Cegah Demam Berdarah pada Masa Pancaroba
Tingginya kelembaban udara selama akhir musim hujan meningkatkan risiko demam berdarah.
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya kelembaban udara selama akhir musim hujan dan pancaroba telah meningkatkan pertumbuhan dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang meningkatkan risiko infeksi demam berdarah dengue. Masyarakat bisa berperan mencegah penularan dan penanganan dini yang tepat untuk mengurangi risiko kematian.
”Dalam sebulan terakhir, terlihat kecenderungan kasus DBD (demam berdarah dengue) di Indonesia mulai meningkat,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) M Adib Khumaedi dalam diskusi daring tentang tata kelola penanganan DBD secara terintegrasi, Selasa (27/2/2024).
Upaya penanganan kasus DBD membutuhkan kerja sama multisektor, termasuk pelibatan warga dalam menjaga sanitasi lingkungan. ”Kita pernah mengalami membeludaknya pasien DBD di Jakarta, beberapa tahun lalu, sehingga sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan harus bersiap. Selain komponen kuratif, terutama sangat penting adalah preventif," tuturnya.
Menurut Adib, upaya pencegahan menjadi sangat penting untuk mencegah meluasnya perkembangan DBD, apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga sudah mengeluarkan peringatan bahwa kondisi kelembaban tinggi bisa meningkatkan kasus.
Baca juga : Demam Berdarah Semakin Ganas akibat Pemanasan Global
”Seperti tahun-tahun lalu, risiko penularan DBD biasanya mulai awal tahun sampai bulan Juni. Maret-April bisa menjadi puncaknya,” tuturnya.
Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan penyakit tropik infeksi Soroy Lardo mengatakan, mengacu data Kementerian Kesehatan, sebaran kasus DBD di Indonesia tahun 2023 mencapai 114.252 kasus dengan total kematian 837 orang.
Dalam sebulan terakhir, terlihat kecenderungan kasus DBD (demam berdarah dengue) di Indonesia mulai meningkat
Jawa Barat memiliki kasus terbanyak, yakni 19.328 kasus, disusul Jawa Timur 9.401 kasus, dan Kalimantan Barat 9.003 kasus. Adapun kematian akibat DBD tertinggi terjadi di Jawa Tengah, yakni 143 korban, Jawa Barat 134 korban, dan Jawa Timur 103 korban.
Sejak Januari hingga pertengahan Februari 2024, jumlah kasus DBD sebanyak 10.665 kasus dengan infection rate (IR) sebesar 3,81 per 100.000 dengan angka kematian 89 kasus. Lima kabupaten atau kota yang memiliki kasus DBD tertinggi secara berturut-turut adalah Kendari, Kutai Kartanegara, Kota Bogor, Subang, dan Bandung Barat.
Faktor cuaca
Menurut Soroy, faktor cuaca saat ini menjadi tantangan bagi upaya penanganan DBD. ”Kelembaban tinggi memiliki peran penting dalam perubahan cuaca dan anomali terhadap penyebaran penyakit, dengan perubahan bionomik vektor dalam daya tahan hidup, densitas nyamuk yang memperluas proses penyebarannya,” ujarnya.
Soroy mengacu penelitian Gento Harsono (2013) dan Suharyo Hadi Saputro (2009) yang menunjukkan adanya pengaruh IOD (Indian Ocean Dipore) negatif dengan intensitas hujan yang tinggi memberikan habitat optimum nyamuk lebih aktif menjalani proses perkawinan pada stadium awal proses nyamuk Aedes aegypti.
Peta peringatan dini DBD dari BKMG menunjukkan kelembaban udara (relative humidity) di DKI Jakarta untuk bulan Februari 2024 memiliki probabilitas kesesuaian untuk vektor nyamuk DBD berkisar 81-86 persen. Adapun pada bulan Maret 2024 probabilitasnya sebesar 79-83 persen.
Baca juga : Kunci Pengendalian Demam Berdarah Dengue
Semakin tinggi probabilitasnya, semakin tinggi kemungkinan kelembaban ini mendukung pertumbuhan nyamuk Aedes aegepty yang kemudian berakibat pada meningkatnya penduduk yang terjangkit DBD.
Pencegahan dan penanganan
Soroy mengatakan, pencegahan penyebaran DBD bisa dilakukan dengan teknologi, di antaranya dengan Wolbachia. Teknologi Wolbachia merupakan inovasi yang dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia.
Kebijakan pengendalian DBD, baik pencegahan, deteksi dini, maupun manajemen, di Yogyakarta terbukti lebih efektif dengan adanya teknologi Wolbachia. ”Teknologi Wolbachia merupakan terobosan yang membuka simpul hulu dan hilir DBD dalam arena kesehatan preventif,” ujarnya.
Soroy menambahkan, DBD merupakan infeksi virus yang berdampak multisektor, tidak semata dalam tataran klinis, tetapi juga tataran komunitas. Peran masyarakat untuk menjaga kondisi lingkungan, seperti kebersihan lingkungan, terutama tempat penampungan air dan sanitasi, juga amat penting untuk mengatasi penyebaran penyakit ini. Selain itu, usahakan tak mengalami gigitan nyamuk.
Sementara itu, untuk mencegah keparahan dan risiko kematian, masyarakat perlu memahami gejala klinis dan perkembangan penyakit ini. Untuk gejala klinis, secara umum adalah demam, nyeri bagian belakang mata, nyeri tulang belakang, mual dan muntah, hingga munculnya bintik merah pada kulit. Bintik merah ini terkadang tidak muncul hingga tahap akhir penyakit.
”Secara umum anak-anak lebih rentan. Jadi, orangtua perlu memahami perjalanan klinis penyakit ini,” ujarnya.
Mengacu pada panduan penanganan DBD dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2009, fase demam akibat infeksi DBD biasanya berlangsung selama 1-3 hari. Fase kritikal 3-6 hari dan fase pemulihan 6-10 hari. ”Masalahnya, pemahaman masyarakat sering kali hanya memantau demam 1-3 hari saja,” ujarnya.
Baca juga : Kenali Perbedaan Gejala Demam pada Covid-19 dan Dengue
Menurut Soroy, untuk DBD ringan, pada fase tiga hari pertama pasien harus mendapat cairan cukup banyak. Jika masuk hari keempat dengan dehidrasi, maka berisiko terjadi komplikasi gangguan organ dan trombosit akan turun. ”Kalau pasien bisa ditangani dengan baik di fase kritikal dia bisa melewati pemulihan,” ujarnya.
Dengan tren DBD saat ini, jika anak-anak mengalami demam selama tiga hari, sebaiknya diperiksa dengan hati-hari. Jika pasien mengalami sakit perut yang parah, demam naik-turun, muntah terus-menerus, perdarahan pada gusi dan muntah darah, dan tubuh sangat lemas, sebaiknya segara mencari bantuan medis.
Hingga saat ini, tidak ada satu jenis obat pasti untuk menyembuhkan penyakit akibat virus dengue ini. Pengobatan hanya diberikan untuk mengendalikan gejala hingga pasien pulih kembali. Menurut WHO, opname alias rawat inap sangat diperlukan bagi pasien demam berdarah serius.
Tingkat keparahan pasien DBD bisa juga dipengaruhi faktor imunitas tubuh pasien, misalnya orang dengan diabetes lebih berisiko mengalami keparahan. Faktor lain adalah viral load atau muatan virus di tubuh. ”Gejala yang memiliki potensi memberat pada DBD bisa berupa pendarahan spontan, kebocoran plasma ( cairan pembawa darah), dan trombositopenia,” ujarnya.