logo Kompas.id
Humaniora”Stunting” Mulai Jadi...
Iklan

”Stunting” Mulai Jadi Perhatian Politisi

Selama 10 tahun terakhir, tengkes mulai jadi perhatian politisi. Meski banyak miskonsepsi, ini kemajuan cukup berarti.

Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
· 7 menit baca
Petugas kesehatan mengimunisasi bayi di Posyandu Bougenvile, Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (11/1/2020). Posyandu adalah garda terdepan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita di Indonesia, termasuk penanggulangan tengkes atau <i>stunting</i>.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas kesehatan mengimunisasi bayi di Posyandu Bougenvile, Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (11/1/2020). Posyandu adalah garda terdepan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita di Indonesia, termasuk penanggulangan tengkes atau stunting.

Jika kamu ingin tahu bagaimana stabilnya sebuah negara, jangan hitung senjata canggihnya, (tetapi) hitunglah jumlah anak yang kekurangan gizi. Hillary Clinton, Mei 2010

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Tengkes atau stunting adalah wajah buruk suatu bangsa. Tengkes memicu rendahnya kualitas sumber daya manusia, menghambat pertumbuhan ekonomi, hingga melanggengkan kemiskinan. Karena dampak dan upaya mengatasinya butuh waktu panjang, tengkes sering dipandang sebelah mata. Niat baik menuntaskan tengkes saja tidak cukup, tetapi juga harus disertai pengetahuan yang tepat.

Bahasan tentang tengkes dalam debat terakhir calon presiden Pemilu 2024 pada Minggu (4/2/2024) menjadi angin segar dalam percepatan penurunan tengkes di Indonesia. Meski terdapat sejumlah pemahaman yang tidak pas yang berakibat pada kurang tepatnya kebijakan yang akan diambil, debat itu setidaknya menunjukkan bahwa stunting telah menjadi isu politik.

”Walau pemahamannya belum bagus, tetapi (orang politik) mau memahami stunting itu sudah luar biasa. Dulu, tidak ada orang politik mau bicara stunting,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta Abdul Razak Thaha dalam dialog kebangsaan Himpunan Fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) Dokter Indonesia (Hifdi), Rabu (7/2/2024) malam.

Istilah stunting muncul pertama kali di harian Kompas pada Oktober 1998 saat terjadinya krisis moneter di Indonesia. Sejak saat itu hingga pertengahan dekade 2010-an, tengkes hanya menjadi bahasan sektor kesehatan. Seiring masuknya Indonesia ke era bonus demografi 2012, bahasan tengkes pun banyak dikaitkan dengan isu kependudukan dan pembangunan ekonomi.

Karena hanya dipandang sebagai isu sektoral, prevalensi anak balita stunting dari dekade 2000-an hingga pertengahan dekade 2010-an tidak banyak berubah, bahkan cenderung meningkat. Di masa itu, dari 10 anak balita, sebanyak 3-4 anak di antaranya mengalami stunting. Saat ini, sebagian anak-anak penderita stunting itu sudah masuk pasar kerja dan mulai menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

’Stunting’ tidak bisa diobati, tetapi bisa dicegah.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, serta stimulasi psikososial yang tidak memadai. Gangguan ini terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), sejak pembentukan janin hingga anak berumur 23 bulan. Tengkes ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak yang berada di bawah standar sesuai umurnya.

”1.000 HPK adalah periode emas tumbuh kembang anak karena 80 persen otak anak berkembang di 2 tahun pertama kehidupan,” ujar dokter spesialis anak Rumah Sakit Permata Dalima Serpong, Tangerang Selatan, Isti Ansharina Kathin.

Dampak tengkes pada tubuh bagian dalam sejatinya jauh lebih mengerikan. Tengkes membuat otak anak tidak berkembang yang membuat mereka sulit konsentrasi, tingkat kecerdasan rendah, sulit menangkap pelajaran, hingga lama pendidikan yang rendah. Stunting bisa menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) anak hingga 15 poin.

Tak hanya itu, stunting juga membuat sel tubuh tidak berkembang sebagaimana mestinya. Akibatnya, daya tahan tubuh anak rendah hingga gampang sakit, rentan menderita berbagai gangguan metabolik dan penyakit degeneratif saat dewasa, hingga buruknya produktivitas mereka dalam bekerja. Akibatnya, pendapatan mereka 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang di masa balitanya tidak stunting.

Situasi itu membuat Bank Dunia pada 2016 menyebut negara dengan prevalensi tengkes tinggi berpotensi mengalami kerugian ekonomi setiap tahunnya sebesar 2-3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Jika PDB Indonesia 2023 mencapai Rp 20.892,4 triliun, maka kerugian ekonomi yang dialami Indonesia tahun lalu akibat tengkes mencapai Rp 418-627 triliun.

https://cdn-assetd.kompas.id/tGrthj2tzSqR_tWEs0H_cFM1YwE=/1024x1164/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F21%2Fc08b8325-b600-4f46-9056-3153617a5deb_jpg.jpg

Intervensi

Masalahnya, lanjut Isti, kerusakan otak akibat stunting bersifat ireversibel atau tidak bisa diperbaiki. Untuk itu, penting menemukan anak di bawah 2 tahun yang stunting agar intervensi dan perbaikan bisa segera dilakukan karena plastisitas atau kemampuan berubahnya otak di masa itu masih sangat tinggi. Setelah lewat 2 tahun, intervensi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang optimal.

Stunting tidak bisa diobati, tetapi bisa dicegah,” ujar Thaha.

Fakta ini membuat upaya menggeser paradigma kesehatan nasional dari kuratif dan rehabilitatif ke promotif dan preventif, seperti yang menjadi bahasan pada debat presiden terakhir menjadi semakin penting. Isu kesehatan tidak hanya untuk mengobati orang yang sudah sakit, tetapi jauh lebih bermakna menjaga yang sehat agar tidak sampai jatuh sakit.

Iklan

Karena itu, program salah satu capres yang ingin memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren untuk mengatasi stunting tidaklah tepat. Sama seperti yang disampaikan capres lain, pencegahan tengkes harus dilakukan sejak remaja guna mencegah perkawinan dini serta menjadikan mereka siap fisik dan mental untuk menikah, hamil, dan menjadi ibu.

Intervensi stunting juga perlu dilakukan secara spesifik terkait dengan kesehatan anak dan juga sensitif yang berkaitan dengan lingkungan pendukung. Program untuk mengatasi stunting untuk tiap anak atau antarwilayah bisa jadi berbeda, tergantung dari apa masalah yang menjadi pemicu gangguan tersebut.

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan masih 21,6 persen anak balita stunting. Dari prevalensi tersebut, 18,5 persen bayi lahir sudah dalam keadaan stunting. Kondisi ini membuat penyiapan dan pemeriksaan rutin ibu hamil menjadi kunci. Status gizi dan pola asupan ibu harus dijaga sembari memastikan janin bertumbuh dengan baik.

Baca juga: Miskonsepsi Penanganan ”Stunting” dalam Debat Capres

Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif berhasil menurunkan jumlah bayi tengkes tersebut. Namun, saat bayi memasuki periode makan makanan pendamping ASI (MPASI), khususnya saat berumur 12-23 bulan, prevalensi tengkesnya naik lebih dari 60 persen.

Pada masa itu, anak biasanya sudah diberi makanan rumahan, mulai mengerti makanan apa yang disukai, dan sudah bisa melakukan gerakan tutup mulut (GTM) alias menolak makan. Artinya, orangtua perlu dibantu untuk mampu menyiapkan MPASI secara sehat dan terjangkau dengan memanfaatkan potensi bahan pangan sekitar serta mampu mendidik anaknya makan teratur dan benar.

Meski demikian, masalah pemicu tengkes tidak melulu tentang kesehatan. Sumber air bersih yang tidak aman, sanitasi rumah yang buruk, dan paparan asap rokok orang dewasa di sekitarnya bisa memicu bayi tengkes. Kehamilan ibu yang terlalu rapat, kurangnya pengetahuan dan usaha orangtua dalam memberi makan anak, hingga kemiskinan keluarga juga bisa menyebabkan pertumbuhan bayi terganggu.

”Pekerjaan paling berat itu adalah mengedukasi keluarga,” kata Thaha. Pemberdayaan masyarakat penting sehingga penurunan tengkes bisa menjadi gerakan yang masif dan terarah.

Namun, karena program percepatan penurunan tengkes yang dilakukan pemerintah sejak 2021 menggunakan pendekatan keluarga dan dipimpin oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tentu banyak pihak butuh adaptasi karena selama ini penanganan tengkes terfokus pada pendekatan kesehatan semata.

Tidak hanya orangtua, petugas hingga kader kesehatan pun perlu memiliki pengetahuan yang benar tentang tengkes. Pemahaman yang benar ini akan meminimalkan temuan kasus di daerah yang memberikan bantuan makanan untuk meningkatkan gizi anak balita dengan jajanan produk industri ataupun camilan kurang sehat lainnya.

Anak-anak bermain bersama saat mereka menjalani pendampingan untuk penanganan <i>stunting</i> di Rumah Pelita, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (27/10/2023). Keberadaan Rumah Pelita tersebut sebagai tempat untuk menangani pemenuhan pola asuh, memperbaiki gizi, dan sanitasi.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Anak-anak bermain bersama saat mereka menjalani pendampingan untuk penanganan stunting di Rumah Pelita, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (27/10/2023). Keberadaan Rumah Pelita tersebut sebagai tempat untuk menangani pemenuhan pola asuh, memperbaiki gizi, dan sanitasi.

Wajah bangsa

Dari berbagai hal yang memicu tengkes, semuanya bersumber dari kemiskinan dan kurangnya pengetahuan. Bagaimanapun, kemiskinan membuat seseorang memiliki akses yang terbatas terhadap sumber pengetahuan dan bahan pangan bergizi. Jika tidak diputus, kondisi ini akan menimbulkan rantai kemiskinan berulang, yaitu kemiskinan membuat anak tengkes dan tengkes membuat anak menjadi miskin saat dewasa.

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia dalam tulisannya di blog Bank Dunia, 6 Juni 2013, menyebut stunting sebagai wajah dari kemiskinan. Tengkes tidak hanya merenggut nyawa anak-anak, tetapi juga melanggengkan kemiskinan dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

”Malnutrisi tidak hanya mengurangi masa depan individu, tetapi juga masa depan bangsa,” tulisnya.

Untuk mengakhiri stunting, tidak bisa diserahkan pada sektor kesehatan saja yang hanya merupakan faktor spesifik. Terlebih, BKKBN telah menyebut bahwa 70 persen kasus tengkes di Indonesia dipicu oleh masalah-masalah non-kesehatan yang membutuhkan pendekatan sensitif.

Investasi air bersih, sanitasi, dan rumah layak, hingga tersedianya bantuan sosial untuk memastikan kelompok ekonomi terbawah memiliki akses terhadap pangan perlu disiapkan. Harga pangan yang stabil juga penting karena sedikit kenaikan harga pangan cukup untuk mengancam jutaan kelompok rentan yang menghabiskan dua pertiga pendapatannya untuk membeli bahan pangan.

Hal lain yang tak kalah penting dilakukan adalah penguatan dan pemberdayaan peran perempuan. Banyak perempuan tidak memiliki kendali atas pengelolaan anggaran rumah tangga, termasuk dalam menentukan menu makanan anaknya. Kebijakan ketenagakerjaan yang sensitif jender juga perlu diperjuangkan demi mendukung pemberian ASI eksklusif kepada ibu sembari mereka tetap bisa bekerja.

Indonesia menargetkan mampu menurunkan tengkes hingga 14 persen pada akhir 2024. Meski banyak pihak meragukan karena itu sangat ambisius, cita-cita itu sedang diperjuangkan banyak pihak yang dikoordinasikan oleh BKKBN. Karena itu, penting membangun pemahaman politisi tentang tengkes yang benar.

”Salah memahami stunting akan salah dalam membuat kebijakan dan regulasi, salah pula dalam penyusunan anggaran dan biaya. Akhirnya, stunting justru tidak berkurang dan anggaran menjadi mubazir,” kata Ketua Umum Hifdi Zaenal Abidin.

Baca juga: Tengkes Menjadi Fokus Penting Para Capres

Sama dengan komunikasi tentang tengkes untuk masyarakat awam, menyampaikan isu tengkes ke politisi juga perlu dilakukan secara singkat dan dengan bahasa sederhana yang mudah mereka pahami. Dengan demikian, mereka mau mendengarkan saran dan masukan dari ahli kesehatan masyarakat dan medis sehingga kebijakan yang mereka buat nantinya tepat sasaran, efektif, dan bisa menurunkan prevalensi tengkes dengan cepat sesuai target.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000