Kesiapan Implementasi Kurikulum Merdeka Masih Beragam
Penerapan kurikulum nasional selalu menghadapi tantangan. Kesiapan sekolah menjadi kunci.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan kurikulum nasional biasa terjadi dengan beragam tantangan implementasi di sekolah. Oleh karena itu, kesiapan sekolah melaksanakan Kurikulum Merdeka yang ditargetkan pemerintah sebagai kurikulum nasional baru pada tahun ajaran 2024/2025 harus jadi perhatian untuk memastikan pendidikan yang fokus pada mutu pembelajaran.
Berdasarkan berbagai informasi yang dihimpun, Rabu (28/2/2024), kesiapan sejumlah sekolah melaksanakan Kurikulum Merdeka yang memberi ruang pada pembelajaran yang berfokus pada peserta didik dan fleksibilitas beragam. Sebab, dalam implementasi Kurikulum Merdeka sendiri yang diperluas secara sukarela atau mandiri dilakukan sesuai kesiapan sekolah.
Meski diklaim penerapan Kurikulum Merdeka masif saat belum jadi kurikulum nasional, ada tiga tahap implementasi yang dijalankan sekolah. Ada kategori mandiri belajar (menerapkan beberapa prinsip pembelajaran Kurikulum Merdeka), kategori mandiri berubah (sudah memakai struktur Kurikulum Merdeka), dan kategori mandiri berbagi (sudah berbagi praktik baik pada satuan pendidik lain).
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbusristek, Anindito Aditomo mengatakan, transformasi pendidikan dilakukan secara holistik, dari asesmen, kurikulum, hingga pelatihan guru.
Hal itu bertujuan untuk menghadirkan ekosistem pembelajaran yang berkomitmen pada mutu pendidikan. Pembelajaran di sekolah kini dilaksanakan dengan paradigma memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna seraya mengembangkan potensi tiap anak.
Keyakinan menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional karena hasil kajian menunjukkan kurikulum ini berdampak besar pada pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19. Sebab, esensi Kurikulum Merdeka adalah menyederhanakan materi dan memberi kepercayaan kepada guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan muridnya.
Pada sekolah-sekolah yang mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, ditemukan pemulihan pembelajaran sejak tahun 2021 jauh lebih baik daripada sekolah yang masih menggunakan Kurikulum 2013. Semakin lama sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka, makin baik pula pemulihan literasi dan numerasi siswa.
Para guru pun beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan Kurikulum Merdeka. Pelatihan secara mandiri lebih ditekankan lewat Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Stacia Nau, guru di Sekolah Dasar Kabupaten Nagakeo, Nusa Tenggara Timur, menuturkan, Kurikulum Merdeka membantu guru untuk melakukan asesmen diagnostik kemampuan siswa. Kemudian, guru menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan level kemampuan siswa.
”Tantangan bagi guru untuk mulai mengubah pembelajaran yang menyesuaikan level kemampuan siswa. Tidak bisa lagi seragam,” kata Stacia.
Belum mengakomodasi
Seorang guru sekolah menengah kejuruan negeri di Bali berinisial L mengutarakan, penerapan Kurikulum Merdeka yang seharusnya menyediakan mata pelajaran pilihan sesuai minat siswa belum sepenuhnya bisa diakomodasi sekolah. Menurut guru yang mengajar program kecantikan kulit dan rambut itu, ada empat jam mata pelajaran pilihan bagi siswa, tetapi pilihan lebih ditentukan oleh sekolah.
”Sekolah menyediakan mata pelajaran spa sebagai pilihan karena tidak ada diajarkan, padahal potensi permintaan dunia kerja cukup tinggi. Pilihan untuk siswa diseragamkan saja,” ujar L.
Secara terpisah, Rina, orangtua siswa SMA negeri di Surakarta, mengatakan, anaknya yang siswa kelas X menjalani pembelajaran dengan Kurikulum Merdeka. Sekolah ini dua tahun mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Di kelas X, siswa mendapatkan semua mata pelajaran. Lalu mulai kelas XI siswa memilih peminatan (bukan penjurusan kelompok IPA, IPS, atau bahasa).
Tantangan bagi guru untuk mulai mengubah pembelajaran yang menyesuaikan level kemampuan siswa. Tidak bisa lagi seragam.
”Orangtua sudah dikumpulkan dan dijelaskan tentang peminatan yang harus dipilih tiap anak. Siswa hanya satu kali boleh mengganti peminatan jika dirasa tidak cocok,” kata Rina.
Sekolah menyediakan lima pilihan peminatan. Untuk tiap pilihan minat, ada lima mata pelajaran yang dapat dipilih yang ditentukan oleh sekolah. Masih terlihat pengelompokan peminatan yang tidak jauh berbeda dengan saat penjurusan kelompok IPA, IPS, atau bahasa.
Rina mengatakan, pembelajaran berbasis proyek lewat proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) dinilainya menyita waktu anak. Para guru yang belum cakap menjalankan desain pembelajaran berbasis proyek membuat waktu anak-anak tersita di luar jam sekolah hingga terpaksa tetap belajar kelompok di akhir pekan.
”Para guru juga banyak yang sibuk pelatihan. Ada jam kelas sampai kosong atau sekadar diberi tugas karena guru sibuk mengejar target pelatihan yang wajib dilaksanakan untuk bisa menerapkan Kurikulum Merdeka di sekolah. Padahal anak-anak butuh bimbingan untuk terus termotivasi belajar,” kata Rina.
Erliana, orangtua siswa sebuah sekolah dasar (SD) di Jakarta, mengatakan, di sekolah anaknya belum semua kelas menerapkan Kurikulum Merdeka. Namun, guru secara bertahap mulai mengenalkan pembelajaran aktif bagi siswa di kelas yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka. Anak-anak tidak lagi sekadar belajar teori dari buku, tetapi mengalami langsung.
Untuk kegiatan olahraga, saat masuk materi berenang, misalnya, guru tak sekadar mengajarkan teori. Siswa diajak mengalami langsung proses belajar berenang. ”Lumayan tuntutan membiayai tambahan pendidikan aktif yang diminta Kurikulum Merdeka. Tiap anak harus membayar untuk praktik materi pelajaran olahraga berenang. Belum lagi untuk praktik mata pelajaran lain,” ujarnya.
Dosen pendidikan Dhitta Puti Sarasvati mengatakan, perubahan kurikulum nasional sejak tahun 2006 hingga Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi para guru atau sekolah tak harus menerapkan sama seperti kurikulum resmi pemerintah.
”Sayangnya, hingga saat ini entah mengapa para guru belum juga secara optimal percaya diri memanfaatkan ruang untuk bisa menginterpretasi kurikulum resmi pemerintah atau kurikulum nasional menjadi kurikulum operasional sekolah,” ujarnya.
Menurut Puti, sudah menjadi keterampilan dasar guru untuk mampu membandingkan kurikulum. Tidak ada aturan bahwa guru wajib 100 persen mengikuti kurikulum nasional. Namun, cukup menjadikan acuan selama tujuan pembelajaran sesuai.
”Kenyataan di lapangan, banyak guru merasa harus persis sama menjalankan kurikulum. Di Kurikulum Merdeka ada P5, secara umum guru merasa harus menjalankan tema proyek yang persis sama. Di mana-mana, banyak proyek P5 yang menjadi seragam hasilnya. Padahal kita ingin guru mampu membuat pendidikan kontekstual,” tutur Puti.