Romo Sastrapratedja, Pemikir Filsafat Itu, Berpulang
Romo Michael Sastrapratedja SJ, seorang akademisi dan mantan rektor dari sejumlah perguruan tinggi Katolik, berpulang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Romo Michael Sastrapratedja SJ, seorang akademisi dan mantan rektor dari sejumlah perguruan tinggi Katolik, mengembuskan napas terakhir pada Sabtu, 17 Februari 2024 malam. Semasa hidupnya, Romo Sastrapratedja kerap memberikan terobosan dan selalu tekun mempelajari ilmu terbaru khususnya terkait filsafat.
Kabar meninggalnya Romo Sastrapratedja, yang lahir pada 22 Oktober 1943 ini, tersiar di sejumlah portal jaringan Katolik Indonesia. Mendiang mengembuskan napas terakhir pada Sabtu pukul 23.13 karena sakit di Rumah Sakit St Elisabeth, Semarang, Jawa Tengah.
Romo Sastrapratedja mengawali kariernya sebagai akademisi saat menjadi dosen filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, tahun 1969. Sejak saat itu, Romo Sastrapratedja terus mengembangkan karier akademisinya hingga dipercaya menjabat sebagai rektor selama 20 tahun lebih tanpa henti di perguruan tinggi yang berbeda-beda.
Beberapa jabatan yang pernah ia emban adalah Ketua (Rektor) STF Driyarkara, Jakarta, tahun 1984-1988; Rektor Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, tahun 1989-1993; dan Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tahun 1993-2001.
Dosen STF Driyarkara, Augustinus Setyo Wibowo, melihat salah satu hal yang menarik dari Romo Sastrapratedja ialah ketekunannya dalam mempelajari filsafat kontemporer. Ketekunan ini ditunjukkan dengan selalu membaca buku-buku terbaru tentang isu-isu filsafat manusia, filsafat ketuhanan, hermeneutika, dan etika.
”Selama masa aktifnya, Romo Sastra adalah akademisi yang tekun membaca buku-buku yang menjadi bidang keahliannya. Para pegawai di Perpustakaan STF Driyarkara adalah saksi hidup mengenai hal ini. Semasa hidupnya, Romo Sastra rajin ke perpustakaan dan membawa buku-buku baru untuk koleksi perpustakaan,” ujarnya ketika dihubungi, Minggu.
Menurut Setyo, ketekunan tersebut bisa menjadi teladan bagi masyarakat kita yang literasinya masih sangat rendah. Hal ini juga berlaku bagi akademisi lain yang panggilan hidupnya memang menyebarkan pengetahuan sehingga harus selalu belajar dan membaca isu-isu terbaru di bidangnya.
Tak sekadar tekun membaca, Romo Sastrapratedja juga tekun menyampaikan ilmu melalui sejumlah buku yang ditulisnya, seperti Sebuah Renungan Filsafat (1982), Agama dan Tantangan Masa Kini (2002), Pendidikan sebagai Humanisasi (2013), dan Pendidikan Multidimensional (2015).
Saat menjadi rektor, Romo Sastrapratedja juga sempat melakukan terobosan di universitasnya. Sebagai Ketua STF Driyarkara, ia mengintroduksi program kajian budaya. Kemudian, saat menjadi rektor di Universitas Sanata Dharma, ia juga membuka fakultas farmasi hingga menjadi salah satu fakultas favorit.
Ketika tidak lagi duduk dalam jabatan struktural perguruan tinggi, Romo Sastrapratedja mendirikan Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Lembaga ini bertujuan mengembangkan penelitian dan penulisan di bidang filsafat Barat dan Timur serta bermaksud menghidupkan kembali refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai dasar negara.
Sosok humoris
Selain ketekunan dan terobosannya, Romo Sastrapratedja juga dikenal sebagai sosok yang humoris. Bahkan, ia bisa membuat paparan terkait filsafat terasa ringan dan menyegarkan. Hal ini ia tunjukkan salah satunya saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar ilmu filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, pada 2003 silam.
Saat itu, Romo Sastrapratedja menyelipkan kalimat candaan di sela-sela menyampaikan pidato ilmiah berjudul ”Setelah Limaratus Tahun Berakhirkah Humanisme?” yang padat dan ketat. Dia berkata, di antaranya, ”Masakan ketenaran Nietzsche dikalahkan Inul Daratista dari Pasuruan” (Kompas, 11/3/2003).
Dalam catatan Kompas, Romo Sastrapratedja juga kerap menyampaikan pandangan terkait dengan proses pendidikan, khususnya di jenjang perguruan tinggi. Saat masih menjabat sebagai Rektor Universitas Soegijapranata, Romo Sastrapratedja menekankan bahwa tugas perguruan tinggi ialah menciptakan perubahan dalam diri peserta didik.
Di samping membuat perubahan dalam diri peserta didik, universitas juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat. Jika dua hal itu berjalan sejajar, universitas akan mampu menghasilkan peserta didik yang dibutuhkan masyarakat.
Menurut rencana, misa requiem dan pemakaman Romo Sastrapratedja akan dilaksanakan pada Senin, 19 Februari 2024, pukul 10.00 di Gereja St Stanislaus Girisonta, Semarang. Misa dan pemakaman juga akan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Jesuit Indonesia.