Bagaimana Kulit Pisang Bisa Menjadi Solusi untuk Sampah Plastik
Serat dari kulit pisang ternyata memiliki potensi besar sebagai pengganti plastik ”biodegradable”.
Masyarakat tradisional di beberapa negara tropis telah lama menggunakan daun pisang sebagai pembungkus ramah lingkungan, jauh sebelum ditemukan plastik. Seiring dengan masalah lingkungan yang disebabkan limbah plastik, saatnya kini kembali ke pisang. Serat dari kulit pisang ternyata memiliki potensi besar sebagai pengganti plastik.
Pisang merupakan salah satu buah tropis yang paling banyak ditanam, dibudidayakan di lebih dari 130 negara. Tanaman ini menyumbang 16 persen dari buah-buahan di seluruh dunia, menjadikannya buah yang paling banyak diproduksi kedua setelah jeruk.
Sebagai sumber pangan, pisang berada di urutan keempat di dunia yang paling banyak dikonsumsi setelah padi, gandum, dan jagung, dengan rata-rata 12 kg per kapita per tahun dengan tren yang meningkat. Produksi pisang global meningkat 10 persen antara tahun 2010 dan 2020, mencapai 119 juta ton.
Baca juga: Pisang Indonesia Varietas Unggul Baru
Meski demikian, manfaat pisang sebenarnya bukan hanya sebagai sumber pangan. Laporan dua peneliti teknologi pangan dari South Dakota State University, Amerika Serikat, Mominul Hoque dan Srinivas Janaswamy, di jurnal Sustainable Chemistry and Pharmacy edisi Februari 2024, mengungkap bagaimana tanaman pisang bisa menjadi solusi bagi masalah pencemaran sampah plastik.
Masyarakat tradisional di beberapa negara tropis, termasuk di Indonesia, telah menggunakan daun pisang untuk pembungkus makanan. Namun, sebagian besar bagian dari tanaman pisang, terutama kulitnya, biasanya dibuang.
Dalam penelitian ini, Hoque dan Janaswamy menunjukkan bagaimana caranya mengolah limbah kulit pisang menjadi plastik biodegradable yang bisa terurai di lingkungan, untuk menggantikan plastik konvensional berbahan dasar minyak bumi yang menjadi sumber polusi karena sulit terurai.
”Banyak dari kita mengonsumsi setidaknya satu pisang sehari. Setelah menikmati kelezatan buahnya, kita membuang kulitnya. Bagaimana jika kita bisa menemukan kegunaan kulitnya untuk membantu menghilangkan sampah plastik?” kata Janaswamy, profesor kimia pangan, dalam keterangan tertulis.
Selama beberapa tahun terakhir, Janaswamy telah meneliti bagaimana berbagai produk sampingan pertanian, seperti kulit pisang dan alpukat, dapat dimanfaatkan untuk membuat plastik biodegradable.
Limbah tanaman pisang
Salah satu masalah terbesar dengan plastik berbahan dasar minyak bumi adalah kurangnya penguraian. Misalnya kemasan plastik, seperti kantong plastik, membutuhkan waktu hingga 20 tahun untuk terurai.
Dengan sangat sedikitnya plastik yang didaur ulang, sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibuang ke lingkungan sekitar, sehingga menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan. Menemukan alternatif pengganti plastik yang terurai dengan relatif cepat akan sangat membantu dalam memerangi krisis sampah plastik yang sedang berlangsung.
Baca juga: Pisang Agung Semeru, Pangan Lokal Kaya Nutrisi
”Secara keseluruhan, kurangnya biodegradabilitas plastik dan dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan memerlukan tindakan remediasi dengan alternatif yang layak,” kata Janaswamy.
Karena pisang adalah salah satu buah yang paling banyak ditanam di dunia, pisang menghasilkan produk sampingan yang sangat banyak. Di seluruh dunia, perkebunan pisang menghasilkan sekitar 220 ton residu per 2,5 hektar.
Residu pisang sebagian besar terdiri dari bahan lignoselulosa, bahan utama dalam pembuatan film yang dapat terbiodegradasi. ”Residu lignoselulosa dari sampah organik menonjol sebagai alternatif yang layak untuk membuat bioplastik karena strukturnya yang kuat, mudah terurai secara hayati, kepadatannya rendah, dan tidak beracun,” kata Janaswamy.
Residu pisang, dalam hal ini kulitnya, hampir selalu tidak terpakai sehingga merupakan produk sampingan yang hampir sempurna untuk digunakan dalam pekerjaan ini. ”Setiap tahun dihasilkan hampir 36 juta ton kulit pisang, yang sebagian besar dibuang sebagai limbah,” kata Janaswamy.
Industri pengolahan makanan membuang sejumlah besar kulit pisang ke tempat pembuangan sampah saat memproduksi keripik, tepung, jus, selai, makanan bayi, dan produk lain yang terbuat dari pisang. Menemukan kegunaan kulit pisang selain memberikan manfaat finansial bagi sektor pertanian, juga bisa mencegah pencemaran lingkungan.
Baca juga: Kantong ”Biodegradable” Tidak Direkomendasikan untuk Daur Ulang Sampah Organik
Selain itu, produksi pisang meningkat 10 persen pada 2010-2020 dan diperkirakan akan terus meningkat selama dekade berikutnya. Kebutuhan bahan kemasan plastik juga diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap pangan kemasan dan olahan.
Singkatnya, bahan kemasan seperti plastik yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan. Dalam sebuah studi terbaru ini, Janaswamy dan Mominul Hoque, asisten peneliti, menunjukkan bagaimana kulit pisang dapat dimanfaatkan untuk membuat plastik yang terurai secara hayati.
Dari kulit menjadi plastik
Untuk menjadikan limbah pisang sebagai plastik, tim peneliti terlebih dahulu mengolah kulit pisang menjadi dedak dengan menggunakan blender. Kemudian, seperti yang dilakukan Janaswamy dan timnya sebelumnya pada kulit alpukat, ampas kopi bekas, dan rerumputan, mereka mengekstraksi bahan lignoselulosa menggunakan proses pengolahan kimia.
Serat yang diekstraksi kemudian dilakukan pemutihan, penyulingan dan pengolahan sebelum diolah menjadi bahan plastik. Setelah kering, sifat plastik diuji.
”Plastik (dari kulit pisang) ini kuat dan transparan, dan yang lebih penting, terurai dalam waktu 30 hari pada kadar air tanah 21 persen,” kata Janaswamy.
Baca juga: Peliknya Pengelolaan Sampah Kemasan Plastik
Transparansi adalah salah satu sifat penting dari plastik karena konsumen lebih memilih kemasan transparan untuk menilai kesegaran suatu makanan. Janaswamy mengatakan, plastik yang disiapkan pada penelitian ini lebih transparan dibandingkan produk lain yang dibuat dari produk samping yang berbeda.
Nilai yang terkait dengan kekuatan tarik dan perpanjangan dapat digunakan untuk memprediksi apakah suatu plastik dapat mempertahankan integritasnya sebagai bahan pengemas makanan. Janaswamy mencatat, nilai yang terkait dengan plastik kulit pisang lebih tinggi dibandingkan dengan tas belanjaan komersial.
”Lapisan lembaran serat kulit pisang menunjukkan kekuatan tarik lebih dari 30 MPa, yang tentunya akan menarik untuk aplikasi tas karung dan pengemasan terkait,” jelas Janaswamy.
Secara keseluruhan, sifat-sifat tersebut menunjukkan, kulit pisang dapat menjadi bahan yang layak digunakan untuk membuat lembaran biodegradable.
”Penelitian kami yang melibatkan bahan-bahan kimia yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang merupakan cara yang menjanjikan secara ekonomis dan berkelanjutan untuk memproduksi lembaran yang dapat terbiodegradasi untuk menggantikan plastik petrokimia dan dengan demikian merupakan kontribusi yang menarik bagi bioekonomi sirkular,” tambah Janaswamy.
Temuan ini membuka kemungkinan baru bagi kulit pisang dan produk sampingan pengolahan buah lainnya dalam merancang dan mengembangkan kemasan biodegradable pengganti plastik. Kini, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk meneliti skalabilitas dan komersialisasi produksi plastik ramah lingkungan ini.