Perpaduan musik Jawa dan Barat memanjakan telinga. Orkestra itu merefleksikan momentum penegakan kedaulatan Indonesia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Suara gamelan mengalun pelan di Aula Simfonia Jakarta, Jumat (1/3/2024) malam. Gesekan lembut biola mengikutinya. Lantunan tembang berbahasa Jawa oleh lebdaswara (pelantun tembang laki-laki) terdengar merdu. Kombinasi nada-nada indah itu membuka konser Yogyakarta Royal Orchestra yang membawakan ”Himne Serangan Umum 1 Maret 1949” karya Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X.
Sultan yang duduk di bangku penonton menyaksikannya dengan serius. Tatapannya lurus ke panggung orkestra. Badannya dicondongkan ke depan. Ia menggenggam kedua tangannya.
Setelah 4 menit musik mengalun pelan, suara trombon, drum, selo, obo, dan seruling menggema memperkuat karakter musik orkestra. Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Paragita yang terdiri dari 30 orang menambah kemegahannya.
Konser yang dikonduktori oleh Raden Wedana Widyogunomardowo tersebut membawakan 10 repertoar dari berbagai era dan genre musik. Hal ini menjadi salah satu tantangan untuk mengemasnya dalam konsep orkestra dengan tema perjuangan.
Lagu ”Lir-Ilir”, misalnya, merupakan karya Sunan Kalijaga pada sekitar abad ke-16. Musiknya diaransemen dengan memasukkan unsur musik klasik Barat. Namun, karakter karawitannya tidak hilang dengan mempertahankan suara gamelan.
Penampilan solois selo, Raden Dwityatama Darmasakti, membuat aransemen lagu ”Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki menjadi lebih menggelegar. Selain notasinya yang indah, lagu ini mempunyai kekuatan pada liriknya yang mengandung pesan luhur dalam membangkitkan rasa cinta pada negara Indonesia.
”Concerto Nusantara” menjadi repertoar paling kompleks dalam konser malam itu. Senjata utama repertoar ini adalah harmonisasi dalam tiga segmen yang diisi dengan sejumlah lagu daerah dengan karakter sangat beragam.
Tempo cepat yang dimainkan pada lagu ”Bungong Jeumpa” (Aceh) langsung mengentak pembukaan segmen pertama. Kemudian, disusul lagu ”Dayuang Sangatgam” (Sumatera Barat), ”Cik Cik Periuk” (Kalimantan Barat), dan ”Paris Barantai” (Kalimantan Selatan). Salah satu daya tarik bagian ini terletak pada cadenza yang dimainkan oleh solois biola menghadirkan pertunjukan dengan tingkat virtuositas tinggi.
Lagu ”Don Dap Dape” (Bali), ”Bole Jaru” (Nusa Tenggara Timur), dan ”O Ina Ni Keke” (Sulawesi Utara) mengisi bagian kedua. Aransemennya mengeksplorasi melodi biola yang dibawakan secara ekspresif.
Adapun pada bagian ketiga dibuka dengan lagu ”Buka Pintu” (Maluku) yang dimainkan dengan tempo cepat. Kemudian, diikuti oleh lagu ”Ayo Mama” yang juga berasal dari Maluku.
Konser yang dikonduktori oleh Raden Wedana Widyogunomardowo tersebut membawakan 10 repertoar dari berbagai era dan genre musik.
Saat membawakan lagu ”Anak Kambing Saya” (Nusa Tenggara Timur), nadanya ditinggikan dengan menggeser chord G ke A. Perubahan chord dan tempo juga dilakukan pada lagu terakhir di repertoar ini, yaitu ”Apuse” (Papua). Gaya orkestrasi neoromantik menjadikan bagian ini sangat mengesankan.
Sajian musik dengan membawakan lagu dari berbagai daerah di Tanah Air melambangkan kemajemukan Indonesia. Dengan keindahan simfoninya, musik dapat berfungsi sebagai perekat persatuan bangsa.
Penegak kedaulatan
Sultan HB X yang juga Gubernur DI Yogyakarta mengatakan, peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN) merefleksikan bersatunya berbagai elemen bangsa dalam melawan tirani penjajahan. Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan momentum bersejarah dalam menegakkan kedaulatan negara Indonesia.
”Semoga pada malam ini kita bisa memaknai setiap alunan nada sebagai penggugah semangat persatuan seiring merenungi makna HPKN sebagai inspirasi untuk terus membangun dan memajukan Indonesia tercinta,” ujarnya.
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan bukti perlawanan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Perlawanan ini membuka mata dunia internasional bahwa Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 masih eksis.
Pertempuran tersebut mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak masuknya komunitas internasional agar Belanda kembali ke meja perundingan setelah melancarkan agresi militer. Hasilnya, dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 1949, Indonesia memperoleh kedaulatannya.
”Ini merupakan momentum bersejarah pergerakan kemerdekaan dengan DI Yogyakarta sebagai episentrumnya dan secara menyeluruh bermakna bagi bangsa Indonesia,” ucapnya.
Konduktor atau pengaba Yogyakarta Royal Orchestra, Raden Wedana Widyogunomardowo, menuturkan, konser tersebut merupakan sajian orkestra yang lengkap serta variatif dengan menggabungkan karakter musik Jawa dan Barat. Tema perjuangan dipilih karena bertepatan dengan momentum Serangan Umum 1 Maret 1949.
”Yang jelas, Keraton Yogyakarta memiliki kekayaan budaya. Tidak hanya musik tradisional Jawa, tetapi dalam perjalanan sejarahnya juga ada sentuhan budaya Eropa, yaitu musik Barat melalui orkestra,” katanya.
Konser hari pertama dihadiri tamu undangan dari kementerian, kedutaan besar negara sahabat dan korps diplomatik, pejabat pemerintah pusat dan pemda DI Yogyakarta, serta perwakilan masyarakat Yogyakarta di Jakarta dan mitra dari Keraton Yogyakarta. Adapun konser hari kedua, Sabtu (2/03/2024), bisa dihadiri masyarakat umum dengan membeli tiket.
Menurut Widyogunomardowo, musik Eropa sudah hadir di Keraton Yogyakarta sejak kepemimpinan Sultan HB I (1755-1792). Saat itu, terompet digunakan dalam upacara kenegaraan dan militer.
Puncak perkembangan korps musik Eropa di keraton terjadi pada masa Sultan HB VIII (1921-1939). Ia membentuk orkestra musik tiup beranggotakan 40 orang yang dinamai Kraton Orcest Djogja. Instruktur dan konduktornya didatangkan dari Jerman, yakni Walter Spies. Anggota orkes itu yang selanjutnya dikenal sebagai abdi dalem musikan (Kompas, 25/6/2021).
Widyogunomardowo mengatakan, konser malam itu merupakan pengalaman perdana Yogyakarta Royal Orchestra tampil di Jakarta. Ia berharap masyarakat bisa mengenang perjuangan menegakkan kedaulatan negara lewat sajian musik dan lagu-lagu dari berbagai daerah.
”Momentum ini dikenal sebagai Yogya Kembali, yaitu bebasnya Yogyakarta (ketika itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia) dari pendudukan tentara Belanda. Momen itu dipresentasikan secara musikal lewat sajian orkestra agar kita mengenang perjuangan menegakkan kedaulatan,” ucapnya.