Neuralink, antara Manfaat, Risiko, dan Etika
Neuralink, cip di otak, bisa membantu orang lumpuh mengendalikan komputer. Namun risiko dan keamanannya perlu dicermati.
Akhir Januari lalu, perusahaan milik miliarder teknologi Elon Musk, Neuralink, mengumumkan telah menanamkan komputer seukuran koin N1 pada otak manusia. Peranti itu diklaim bisa membantu orang dengan kelumpuhan tubuh untuk menggerakkan gawai hanya dengan pikirannya. Meski manfaatnya menjanjikan, perangkat ini menyimpan risiko dan masalah etika medis yang besar.
Memasukkan komputer kecil ke dalam otak manusia hingga manusia tersebut bisa melakukan banyak hal atau juga dikendalikan orang lain seperti robot seolah-olah hanya menjadi kisah dalam film-film fiksi ilmiah. Padahal untuk saat ini, cerita keterkaitan antara otak manusia dan komputer itu nyata meski masih dalam tahap uji keamanan dan keselamatan bagi pasien.
Neuralink menanamkan cip pertamanya N1 di otak manusia pada 29 Januari 2024. Sistem antarmuka otak-komputer atau brain-computer interface (BCI) itu dinamai Telepathy, meski pemakaian nama itu bisa memicu salah kaprah. Sistem ini mampu menerjemahkan sinyal otak pengguna menjadi informasi yang bisa memproses perangkat komputer melalui perantara bluetooth.
Terobosan itu, seperti dikutip dari Livescience, 31 Januari 2024, membantu penyandang disabilitas, terutama penderita quadriplegia atau orang yang mengalami kelumpuhan tubuh dari leher ke bawah mengontrol gawai dengan pikiran mereka. Mereka tidak perlu menggerakkan anggota tubuhnya untuk mengendalikan kursor komputer dan mengetik di gawai, tapi cukup dengan berkonsentrasi.
Untuk bisa melakukan tugasnya itu, cip N1 akan mencatat dan memproses aktivitas kelistrikan di otak. Kemudian, cip ini akan mengirimkan data tersebut ke perangkat eksternal, seperti telepon seluler atau komputer.
Baca juga: Otak Manusia Segera Bisa Ditanami Kecerdasan Buatan
Perangkat eksternal itu akan mengode ulang aktivitas otak pasien dan belajar mengasosiasikan pola-pola tertentu sesuai keinginan pengguna, mengenali pola-pola pemicuan saraf yang terjadi secara konsisten saat pengguna membayangkan tugas tersebut, dan akhirnya melakukan tugas seperti yang dipikirkan pengguna.
Manfaat itu bisa diaplikasikan untuk berbagai peranti lain yang dilengkapi komputer, seperti kursi roda. Karena itu teknologi ini diharapkan mampu membuat orang-orang yang mengalami kelumpuhan menjadi lebih mandiri.
Bukan pertama
N1 yang seukuran koin itu dimasukkan ke otak manusia melalui proses pembedahan. Robot akan mengebor tengkorak manusia dan membuat lubang kecil untuk memasukkannya. Setelah itu, perangkat ini akan dihubungkan dengan benang-benang polimer yang masing-masing berisi puluhan elektroda pada bagian otak yang bertugas mengendalikan gerakan. Secara total, N1 memiliki 3.072 elektroda.
Meski demikian, Neuralink bukanlah sistem BCI pertama yang dikembangkan dan diujikan pada manusia. Mahasiswa doktoral psikologi Universitas Monash Australia, Nathan Higgins, di The Conversation, 2 Februari 2024 menyebut sistem ini sudah dikembangkan puluhan tahun lalu.
Orang pertama yang menguji BCI adalah ahli saraf Universitas Oxford Inggris, Willian Walter, pada 1963 yang menghubungkan otak pasien dengan proyektor hingga sang pasien bisa menggerakkan slide presentasi Walter dengan hanya mengandalkan pikirannya.
Meski sudah lama, gelombang eksplorasi BCI dengan memakai teknik perekaman pada otak untuk memulihkan gerak dan komunikasi pada penderita kelumpuhan baru berkembang pesat pada dekade 2000-an. Aplikasi BCI di masa ini banyak bertumpu pada studi tentang aktivitas tunggal neuron atau sel saraf yang ada sejak 1940-an serta uji lebih kompleks pada tikus dan monyet pada 1990-an.
Neuralink, lanjut Higgins, hadir dengan teknologi terbaru dibanding perangkat sejenis Utah Array (UA) yang banyak digunakan sejak 2005. Neuralink memiliki lebih banyak elektroda, presisi lebih tinggi, lebih aman, tahan lama, dan lebih kompatibel dengan tubuh manusia. Implan Neuralink juga lebih tipis, lebih kecil, dan tidak terlalu menonjol jika dibandingkan dengan UA.
Komersialisasi Neuralink juga bakal menghadapi tantangan sengit. Pesaing paling kompetitifnya saat ini adalah sistem BCI, Synchron, buatan perusahaan rintisan asal Melbourne, Australia. Perangkat ini menggunakan jaring mikroelektroda yang dijalin melalui pembuluh darah di otak.
Sistem ini memungkinkan penderita lumpuh bisa mengoperasikan telepon seluler, komputer, menjelajahi internet, mengirim surat elektronik, dan bermain media sosial. Kelebihan lainnya, penanaman implan Synchron hanya memerlukan sayatan kecil di leher, bukan bedah saraf rumit seperti yang dilakukan Neuralink dan sebagian besar sistem BCI lain.
Baca juga : Elon Musk, Deretan Kegagalan yang Merintis Jalan Kesuksesan
Namun seperti ditulis dua peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington AS, profesor bioetika dan kemanusiaan Nancy S Jecker dan asisten profesor bedah neurologis Andrew Ko di The Conversation, 14 Februari 2024, implan N1 menggabungkan lebih banyak teknologi dalam satu perangkat.
Neuralink memiliki lebih banyak elektroda, presisi lebih tinggi, lebih aman, tahan lama, dan lebih kompatibel dengan tubuh manusia.
N1 mampu menargetkan neuron individual, merekam dari ribuan lokasi di otak, hingga mengisi ulang baterai kecilnya secara nirkabel. “Ini (N1) adalah kemajuan penting yang dapat memberikan hasil lebih baik,” tulisnya.
Kontroversi
Meski demikian, perjalanan N1 tidak mulus. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) melakukan penyelidikan atas tuduhan pelanggaran kesejahteraan hewan selama uji praklinik Neuralink pada tahun 2022 meski hasilnya tak terbukti. Namun surat Sekretaris USDA mencatat adanya ‘bedah yang merugikan’ pada 2019 seperti yang dilaporkan sendiri oleh Neuralink.
Selain itu, Reuters pada 26 Januari 2024 melaporkan Departemen Perhubungan AS mendenda Neuralink akibat pelanggaran aturan pengangkutan bahan berbahaya, termasuk sejumlah cairan yang mudah terbakar.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) memberi izin uji Neuralink pada manusia pada Mei 2023 dan proses ujinya baru dilakukan delapan bulan kemudian. Menurut Musk dalam cuitannya di X pada 30 Januari 2024 atau sehari sesudah implan N1 dimasukkan menunjukkan pasien pulih. Hasil awal memperlihatkan perangkat ini menerima lonjakan neuron yang memberi harapan bahwa proses uji memberi hasil menjanjikan.
Persoalannya, seperti ditulis Jecker dan Ko, informasi tentang implan N1 ini sangat terbatas, hanya mengacu pada brosur untuk menjaring peserta uji klinis yang dijalankan perusahaan Precise Robotically Implanted Brain-Computer Interface atau Prime.
Neuralink tidak mendaftarkan uji klinis N1 ke lembaga penyimpanan informasi kedokteran di AS ClinicalTrials.gov seperti pada proses uji klinis biasanya yang juga banyak disyaratkan dalam publikasi sejumlah jurnal ilmiah.
Rendahnya transparansi N1 menjadi perhatian serius sejumlah ilmuwan karena terkait dengan keamanan dan keselamatan peserta uji dan pemanfaatannya di masa depan. Tanpa adanya kontrol dari ilmuwan lain, hasil positif dalam jurnal bisa menimbulkan bias, termasuk menghalangi peneliti lain mempelajari kegagalan yang terjadi selama proses uji.
Selama ini, informasi Neuralink hanya mengacu pada siaran pers atau pernyataan Musk. Sejumlah peneliti di Hasting Center, lembaga riset dan wadah pemikir bioetika di New York, AS mengingatkan ‘sains melalui siaran pers’ yang diusung Musk dan makin umum dilakukan tetap bukan sains. Sumber informasi sains tak seharusnya bertumpu pada figur yang memiliki kepentingan finansial besar.
“Neuralink mewujudkan model ekuitas swasta yang makin umum dalam sains. Perusahaan yang mengumpulkan dana dari investor swasta guna mendukung terobosan ilmu pengetahuan mungkin berusaha berbuat baik. Namun mereka juga berusaha memaksimalkan keuntungan yang bisa saja bertentangan dengan kepentingan pasien,” tulisnya.
Selain tidak dipatuhinya sejumlah aturan prosedural, Neuralink menghadapi sejumlah masalah etika. Sistem BCI digunakan untuk membantu penyandang disabilitas agar bisa lebih mandiri memang terlihat baik. Sesuai salah satu prinsip utama etika medis, proses kerja N1 dan perangkat BCI lain bisa memulihkan kesadaran akan hak untuk memilih atau otonomi pasien.
Aspek Keamanan Pengembangan Kecerdasan Buatan Perlu Dipertimbangkan
Namun sebaik apa pun niat yang dimiliki, intervensi medis bisa membawa konsekuensi yang tidak diinginkan. Neuralink dan sistem BCI lain memiliki potensi pencurian identitas, peretasan sandi, dan pemerasan yang merugikan pasien. Selain itu, berdasarkan proses bagaimana perangkat implan ini mengakses pikiran penggunanya, maka ada potensi otonomi pasien dimanipulasi oleh pihak ketiga.
Ilmuwan juga mengkhawatirkan dampak buruk perangkat yang ditanamkan sepenuhnya di otak seperti N1 karena perangkat ini tak mudah diganti setelah diimplantasi. Karena itu, saat pengembang dan penyedia layanan menyarankan intervensi medis invasif kepada pasien, mereka harus mencari keseimbangan antara risiko dan manfaat yang bakal diperoleh pasien.
Karena N1 akan ditanam selamanya, perangkat ini harus memiliki manfaat besar agar mampu mengalahkan risiko yang tidak pasti. Perusahaan juga harus bersiap memberi dukungan jangka panjang ke pasien, baik jika proses ujinya berhasil maupun gagal.
Jika terjadi kesalahan, pasien harus mendapat dukungan untuk menghadapi konsekuensinya dan hal ini bisa berlangsung lama. Kalau berhasil, Neuralink harus memastikan bahwa perangkat itu tidak akan berhenti berfungsi.
Tak hanya itu, jika pemasangan Neuralink berhasil, perangkat ini dipastikan akan mengubah hidup pasien. Namun bagaimana jika akhirnya perusahaan bangkrut karena tidak mencapai target pemasaran yang diinginkan? Karena itu, perusahaan harus memiliki rencana jangka panjang apabila layanan Neuralink terhenti sedangkan N1 tidak mungkin diangkat kembali dari otak.
Kondisi itu memang memberikan pertanyaan etika yang mendasar, yakni apakah etis memberikan perangkat yang belum disetujui otoritas untuk digunakan masyarakat?
Kasus seperti ini, lanjut Higgins, pernah terjadi pada perusahaan pembuat implan retina guna mengatasi kebutaan, yaitu Second Sight Medical Product. Saat perusahaan bangkrut, implan telah tertanam lebih dari 350 pasien di seluruh dunia.
Padahal seiring waktu, implan akan menjadi usang dan tidak ada cara untuk melepaskannya kembali. Masalah-masalah seperti ini harus dijelaskan secara detail ke pasien dan perusahaan harus bertanggung jawab terhadap produknya hingga tuntas.
Situasi ini juga memunculkan pertanyaan terkait prinsip utama etika medis lainnya, yaitu tentang keadilan. Beberapa implan BCI yang canggih bisa memperburuk kesenjangan sosial karena hanya mereka yang kaya yang akan memiliki akses terhadap produk-produk ini.
Karena itu, Jecker dan Ko mengingatkan pentingnya pedoman etika dan hukum dalam pemanfaatan setiap produk inovasi ilmiah, termasuk terhadap cip N1 milik Neuralink. Meski produk inovasi medis itu memberi manfaat besar, situasi di masa depan yang membuat penggunaan produk tersebut tidak berkelanjutan perlu diantisipasi sedini mungkin.
Bagaimanapun, di atas manfaat, ada keselamatan dan keamanan pasien dan masyarakat yang harus senantiasa diindahkan. Meski sakit, menyandang disabilitas, atau memiliki kekurangan dan membutuhkan pertolongan orang lain, manusia tetaplah manusia yang memiliki harkat dan martabat yang wajib dijunjung dan dihormati siapa pun.