”Leuit”, dari Simbol Ketahanan Pangan hingga Lambang Kemakmuran Suku Baduy
”Leuit” adalah wujud ketahanan pangan dan kemakmuran suku Baduy. ”Leuit” teruji menjaga sumber pangan lintas generasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Bagi masyarakat suku Baduy, leuit atau lumbung padi bukan sekadar tempat menyimpan hasil panen. Bangunan bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, dan beratap daun rumbia atau kirai itu menjadi simbol ketahanan pangan sekaligus lambang kemakmuran urang Kanekes.
Hujan membasahi tanah dan jalan setapak menuju perkampungan di Baduy Dalam, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (10/2/2024). Petrikor menguar menyela aroma durian yang dijual warga di pinggir jalan.
Beberapa warga berteduh di bawah leuit. Bangunannya berbentuk rumah panggung dengan ukuran lebih kecil. Tingginya sekitar 3,5 meter dengan panjang 4 meter dan lebar 2,5 meter. Pintunya yang lebih menyerupai jendela terletak di bagian atas. Warga harus menggunakan tangga untuk memasukkan atau mengambil padi.
”Hampir semua warga Baduy memiliki leuit. Hasil panen padi dari puluhan tahun lalu disimpan di situ,” ujar Sarif (38), warga Kampung Cibeo, Baduy Dalam.
Selain Cibeo, di Baduy Dalam terdapat dua kampung lain, yaitu Cikartawana dan Cikeusik. Namun, leuit juga dimiliki oleh warga Baduy Luar yang tersebar di lebih dari 50 kampung. Bentuk leuit di Baduy Dalam dan Baduy Luar relatif sama.
Dalam buku Potret Kehidupan Masyarakat Baduy yang ditulis oleh Djoewisno MS (1987), leuit merupakan cermin kehidupan kepala keluarga yang sudah mapan membangun rumah tangga. Leuit merupakan wujud ketahanan pangan orang Baduy yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Leuit memiliki ukuran beragam, bergantung pada hasil panen padi huma para pemiliknya. Kapasitasnya bisa mencapai 1.000pocong (ikat) atau berkisar 2,5 ton sampai 3 ton.
Padi huma ditanam di ladang tadah hujan. Masyarakat Baduy menanam padi hanya sekali dalam setahun dan tidak menggunakan pupuk kimia. Padi dipanen setelah berumur enam bulan.
Setelah dipanen menggunakan etem atau ani-ani, padi dijemur dan dibersihkan kelopak-kelopak jerami dari tangkainya. Kemudian diikat dengan rapi dan diangin-anginkan beberapa hari untuk menghilangkan debu atau kotoran yang melekat pada butiran gabah.
Setelah itu, padi dimasukkan ke lumbung dengan disusun secara rapi. Letak tangkai di bagian dalam untuk menghindari kelembaban. Cara menyimpan padi yang diwariskan turun-temurun ini mampu membuat padi tidak rusak dan tetap layak dikonsumsi meski disimpan bertahun-tahun.
Padi leuit yang melimpah tidak hanya memberikan kesejahteraan pada keluarga pemiliknya. Saat pemilik leuit meninggal, salah satu leuit akan dibuka dan padinya dibagikan kepada tetangga.
Sarif menuturkan, padi di dalam leuit berfungsi sebagai cadangan makanan. Jadi, tidak boleh digunakan sembarangan, apalagi dijual. Beras dari padi leuit biasanya dipakai ketika hajatan dan acara adat. Selain itu, juga sebagai tabungan pangan untuk berjaga-jaga jika terjadi musibah.
Warga Baduy juga menanam palawija dan buah-buahan, seperti durian, cempedak, dan rambutan. Sebagian warga juga membuat gula aren dari pohon kawung. Hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dengan begitu, mereka tetap memiliki penghasilan tanpa harus menjual padi. Selain itu, beberapa warga menjadi pemandu bagi pengunjung yang ingin bersilaturahmi ke Baduy Dalam. Pengunjung mesti berjalan kaki sekitar 9 kilometer dari Terminal Ciboleger.
Kemakmuran
Masyarakat Baduy hidup dalam kesederhanaan. Kesejahteraan mereka tidak tecermin dari banyaknya uang, megahnya rumah, atau indikator kekayaan pada umumnya.
Mereka tidak mengenal hak kepemilikan tanah secara pribadi. Urang Kanekes menerapkan sistem pemanfaatan lahan bersama atas tanah ulayat.
Dalam kesehariannya, warga berjalan kaki dan tidak boleh naik kendaraan. Pengunjung yang masuk ke Desa Kanekes juga dilarang untuk membawa kendaraan.
Orang Baduy memiliki lambang kemakmuran sendiri, salah satunya leuit. ”Semakin banyak leuit, berarti semakin makmur pemiliknya,” ujar Ayah Naldi (43), warga Kampung Cibeo.
Setiap kepala keluarga biasanya memiliki lebih dari satu leuit. Bahkan, ada yang mempunyai 10 leuit. Akan tetapi, banyaknya jumlah leuit tidak untuk dipamerkan. Apalagi, letaknya tidak berada di dekat rumah, tetapi di pinggir perkampungan.
Bangunan rumah warga Baduy didominasi kayu dan bambu sehingga mudah terbakar. Tungku atau perapian berada di dalam rumah. Setiap rumah bisa memiliki lebih dari satu tungku. Banyaknya tungku melambangkan jumlah kepala keluarga yang tinggal di rumah tersebut.
Kebakaran rentan terjadi karena dari pagi hingga sore hari kebanyakan warga berada di ladang atau hutan. Kampung di Baduy Dalam relatif sepi saat siang.
”Kampung Cibeo sudah dua kali pindah lokasi. Salah satu penyebabnya adalah kebakaran. Namun, saat itu, warga masih bisa bertahan karena leuit tidak ikut terbakar. Jadi, stok makanan tetap aman,” ucapnya.
Dalam buku Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana yang ditulis R Cecep Eka Permana (2010) disebutkan, letak leuit di luar batas kampung merupakan kearifan lokal warga Baduy untuk menghindari bencana kebakaran. Jadi, jika terjadi kebakaran di permukiman, sumber pangan pokok mereka tidak ikut hangus.
Orang Baduy dapat membangun rumah kurang dari satu pekan. Namun, untuk mendapatkan padi, mereka harus melalui beberapa proses adat dan menunggu waktu lebih dari enam bulan untuk bisa panen.
Karena itulah, masyarakat Baduy sangat melindungi padi. Selain itu, lokasi kampung yang jauh dari perkampungan lain membuat bantuan dari luar akan sulit masuk. Hal ini ”memaksa” mereka untuk bisa menyediakan sumber pangannya sendiri, termasuk saat dilanda bencana.
Ayah Naldi menuturkan, padi leuit yang melimpah tidak hanya memberikan kesejahteraan pada keluarga pemiliknya. Saat pemilik leuit meninggal, salah satu leuit akan dibuka dan padinya dibagikan kepada tetangga.
”Biasanya padi yang dibagikan itu dari leuit paling besar. Barulah leuit lainnya diberikan kepada anak-anaknya. Jadi, kemakmuran pemilik leuit itu juga mengalir untuk orang-orang di sekitarnya,” ujarnya.