejarah, dan studi budaya,” ujarnya dalam diskusi daring ”Menelisik Jejak Etnis Tionghoa di Nusantara”, Rabu (6/3/2024).
Herry menuturkan, riset ekspedisi sangat terbuka bagi peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Riset ini bukan cuma bisa dikerjakan oleh periset BRIN, tetapi juga melalui skema kerja sama dengan perguruan tinggi.
”Tahun lalu, kolaborasi BRIN tidak hanya dengan perguruan tinggi, tetapi juga dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan perorangan. Ini bisa dimanfaatkan, misalnya ingin meneliti batik yang terpengaruh budaya Tionghoa dan sebagainya,” katanya.
Herry menambahkan, penerimaan proposal pendanaan riset di BRIN dibuka sepanjang tahun. Hal ini membuat kesempatan untuk meneliti tentang jejak budaya Tionghoa semakin terbuka, termasuk berkolaborasi dengan pihak lain.
”Perlu dipikirkan bagaimana melakukan riset ekspedisi tentang tinggalan-tinggalan Tionghoa di Nusantara. Sebab, sifat dari riset ekspedisi sebetulnya melakukan perekaman. Jadi, bisa saja merekam jejak Tionghoa di Sulawesi, tapi bisa dipastikan seluruh Sulawesi bisa terekam,” ujarnya.
Penelitian pertemuan budaya Tionghoa dengan budaya lokal belum terlalu banyak digarap melalui riset ekspedisi.
Sejumlah penelitian telah menelusuri interaksi etnis Tionghoa di berbagai daerah. Di Manado, Sulawesi Utara, misalnya, pendekatan yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa bersentuhan langsung dengan masyarakat kelas bawah.
”Pola-pola partisipasi kolektif masyarakat Tionghoa bersifat menyublim dan tidak mendominasi pranata sosial yang telah ada di dalam masyarakat setempat. Mereka melebur tanpa adanya intimidasi ataupun sikap-sikap konfrontatif,” ujar peneliti di Balai Arkeologi Sulawesi Utara Hendri Gunawan.
Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Gendro Keling, mengatakan, jejak Tionghoa di Bali dapat dilihat melalui sejumlah arsitektur bangunan. Pihaknya mengidentifikasi sedikitnya lima kelenteng tua yang dibangun sekitar abad ke-19. Kelenteng itu dibangun di dekat laut atau sekitar aliran air.
”Ada juga pecinan yang terletak di dekat pusat Kerajaan Badung dan di sekitar Singaraja. Jika jeli melihat setiap sudut wilayah ini, kita akan menemukan ciri-ciri arsitektur China. Selain tinggalan bangunan, ada juga akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Bali,” tuturnya.
Penggiat budaya yang juga pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, mencontohkan permainan tradisional Bali, ceki, yang berasal dari Dinasti Tang pada abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-8. Permainan ini juga eksis di sejumlah daerah, seperti di Pulau Jawa dan Sumatera.
”Jadi, kalau berbicara bagaimana kebudayaan Tionghoa melebur dalam budaya di Indonesia, banyak dilakukan dari hal-hal seperti ini,” ucapnya.
Pengaruh budaya Tionghoa juga bisa dilihat dari kuliner, seperti bakpia di Yogyakarta, mochi di Sukabumi, dan tauco di Cianjur. Namun, makanan-makanan tersebut diadaptasikan dengan selera dan lidah masyarakat setempat.