”Ragam Ni Si Marian”, Karya Fiksi yang Dijalin dengan Fakta Konflik
Novel berjudul ”Ragam Ni Si Marian” menjadi karya fiksi yang dijalin dengan fakta konflik sosial, politik, dan ekonomi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Novel berjudul Ragam Ni Si Marianmenjadi karya fiksi yang dijalin dengan fakta konflik sosial, politik, ekonomi, dan antar-ras pada masa penjajahantahun 1900 hingga pascakemerdekaan tahun 1956. Selain romansa, novel ini pun menyelipkan berbagai isu, seperti hak-hak sipil, peran perempuan, dan pengaruh budaya Belanda.
Novel Ragam Ni Si Marianmerupakan karya sastra yang ditulis oleh mantan duta besar Indonesia untuk Argentina yang juga seorang antropolog, Kartini Sjahrir. Novel ini diluncurkan dalam acara di Bentara Budaya Jakarta, Menara Kompas, Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Meski berlatar belakang seorang peneliti dan akademisi, Kartini menyebutkan bahwa dia sudah lama ingin menulis sebuah novel percintaan. Hal ini juga dilatarbelakangi kegemarannya membaca berbagai jenis buku, termasuk karya sastra berupa novel, sejak berusia 12 tahun. Melalui novel, Kartini bisa mempelajari berbagai macam kehidupan.
”Untuk waktu yang lama saya memang suka melakukan riset. Kemudian kesempatan untuk menulis novel akhirnya datang setelah saya berusia 70 tahun. Saya tetap melakukan riset selama satu tahun untuk menulis novel ini dengan pergi ke tempat di mana cerita itu ada dalam pikiran saya,” ujar Kartini saat menyampaikan inspirasi pembuatan novel tersebut.
Novel ini menceritakan kisah cinta dari Marian Hasibuan, seorang wanita asli keturunan Batak dan Sunda. Marian merupakan tokoh utama yang dibesarkan di keluarga kaya raya dengan pendidikan Belanda dan interaksi sosial yang luas di masyarakat Eropa.
Marian kemudian jatuh cinta kepada Jan-Pieter, seorang pemuda Belanda yang bekerja di perkebunan kopi Priangan. Namun, kisah cinta mereka menghadapi berbagai kendala yang signifikan, mengingat keadaan akibat adanya konflik sosial, politik, dan ekonomi saat itu.
Tak hanya menceritakan romansa Marian dan Jan-Pieter, dalam novel iniKartini juga mengeksplorasi berbagai isu seperti hak-hak sipil, peran perempuan, dan pengaruh budaya Belanda. Kartini menggunakan narasi yang dinamis untuk menggambarkan kompleksitas hubungan antarmanusia yang penuh warna dan konflik pada masa itu.
Kita tidak lagi mengagumi perempuan hanya dari keelokan fisik, tetapi juga kecerdasan dan kemandirian.
”Saya menggambarkan kepedihan dan keteguhan hati seorang perempuan yang berani mengambil sebuah keputusan yang sangat bertentangan dengan kaedah kehidupan sosial pada saat itu. Saya gambarkan bagaimana seorang perempuan bisa mandiri dan berjuang,” tutur Kartini.
Guna mendalami tokoh-tokoh dalam novel ini, Kartini bahkan turut mendaftar menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Belanda dan membaca berbagai manuskrip. Ia juga menghabiskan waktu selama berjam-jam dalam satu ruangan untuk sekadar melihat suasana dan mencari inspirasi untuk penulisan novel ini.
”Dalam buku ini saya bisa menulis dari sudut pandang antropologis dengan menjalin fakta. Jadi, tokoh-tokoh dalam buku ini memang fiksi, tetapi realitasnya merupakan sebuah fakta. Saya juga ingin menyampaikan kemajemukan dan identitas bangsa kita di novel ini,” katanya.
Selain narasi, novel Ragam Ni Si Marianjuga memiliki dimensi artistik melalui kreasi sampul buku dan dua belas sisipan ilustrasi naratif.Ilustrasi dalam novel dengan total 700 halaman ini merupakan karya seorang seniman visual perempuan, Melissa Sunjaya.
Menghibur dan mendidik
Praktisi dan Penatar Lingkungan Hidup,Amanda Katili, menilai bahwa novel tersebut disajikan dari perspektif dan pengalaman Kartini Sjahrir. Mengingat Kartini seorang akademisi, maka novel ini juga memilliki nilai menghibur, mendidik, sekaligus memberdayakan.
”Dalam novel ini, kita melihat perempuan secara berbeda. Kita tidak lagi mengagumi perempuan hanya dari keelokan fisik, tetapi juga kecerdasan dan kemandirian. Inilah unsur edukatif atau mendidik yang saya rasakan dalam novel ini. Novel ini memang sangat menarik ketika kita mau membuka terus sampai selesai,” ujarnya.
Sastrawan dan penulis skenario Noorca Marendra Massardi juga mengapresiasi novel dengan riset yang mendalam ini. Ia mengakui bahwa proses penulisan buku membutuhkan riset dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, Kartini menunjukkan fokus dan ketekunannya karena bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu yang relatif singkat.
Noorca melihat novel ini masuk dalam genre roman historis. Para pembaca pun bisa mengetahui dengan jelas bahwa penulis novel ini merupakan seorang pencinta kuliner dari cerita dan narasi yang disajikan.
”Periodisasi dalam cerita ini sama dengan yang disampaikan dalam karya-karya roman pujangga baru dan karya Pramudya (Ananta Toer) pada masa pergolakan. Namun, karya Pramudya tidak ada data lengkap, seperti dalam novel ini. Akan tetapi, berapa pun angka di dalam sebuah novel itu adalah bagian dari fiksi,” ungkapnya.