logo Kompas.id
HumanioraDemokrasi Berkualitas Butuh...
Iklan

Demokrasi Berkualitas Butuh Kemampuan Berpikir Kritis

Demokrasi berkualitas butuh pemilih kritis. Tanpa itu, demokrasi menjadi kurang bermartabat dan menyejahterakan rakyat.

Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
· 7 menit baca
Para karyawan instansi kompleks perkantoran Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, antre di TPS Pemilu 1992, Selasa (9/6/1992) pagi.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Para karyawan instansi kompleks perkantoran Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, antre di TPS Pemilu 1992, Selasa (9/6/1992) pagi.

Hari pemungutan suara Pemilu 2024 tiba. Sebanyak 204,8 juta pemilih di seluruh wilayah Indonesia akan memilih calon presiden-wakil presiden dan calon anggota legislatif di berbagai tingkatan pada Rabu (14/2/2024). Dalam pemilihan tersebut, kemampuan berpikir kritis pemilih sangat dibutuhkan agar diperoleh pemimpin yang berkualitas serta proses pemilu yang demokratis dan bermartabat.

The Economist Intelligent Unit menetapkan Indeks Demokrasi (ID) Indonesia 2022 dengan skor 6,71 dan masuk ke kelompok negara dengan ”demokrasi cacat”. Negara dengan ”demokrasi penuh” memiliki skor minimal 8,0 dan umumnya diduduki negara-negara maju. ID Indonesia 2022 ini sama dengan 2021, meningkat dibandingkan ID 2017-2020, tetapi lebih rendah dibandingkan ID 2012-2016.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Negara dengan tipe ”demokrasi cacat” sebenarnya masih memiliki pemilu yang adil dan bebas serta menghormati kebebasan sipil. Namun, ada sejumlah masalah dalam penerapannya, seperti pelanggaran kebebasan pers atau penekanan terhadap kelompok tertentu. Negara ini juga memiliki budaya politik belum maju, partisipasi politik rendah, dan pemerintahan yang kurang berfungsi.

Filsuf Universitas Harvard Amerika Serikat, Hilary Putnam (1926-2016), pernah menyebut bahwa rasionalitas dan nilai-nilai demokrasi itu pada hakikatnya saling berhubungan. Proses demokrasi diperlukan untuk membentuk rasionalitas sosial. Karena proses sosial harus berlangsung rasional, demokratisasi juga harus dilandasi rasionalitas.

Namun, seperti ditulis Masdar Hilmy di Kompas, 11 Januari 2024, tujuan akhir demokrasi adalah menumbuhkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat. Meski demikian, hiruk-pikuk politik harian di Indonesia justru sering memalingkan elite dari fokus tujuan akhir demokrasi dan tenggelam dalam pemenuhan target antara demokrasi, yaitu meraih kekuasaan.

Rasionalitas publik juga belum terbangun dengan baik. Kualitas argumentasi publik tentang kesejahteraan umum yang adil, rasional, dan konstitusional masih banyak dipengaruhi doktrin keagamaan dan aspek-aspek primordial lain. Akibatnya, sejumlah kebijakan diundangkan tanpa basis rasionalitas dan bukti ilmiah yang kuat meski aturan itu mengikat dan memaksa.

Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta  para komisioner KPU naik ke panggung bersama-sama di sesi akhir debat putaran ke-5 calon presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta para komisioner KPU naik ke panggung bersama-sama di sesi akhir debat putaran ke-5 calon presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023).

Selain itu, perilaku memilih seharusnya bertumpu pada kecerdasan atau kompetensi pemilih. Memilih pemimpin bukan sekedar dilakukan atas dorongan afektif, primordial, atau asal-asalan, melainkan berbasis kesadaran nurani dan akal budi tentang baik buruknya sebuah keputusan. Karena itu, pemilih harus tahu risiko pilihannya, baik dalam skala individu maupun sosial.

Dalam konteks itulah, membangun kemampuan berpikir kritis masyarakat menjadi penting dalam proses demokrasi yang dibangun. Dengan berpikir kritis, seseorang mampu mengakses, menganalisis, dan menyintesis informasi yang ada. Kemampuan berpikir kritis juga akan membuat seseorang mampu menalar lebih baik, menggali kesimpulan logis berdasarkan fakta dari sumber yang relevan, serta mengaitkan antarfakta yang ada.

Di sinilah berbagai masalah muncul. Kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai materi bacaannya hanya 30 persen (Syahliani dan Jamal, 2014). Mereka juga sulit menjawab soal-soal berbentuk uraian yang membutuhkan penalaran. Kebiasaan menghafal, mengerjakan soal pilihan ganda, dan proses pendidikan yang terpusat pada guru membuat siswa tidak terbiasa bernalar dan mengomunikasikan pemahamannya dengan tepat.

Kondisi itu selaras dengan rendahnya nilai PISA (Programme for International Student Assessment) 2022. Nilai matematika siswa Indonesia hanya 366 poin, sementara nilai rata-rata matematika siswa di negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencapai 472 poin. Nilai membacanya 359 poin (476 poin untuk OECD), dan nilai sains 383 poin (485 poin untuk OECD).

Rendahnya kemampuan siswa Indonesia berumur 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains itu membuat mereka sulit bersaing di kancah global. Kondisi itu juga sangat memengaruhi produktivitas mereka di industri nasional sehingga kompetensi dasar dan etika kerja mereka sering dikeluhkan pemberi kerja.

Jika ditarik lebih ke hulu, rendahnya kemampuan siswa dalam belajar siswa itu, salah satunya, disebabkan oleh rendahnya tingkat inteligensi (IQ) mereka. Data International IQ Test 2024 menunjukkan rata-rata IQ orang Indonesia 92,64 atau menduduki peringkat ke-95 dari 115 negara.

Salah satu pemicu rendahnya IQ itu adalah tingginya prevalensi tengkes (stunting) di Indonesia. Padahal, tengkes yang tidak bisa diobati dan hanya bisa dicegah itu menurunkan tingkat kecerdasan anak hingga 15 poin. Sejak 2007 hingga 2018, rata-rata 1 dari 3 anak balita Indonesia mengalami tengkes. Baru pada 2021, pemerintah melakukan percepatan penurunan tengkes yang hasilnya mulai terlihat.

Baca juga: Memilih Presiden Ideal

Iklan
Para calon presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Umum 2024.
KOMPAS

Para calon presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Umum 2024.

Lemahnya kemampuan berpikir kritis anak Indonesia itu juga berdampak pada interaksi sosial mereka. Anak dengan kemampuan berpikir kritis rendah umumnya juga memiliki interaksi sosial yang rendah. Artinya, mereka kurang mampu bertukar pendapat dan merespons pendapat orang lain.

Kondisi itu diperparah dengan sistem pendidikan Indonesia yang cenderung tidak menyukai murid yang banyak bertanya. Dalam keluarga, orangtua juga masih banyak yang menghendaki kepatuhan mutlak anak pada orangtua sebagai akibat lemahnya kemampuan argumentasi orangtua. Dalam lingkungan bekerja pun, orang kritis sering kali dianggap sebagai pengganggu sehingga kurang disukai.

Masalahnya, jika kemampuan berpikir kritis mereka rendah, mereka akan mudah termakan hoaks dan propaganda pihak-pihak lain. Mereka juga akan mudah dimanipulasi dan dimanfaatkan orang lain demi kepentingan mereka.

Rendahnya kemampuan berpikir itu juga membuat media sosial dipenuhi adu argumen yang tidak memiliki dasar ilmiah kuat. Mereka pun kurang memiliki empati dan mudah merendahkan orang lain, menuding orang tidak pintar, meski argumen yang digunakan sama-sama tidak menunjukkan rasionalitas mereka. Argumen mereka masih banyak didasari atas doktrin agama yang dibuat hanya demi kepentingan kelompok tertentu.

Dalam pemilu, orang dengan kemampuan berpikir kritis yang rendah akan lebih menekankan pilihan politiknya berdasarkan emosi.

Dalam pemilu, orang dengan kemampuan berpikir kritis yang rendah akan lebih menekankan pilihan politiknya berdasarkan emosi. Mereka cenderung memilih calon pemimpin hanya berdasarkan rasa suka, baik kesukaan terhadap wajah, citra positif yang dibangun, maupun gimik yang menarik. Bagi mereka, berat untuk menimbang rekam jejak ataupun menilai kepentingan dan manfaat visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan calon pemimpin.

Konsekuensinya, kualitas pemimpin yang terpilih pun akan setali tiga uang dengan kualitas pemilihnya. Wajar jika akhirnya kebijakan yang dibuat sering kali tidak didasari atas pertimbangan ilmiah yang kuat walau mereka bisa mengakses ilmuwan dan ahli kebijakan publik dengan mudah. Kebijakan yang dibuat cenderung untuk menyenangkan kelompok tertentu dan kurang memperhatikan dampaknya terhadap kesejahteraan umum.

Kondisi itulah yang membuat perbaikan kualitas manusia Indonesia menjadi penting. Dalam puncak bonus demografi yang kini berlangsung dan dua dekade lagi menuju Indonesia Emas 2045, investasi sumber daya manusia seharusnya bukan lagi menjadi masalah. Jika tidak, Indonesia akan terus keteteran mengikuti kemajuan yang digapai negara lain.

Kader Posyandu Dusun Bongor Mekarasi mengukur tinggi badan anak balita dalam kegiatan Posyandu Keluarga di Dusun Bongor, Desa Taman Ayu, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (12/12/2023). Posyandu Keluarga yang saat ini berjumlah lebih dari 7.700 unit menjadi salah satu bagian penting dalam pencegahan dan penurunan angka tengkes (<i>stunting</i>) di Nusa Tenggara Barat.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Kader Posyandu Dusun Bongor Mekarasi mengukur tinggi badan anak balita dalam kegiatan Posyandu Keluarga di Dusun Bongor, Desa Taman Ayu, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (12/12/2023). Posyandu Keluarga yang saat ini berjumlah lebih dari 7.700 unit menjadi salah satu bagian penting dalam pencegahan dan penurunan angka tengkes (stunting) di Nusa Tenggara Barat.

Untuk itu, tengkes harus segera diselesaikan. Prevalensi tengkes Indonesia 2022 memang sudah mencapai 21,6 persen atau sedikit di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen. Namun, angka ini harus ditekan ke tingkat terendah karena semua anak Indonesia berhak untuk tumbuh dan berkembang optimal. Minimal, persoalan stunting akibat buruknya sanitasi, air bersih, atau kurang gizi dasar sudah tidak ditemukan lagi karena semua itu bisa dicegah.

Transformasi pendidikan Indonesia pun seharusnya makin diperkuat. Pendidikan yang bertumpu pada guru dan menekankan pada hafalan perlu digeser ke sistem yang lebih memacu siswa untuk aktif. Siswa harus didorong untuk berani mengungkapkan pendapatnya dan mengomunikasikan idenya tanpa harus takut dianggap salah atau dicap sebagai anak yang ”rewel”.

Pendidikan dalam keluarga pun perlu diperbaiki. Orangtua, ayah dan ibu, sama-sama memiliki kewajiban mengasuh anaknya, memberi stimulasi yang tepat, mendukung minat dan bakat anak, hingga mencukupi kebutuhan rohaninya, bukan sekadar kebutuhan materi semata. Sebaik apa pun gizi anak dipenuhi tanpa adanya stimulus yang tepat, maka potensi anak tetap sulit optimal.

Oleh karena itu, siapa pun presiden-wakil presiden dan anggota legislatif yang terpilih nantinya, persoalan investasi sumber daya manusia perlu menjadi perhatian serius. Jika tidak, kesempatan Indonesia meraih bonus demografi bakal terlewatkan dan menjadi bencana demografi. Selama pembangunan manusia Indonesia masih dilakukan biasa-biasa saja, Indonesia akan makin tertinggal dari negara lain yang lebih aktif berinvestasi pada pembangunan manusia.

Meski kondisi ideal ini sulit diwujudkan karena kualitas pemimpin dari pusat hingga daerah tidak merata, komunitas pendidikan dan kesehatan perlu terus aktif mengingatkan pentingnya investasi sumber daya manusia. Mereka juga perlu terus menyuarakan pandangan keilmuan mereka dalam kebijakan-kebijakan yang disusun pemerintah.

Jika perbaikan kualitas manusia itu tidak dilakukan segera, proses demokrasi di Indonesia akan terus berjalan penuh dengan keriuhan, debat kusir hal-hal yang tidak substansial dan keluar dari persoalan pokok, hingga penggunaan doktrin-doktrin agama untuk menilai dan menghakimi orang yang berbeda pandangan. Pemimpin yang terpilih pun akan tetap didasari atas alasan-alasan primordial, bukan karena kemampuan atau kompetensi mereka.

Baca juga: Zainal Arifin Mochtar Jawab Sejumlah Tudingan Terkait Film ”Dirty Vote”

Tanpa ada perbaikan kualitas manusia, kebijakan-kebijakan ajaib tanpa didasari bukti ilmiah yang kuat juga akan terus bermunculan. Anggaran negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan optimal untuk kesejahteraan masyarakat pun tidak termanfaatkan dengan baik, yang ujungnya akan kembali merugikan masyarakat.

Oleh karena itu, pemilu hari ini akan menentukan nasib Indonesia ke depan. Pilihlah pemimpin terbaik dengan pertimbangan rasional demi Indonesia ke depan yang lebih baik.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000