Produksi dan Distribusi Dokter Perlu Berbasis Pendekatan Kewilayahan
Peningkatan produksi dokter harus mempertimbangkan distribusi berbasis kewilayahan serta penghargaan yang diterima.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah dokter di Indonesia, baik dokter umum maupun dokter spesialis, belum memenuhi rasio yang dibutuhkan di masyarakat. Untuk itu, produksi dokter perlu ditambah. Akan tetapi, peningkatan produksi dokter mesti mempertimbangkan distribusi berbasis kewilayahan agar tidak terjadi penumpukan di beberapa wilayah saja.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia, jumlah dokter umum di Indonesia yang teregistrasi saat ini sebanyak 153.857 dokter. Dengan jumlah total penduduk Indonesia yang kini mencapai 280,7 juta jiwa, jumlah dokter umum yang dibutuhkan kurang sekitar 96.000 dokter. Hal itu dihitung dengan merujuk target rasio dokter umum dengan penduduk sebesar 1,12 per 1.000 penduduk.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (23/2/2024), mengutarakan, produksi dokter setiap tahun sekitar 12.000 orang. Dengan jumlah itu seharusnya kebutuhan dokter bisa terpenuhi dalam delapan tahun. Dengan adanya pembukaan fakultas kedokteran baru, kebutuhan tersebut tentu akan lebih cepat terpenuhi.
”Persoalannya, yang kita hadapi tidak hanya sekadar kekurangan jumlah dokter, tetapi juga pemerataannya. Jumlah dokter memang kurang, tetapi kalau tidak memperhatikan distribusi yang baik dan penghargaan yang baik pula, penambahan FK untuk meningkatkan produksi dokter tidak akan menjadi solusi,” ujarnya.
Jumlah dokter memang kurang, tetapi kalau tidak memperhatikan distribusi yang baik dan penghargaan yang baik pula, penambahan FK untuk meningkatkan produksi dokter tidak akan menjadi solusi.
Ari menambahkan, distribusi dokter yang baik akan berdampak pada serapan yang baik di berbagai wilayah. Saat ini, ketika dokter dipindahkan atau dipekerjakan ke daerah yang masih kekurangan dokter, itu butuh biaya yang besar. Akan tetapi, komitmen di daerah pun untuk memenuhi kebutuhan dari tenaga medis juga masih kurang.
Tim Pencerah Nusantara mengecek kesehatan mata warga di Kelay, Berau, Kalimantan Barat. Di daerah-daerah terpencil ini, dokter muda, perawat, bidan, dan pemerhati kesehatan berupaya menghidupkan layanan kesehatan primer atau puskesmas.
Sejumlah kasus ditemukan bahwa masih ada dokter yang bertugas di daerah, seperti Papua, yang tidak mendapatkan tunjangan selama berbulan-bulan, Bahkan, ada pula yang insentifnya dipotong.
Maladistribusi
Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh Adib Khumaidi dalam temu media bertajuk ”Kekurangan Dokter dan Pemerataan Dokter”, di Jakarta, Kamis (22/2/2024), menuturkan, persoalan utama yang harus diperhatikan dalam pemenuhan tenaga medis di Indonesia, yakni karena maladistribusi.
Ketersediaan dokter tidak merata di wilayah Indonesia. Data nasional menunjukkan adanya kekurangan dokter, tetapi di sebagian wilayah justru menunjukkan adanya jumlah dokter yang melebihi rasio yang ditargetkan. Hal itu terutama terlihat dari sebaran dokter spesialis.
Pada sebaran dokter spesialis anak, misalnya, secara nasional rasio dokter spesialis anak ditetapkan 0,06 dokter spesialis per 1.000 anak. Secara nasional, rasio itu belum terpenuhi. Namun, sejumlah daerah dilaporkan memenuhi target rasio, yakni DKI Jakarta, Bali, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Banten, dan Kalimantan Utara.
Data yang sama juga ditunjukkan dari sebaran dokter spesialis penyakit dalam. Rasio dokter spesialis penyakit dalam yang disepakati sebesar 0,03 per 1.000 penduduk. Namun, dari target tersebut hanya ada beberapa wilayah yang sudah bisa memenuhinya, yakni DKI Jakarta, Aceh, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, dan Bali.
Rasio dokter umum dan penduduk di Indonesia.
”Tercapainya pemenuhan rasio tersebut juga dipengaruhi dengan adanya center (pusat) pendudukan spesialis di daerah itu. Di Aceh, contohnya, karena ada pendidikan spesialis penyakit dalam, kebutuhan di daerah tersebut juga daerah sekitarnya bisa lebih terpenuhi,” tuturnya.
Penyebab
Menurut Adib, kondisi tenaga medis tak merata di Indonesia disebabkan keengganan dokter bekerja di wilayah perdesaan dan terpencil. Keengganan itu dipicu, antara lain, kurangnya fasilitas pendidikan bagi anak dan lapangan kerja bagi pasangan, rendahnya insentif dan ketidakjelasan perkembangan karier, keterbatasan infrastruktur dasar, fasilitas pendukung lain, alat kesehatan, dan obat.
Selain itu, penyebab lainnya, yakni kebijakan pemberian insentif atau wajib pengabdian yang kurang kuat untuk menahan para dokter untuk tetap bekerja di daerah tersebut dalam jangka panjang, serta kerja sama yang kurang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyiapan kebutuhan dokter.
”Analisis kebutuhan tenaga kesehatan dan tenaga medis harus dilakukan berbasis dengan pendekatan kebutuhan kewilayahan. Peran Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sangat diperlukan, selain juga pemerintah daerah,” ujarnya.
Jika analisis ini tidak dilakukan dengan baik, dikhawatirkan produksi dokter dengan penambahan fakultas kedokteran tidak berdasarkan kebutuhan di tiap wilayah. Akibatnya, jumlah dokter berlebihan (overload) serta terjadi penumpukan di wilayah tertentu. Masalah kekurangan jumlah dokter pun tak akan teratasi di beberapa wilayah, terutama daerah terpencil dan terluar.
Aturan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 263 Ayat (5) harus diimplementasikan dengan baik. Dalam pasal tersebut disebutkan, dalam rangka penerbitan SIP (surat izin praktik), pemerintah pusat melibatkan pemerintah daerah untuk menetapkan kuota untuk setiap jenis tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Penetapan kuota tersebut memperhatikan ketersediaan dan persebaran tenaga medis dan tenaga kesehatan di daerah tersebut, rasio jumlah penduduk dengan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang aktif, serta beban kerja tenaga medis dan tenaga kesehatan.
”Jadi pemerintah harus tegas, jika saat itu sudah melebihi kuota di suatu wilayah. Harus ada kebijakan yang mengatakan dalam suatu wilayah sudah cukup dokter (umum) dan dokter spesialisnya sehingga didorong untuk bekerja di daerah yang masih kekurangan dokter,” tutu Adib.
Sebelumnya Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dalam siaran pers, pada 2 Februari 2024 mengatakan, tiap tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib memiliki SIP untuk menjamin mutu layanan kesehatan dan keselamatan warga penerima pelayanan kesehatan. SIP berlaku lima tahun dan bisa diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Dalam UU No 17/2023 disebutkan, surat tanda registrasi (STR) yang sebelumnya hanya berlaku lima tahun diubah menjadi berlaku seumur hidup. STR atau merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi.
Sementara SIP merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik. SIP diperlukan untuk memastikan semua pelayanan kesehatan yang diberikan bersifat legal, sesuai prosedur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
”SIP yang saat ini ada tetap berlaku sampai habis masa berlakunya sehingga tetap ada legalitas praktiknya walaupun STR sudah diubah menjadi seumur hidup. Jadi, meskipun STR berlaku seumur hidup, tidak perlu langsung memperbarui SIP, kecuali masa berlakunya sudah berakhir,” kata Nadia.