Malaria Bisa Menurunkan Kemampuan Belajar Anak di Masa Depan
Gangguan seperti malaria hingga defisit pangan saat kecil memengaruhi kemampuan kognitif seseorang di masa depan.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·5 menit baca
AMBON, KOMPAS — Penelitian dari Australian National University Indonesia Project yang dilakukan di Indonesia Timur menunjukkan seorang anak yang terjangkit malaria akan menghadapi masalah kognitif sehingga memengaruhi kondisi di masa depan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan masalah mental. Intervensi diperlukan, tetapi ketersediaan dokter yang minim membuat upaya terhambat. Masalah defisit pangan juga menambah faktor kerentanan anak di masa mendatang.
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Childhood malaria infection and human capital in later life, Evidence from Eastern Indonesia” 2022 itu, profesor ekonomi dari Australian National University, Budi Resosudarmo, menjelaskan, anak usia 0-12 tahun yang terjangkit malaria memiliki masa sekolah lebih rendah 2,7 tahun dibandingkan mereka yang tidak terkena malaria. Dari jumlah tersebut, anak perempuan memiliki masa sekolah paling rendah hingga 3,2 tahun.
Sementara itu, anak lelaki memiliki masa sekolah lebih rendah 2,8 tahun dibandingkan mereka yang tidak mengalami malaria. Secara sederhana, seorang anak yang minimal dapat menyelesaikan pendidikan hingga kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP) hanya mampu menamatkan pendidikan sampai kelas enam sekolah dasar apabila terjangkit malaria.
Selain itu, tingkat probabilitas anak yang dulu terkena malaria untuk mampu lulus dari tingkat SMP hanya sebesar 26 persen, dan 44 persen di tingkat sekolah menengah atas. Akibat hal tersebut, mereka pun berpotensi mengalami permasalahan mental sehingga sulit mencari pekerjaan.
Adapun penelitian dilakukan di beberapa desa di Kota Ambon, Maluku, dan Kota Jayapura, Papua. Sampel yang digunakan adalah warga dari desa yang pernah mencatatkan kasus malaria, dan yang tidak pernah mengalami penyakit tersebut.
“Secara fisik mereka sudah recover dan bisa melakukan aktivitas dengan baik, tetapi malaria menekan kemampuan kognitif dan belajar, anak-anak menjadi tertekan sehingga berdampak di masa depan,” ucapnya ditemui di Ambon, Maluku, Rabu (28/2/2024).
Dalam pengendalian malaria, salah satu bentuk intervensi yang pernah dilakukan adalah distribusi kelambu di wilayah endemik malaria. Hal ini pernah direkomendasikan ekonom Columbia University Jeffrey Sachs, yaitu mendistribusikan kelambu gratis kepada masyarakat di Afrika beberapa dekade silam. Strategi ini menjadi salah satu upaya awal pemberantasan kemiskinan di daerah tersebut.
Meski demikian, implementasi program tersebut kerap terhambat akibat rendahnya kemauan warga untuk memakai kelambu. Untuk itu, Budi menambahkan, selain penggunaan kelambu, pihaknya akan menitikberatkan solusi pembangunan lingkungan yang sehat untuk mencegah penyebaran malaria. Seperti diketahui, nyamuk penyebab malaria berkembang biak dengan cepat di wilayah yang kotor.
“Kita harus coba berbagai cara, intervensi apa yang tepat, mengingat vaksin untuk malaria belum ada,” ujarnya.
Penyediaan fasilitas kesehatan menjadi salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular. Meski demikian, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Bertha Jean Que menjelaskan, permasalahan kesehatan di wilayah kepulauan, khususnya Maluku, masih mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari rasio dokter terhadap masyarakat yang masih rendah.
Berdasarkan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia, rasio dokter umum terhadap masyarakat adalah 40 dokter berbanding 100.000 orang. Namun di Maluku, hanya Kota Ambon dan Kabupaten Kepulauan Aru yang memenuhi rasio standar tersebut. Adapun Kota Ambon memiliki rasio 97 dokter berbanding 100.000 orang dan Kabupaten Kepulauan Aru sebesar 54 dokter berbanding 100.000 orang. Sebanyak delapan kabupaten dan satu kota masih berada di bawah standar.
Grafik 2 Sejumlah upaya pemberantasan malaria tahun 1958-1965
Dengan kondisi geografis yang didominasi perairan sebesar 92 persen, pelayanan kesehatan pun sulit menjangkau seluruh masyarakat. Ia menyebut Provinsi Maluku tidak kekurangan tenaga medis. Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura sendiri sudah meluluskan hingga 300-an dokter. Dengan angka tersebut, penyediaan layanan kesehatan harusnya mencukupi.
Bertha menambahkan, alasan utama masih sepinya dokter di berbagai pulau adalah terkait kesejahteraan. Ia berharap komitmen dari pihak pemerintah daerah untuk memberikan insentif yang adil bagi para dokter yang melayani daerah-daerah yang sulit dijangkau.
“Komitmen pemerintah daerah yang harus diperkuat, apabila memang cinta kepada warganya, harusnya berani mengeluarkan anggaran untuk insentif tenaga medis,” ujarnya.
Defisit pangan
Selain masalah penyakit, permasalahan defisit pangan yang dialami masyarakat juga memengaruhi kondisi mereka di masa depan. Dalam penelitian yang berbeda, menggunakan data Indonesia Family Life Survey tahun 2014, Budi dan tim menganalisis data kondisi masyarakat yang mengalami krisis pangan pada era 1960-an di Indonesia, serta dampaknya pada kondisi masyarakat hingga tahun 2014. Saat itu, sejumlah daerah di Pulau Jawa mengalami kelangkaan pangan.
Mereka yang terkena malaria saat kecil mengalami gangguan kognitif sehingga sulit belajar hingga masalah mental.
Dari hasil penelitian ditemukan, mereka yang saat kecil ikut mengalami defisit pangan akibat kelangkaan makanan memiliki tingkat pendidikan satu tahun lebih rendah dari mereka yang tidak terkena kejadian tersebut. Tidak hanya itu, anak yang lahir dari orangtua yang mengalami defisit pangan kala itu mengalami tengkes yang terlihat dari tinggi badan yang lebih rendah 2 hingga 3 sentimeter dari mereka yang tidak.
Kini permasalahan pangan semakin pelik. Harga beras melambung, ketersediaan pun menipis. Budi mengingatkan, dampak dari krisis pangan akan dirasakan hingga masa-masa yang akan datang.
Untuk itu, pemerintah perlu membuat solusi yang komprehensif. Pemerintah diimbau tidak hanya fokus terhadap peningkatan produksi pangan dalam negeri, tetapi juga menjaga daya beli masyarakat serta membenahi rantai logistik pangan yang dinilai menjadi salah satu penyebab permasalahan tingginya harga beras.
“Pemerintah juga harus berpikir mengenai asuransi bagi mereka yang rentan terkena dampak bencana alam. Ini salah satu upaya menjaga ekonomi masyarakat di tengah tekanan harga,” ucapnya.