Maju Mundur Pemerintah Menyiapkan ”Student Loan” ala Indonesia
Pinjaman kuliah tengah dikaji. Skema ”income contingent loan” yang berbasis pendapatan dinilai lebih ramah.
Pinjaman daring atau lebih dikenal sebagai pinjaman online alias pinjol atau pindar semakin menjadi alternatif masyarakat saat butuh duit. Beberapa tahun terakhir, mengemuka tawaran pembiayaan melalui pindar untuk menghindari tunggakan uang kuliah mahasiswa. Pemberi layanan pinjaman dari lembaga keuangan nonbank itu bermitra secara resmi dengan perguruan tinggi.
Hal ini mencuat dan ramai diperbincangkan setelah beberapa waktu lalu muncul protes dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Meskipun hanya salah satu alternatif dan tidak dipaksakan, skema pindar sebagai pinjaman berbunga yang dibayar saat mahasiswa masih kuliah membuka fakta semakin banyak mahasiswa yang kesulitan membayar uang kuliah.
Setiap tahun selalu ada permintaan keringanan biaya kuliah, termasuk di perguruan tinggi negeri (PTN). Di Universitas Gadjah Mada (UGM), setiap tahun ada lebih dari 7.000 mahasiswa diberikan pengurangan uang kuliah tunggal (UKT) dengan total sekitar Rp 20 miliar. Di ITB, pada Desember 2023, sebanyak 1.800 mahasiswa mengajukan keringanan UKT.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Bantuan Pinjaman Bunga Nol Persen untuk Biaya Kuliah
Sebenarnya, pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo mendorong ada kredit untuk para pelajar dan mahasiswa. Kredit pendidikan (student loan) bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong semua warga masyarakat dalam mengakses pendidikan. Pemerintah masih mencari skema pengembalian kredit yang paling efektif.
”Ini dalam rangka investasi di bidang sumber daya manusia Indonesia,” kata Presiden dalam pengantar rapat terbatas terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia. (Kompas, 16/3/2018).
Bahkan, saat itu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir sampai meminta Kementerian Koordinator Perekonomian memberikan skema bunga nol persen pada kredit pendidikan mahasiswa. Namun, seiring waktu berlalu, semangat untuk mewujudkan kredit pendidikan pun sirna. Kegagalan pengembalian pinjaman mahasiswa lewat program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pada 1980-an membuat kajian pemerintah untuk mewujudkan kembali kredit mahasiswa menjadi maju mundur alias setengah hati.
Sampai akhirnya ramai protes masuknya pindar yang digandeng perguruan tinggi. Pemerintah kembali melontarkan wacana akan mengkaji kembali kredit mahasiswadengan skema yang tepat.
Pinjaman berbasis pendapatan
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam, di Jakarta, Jumat (9/2/2024), mengemukakan, skema pendanaan pendidikan tinggi melalui pinjaman kuliah telah dikaji. Saat ini Kementerian Keuangan memperdalam kajian skema kredit mahasiswadalam bentuk pinjaman berbasis pendapatan (income contingent loan/ICL) yang cukup sukses diterapkan di Australia.
Nizam menjelaskan, sebetulnya banyak skema yang dapat dikembangkan oleh perguruan tinggi untuk mengatasi masalah kesulitan uang kuliah mahasiswa tersebut. Misalnya, model skema kakak asuh—alumni/kakak kelas yang sudah lulus dan sukses di bidangnya—membantu adik kelasnya baik dengan pinjaman ringan maupun hibah. Contoh lain, ikatan alumni bisa menggalang dana beasiswa untuk mengatasi kesulitan keuangan adik-adiknya, fund raising, CSR (tanggung jawab sosial perusahaan), filantropi, dan melalui dana abadi.
Tidak ada pembayaran yang diperlukan ketika orang berada dalam situasi berpenghasilan rendah.
Dana abadi, kata Nizam, juga merupakan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan pendanaan operasional perguruan tinggi ataupun untuk beasiswa. Saat ini seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) badan hukum didorong untuk memupuk dana abadi tersebut.
”Sebetulnya jumlah beasiswa serta bantuan UKT yang diberikan oleh PTN kita cukup banyak. UKT ditetapkan oleh perguruan tinggi dengan melihat kemampuan orangtua mahasiswa. Semestinya UKT tidak melampaui daya beli masyarakat,” kata Nizam.
Nizam mengatakan, pada dasarnya PTN juga sudah bekerja keras untuk dapat menggali sumber-sumber pendanaan di luar mahasiswa untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan kualitas yang jauh di atas standar minimum. ”Tentunya kapasitas perguruan tinggi dalam menggalang sumber pendanaan di luar mahasiswa tidak sama,” katanya.
Melindungi gagal bayar
Terkait skema ICL di Australia yang bakal menjadi rujukan, dari informasi di laman Research School of Finance, Actuarial, Studies and Statistic (RSFAS) dari Australian National University (ANU), dipaparkan ANU telah memimpin upaya ICL. Hal ini dilakukan sejak pemerintah pertama kali menggunakan karya Profesor Bruce Chapman dari RSFAS untuk merancang dan mengadopsi ICL dalam sistem pendidikan tinggi dan memperkenalkan pinjaman HELP.
Dalam pendidikan tinggi, manfaat ICL dibandingkan pinjaman pembayaran berbasis waktu tradisional adalah mereka melindungi debitor lulusan dari kesulitan dan gagal bayar. Tidak ada pembayaran yang diperlukan ketika orang berada dalam situasi berpenghasilan rendah. Hal ini akan membantu memutus siklus kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga mencapai potensi maksimalnya.
Di Australia saja, diperkirakan lebih dari dua juta orang telah memperoleh manfaat dari sistem HELP sejak 2011. Sistem ini telah membantu menyediakan pendapatan 30 miliar dollar Australia untuk digunakan dalam sistem pendidikan tinggi. ICL pun diperkenalkan ke seluruh dunia, seperti di Afrika Selatan, Selandia Baru, Inggris, Hongaria, Thailand, dan Korea Selatan.
Sementara itu, dari kajian SMERU Research Institute pada tahun 2019 lewat policy brief tentang pembiayaan pendidikan tinggi berjudul Pinjaman Berbasis Pendapatan untuk Meningkatkan Akses terhadap Pendidikan Tinggi yang ditulis Elza Samantha Elmira, Daniel Suryadarma, dan Asep Suryahadi, menunjukkan skema ICL lebih tepat untuk Indonesia. Model pinjaman mahasiswa Amerika Serikat yang berbasis waktu dinilai tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Berdasarkan simulasi Elmira dan Suryadarma (2019), besarnya beban pembayaran yang harus ditanggung peminjam dapat mencapai angka 60 persen untuk kelompok pendapatan terbawah dalam setahun pertama setelah lulus. Penerapan sistem pinjaman mahasiswa seperti model AS di Indonesia pada era 1980-an berujung kegagalan, yakni hampir 95 persen peminjam menunggak atau tidak membayar. Penyebabnya yaitu tingginya beban pembayaran serta buruknya sistem pengawasan dan pelacakan peminjam (Wicaksono dan Friawan, 2006).
Sebaliknya, sistem ICL bisa menjadi alternatif solusi karena mahasiswa diberi pinjaman untuk menyelesaikan pendidikannya dan dapat mulai mengembalikan pinjaman setelah lulus saat pendapatannya mencapai besaran tertentu. Sistem ini berhasil diterapkan di Australia, Swedia, dan Inggris.
Baca juga: Pinjaman Pendidikan KMI Berakhir lantaran Macet?
Dari simulasi yang dilakukan SMERU Research Institute pada 2018 dengan judul Financing Higher Education in Indonesia: Assessing the Feasibility of an Income-Contingent Loan System, disebutkan jika pembayaran utang dimulai saat pendapatan sudah mencapai rata-rata pendapatan lulusan S-1, lebih dari 50 persen sarjana yang baru lulus dapat langsung memulai membayar utang. Selain itu, pemerintah dapat mengatur besarnya cicilan yang tidak memberatkan, misalnya 8 persen dari pendapatan. Periode pinjaman berkisar 20-25 tahun, bergantung pada skema pembayaran utang.
Berdasarkan simulasi tersebut, sistem pinjaman mahasiswa berbasis pendapatan sangat mungkin dilaksanakan di Indonesia karena beban pembayaran utang dapat diatur untuk mengurangi risiko menunggak. Namun, untuk dapat membuat sistem kredit pendidikan yang berkelanjutan, pemerintah juga harus menyiapkan subsidi bagi peminjam, terutama bagi perempuan.
Kegagalan pinjaman mahasiswa era 1980-an tetap perlu dipakai sebagai evaluasi. Pemerintah perlu membuat model pinjaman yang lebih baik yang menjamin peminjam tidak akan mengalami kesulitan dalam membayar. Selain itu, diperlukan sebuah sistem penelusuran pendapatan peminjam yang mudah dilakukan.
Jika model pinjaman mahasiswa berbasis pendapatan akan diterapkan pemerintah, peneliti SMERU Research Institute mendorong kajian yang perlu diantisipasi, antara lain menyangkut adanya ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, upaya pemaksimalan penyerapan tenaga kerja, sistem pelacakan pendapatan lulusan S-1, serta akreditasi universitas untuk menjamin kualitas.
Secara umum, penerapan pinjaman mahasiswa berbasis pendapatan dapat berjalan baik jika negara memiliki sistem perpajakan yang efektif, yakni pendapatan sebagian besar pekerja dilaporkan dan tercatat dalam data pemerintah.