Robot Bedah Mini Jalani Uji Pembedahan di Luar Angkasa
NASA uji robot bedah mini di luar angkasa. Jika sukses, manfaatnya tidak hanya untuk astronot, tapi juga manusia di bumi
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Sebuah robot bedah kecil berhasil dikirim ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. Robot itu akan menjalani sejumlah tes untuk melakukan pembedahan jarak jauh yang dikendalikan dari bumi. Kesuksesan uji ini tidak hanya bermanfaat untuk memastikan keselamatan antariksawan di masa depan, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk penduduk bumi.
Robot kecil seukuran lengan bawah itu dikirim ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) menggunakan wahana kargo Cygnus milik Northrop Grumman, Selasa (30/1/2024). Seperti diberitakan Livescience, Senin (5/2/2024), wahana diluncurkan dengan roket Falcon 9 milik SpaceX dari Pangkalan Angkatan Antariksa Amerika Serikat di Cape Canaveral di Florida, AS.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 jam, Cygnus yang membawa muatan seberat 3.700 kilogram akhirnya sandar di ISS, Kamis (1/2/2024). Berikutnya, selama beberapa minggu ke depan, robot bedah bernama Miniaturized In vivo Robotic Assistant (MIRA) itu akan menjalani sejumlah proses uji di ketinggian sekitar 400 kilometer dari Bumi.
Robot dengan bobot hanya 0,9 kilogram itu memiliki dua lengan yang masing-masing memegang penjepit dan gunting. Pembedahan oleh robot itu sepenuhnya akan dikendalikan oleh dokter bedah yang ada di bumi. Jadi, sembari melakukan sejumlah prosedur medis pembedahan, robot tetap harus menjaga komunikasi dengan bumi.
MIRA dibuat oleh tim dari Universitas Nebraska Lincoln, AS, yang dipimpin seorang profesor teknik, Shane Farritor. Namun, pengembangannya sudah dilakukan hampir 20 tahun lalu sejak didirikannya perusahaan rintisan bernama Virtual Incision pada 2006.
Proses uji otonom robot tersebut di ISS dibiayai oleh dana hibah dari Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) pada 2022. Tahun berikutnya, hibah serupa juga diberikan untuk pengujian pengendalian jarak jauh dari bumi. Sepanjang masa pengembangan itu, perusahaan ini juga sudah berhasil menarik investasi lebih dari 100 juta dollar atau sekitar Rp 1,57 triliun.
Semula, MIRA diprogram untuk bisa melakukan eksperimen operasi pembedahan tanpa keterlibatan manusia. Dengan tambahan sistem kendali dari bumi, maka tingkat kesulitan uji menjadi bertambah besar mengingat ISS akan terus bergerak mengorbit bumi dengan kecepatan 28.000 km per jam atau 7,66 km per detik.
Bedah robotik menjadi teknologi yang tengah berkembang karena memungkinkan pembedahan dilakukan dari jarak jauh atau telesurgery, tanpa dokter bedah harus berhadapan langsung dengan pasien yang dibedahnya.
Latensi atau jeda sinyal saat dikirimkan dari bumi dengan yang diterima perangkat di ISS atau sebaliknya akan menjadi tantangan besar. Beda 0,5 detik saja bisa menimbulkan masalah besar bagi keselamatan pasien.
Dikutip dari situs Universitas Nebraska Lincoln, proses uji akan dilakukan oleh dokter bedah yang ada di Lincoln, AS. Dokter ini sudah terlibat dalam proses uji perangkat tersebut saat masih ada di bumi. Dokter bedah itu akan memandu MIRA yang diletakkan dalam kotak seukuran oven penghangat makanan (microwave) di ISS agar bisa menggerakkan tangannya dan melakukan pembedahan dengan benar.
Simulasi pembedahan ini akan dilakukan agar robot tersebut memperoleh jaringan bedah dengan ketegangan tertentu sehingga pembedahan memungkinkan dilakukan. Untuk itu, tangan kiri robot akan menjepit jaringan bedah dan tangan kanannya yang akan memotong. Proses ini sama seperti yang terjadi di ruang operasi rumah sakit. Bedanya, semua tahapan ini dilakukan dari jarak jauh.
”Penggunaan kedua tangan (robot) ini sangat penting dalam prosedur pembedahan karena ketegangan (jaringan bedah) lokal menjadi kunci pemotongan dan pembuangan jaringan,” kata Farritor.
Dari proses tersebut, tim akan mendapatkan data tentang kinerja robot selama pengujian di ISS. MIRA akan dibawa kembali ke bumi pada Maret-Juni tahun ini. Setelah itu, tim butuh waktu sekitar setahun untuk menilai dan menganalisis data hasil uji tersebut sebelum hasil akhirnya bisa dipublikasikan.
”Butuh banyak pengujian sebelum teknologi bedah jarak jauh ini bisa diterapkan pada pasien,” tambahnya.
Jika proses uji itu berhasil melakukan pembedahan dengan presisi tinggi dan menjamin keselamatan pasien dengan standar tinggi, maka akan menjadi dasar untuk menciptakan teknologi bedah yang cocok digunakan di luar angkasa dan mendukung perjalanan antarplanet dalam tata surya.
Ketersediaan teknologi ini akan mendorong eksplorasi antariksa makin maju di masa depan. Selama ini, upaya ini terbatas dilakukan karena pelayanan medis kompleks, seperti pembedahan, belum memungkinkan dilakukan di ISS. Karena itu, kesehatan dan keamanan antariksawan harus senantiasa terjaga.
Selain itu, NASA juga berencana untuk mendarat kembali di bulan pada 2026 dan akan akan mendaratkan manusia di Mars pada pertengahan dekade 2030-an. Kemajuan teknologi bedah jarak jauh ini akan melengkapi masifnya perkembangan teknologi roket yang memungkinkan membawa manusia pergi jauh meninggalkan bumi.
Meski MIRA sedang disiapkan agar bisa memberikan pembedahan kepada manusia yang sedang berada di luar bumi, sejatinya teknologi ini sangat bisa digunakan di bumi. Bedah robotik menjadi teknologi yang tengah berkembang karena memungkinkan pembedahan dilakukan dari jarak jauh atau telesurgery, tanpa dokter bedah harus berhadapan langsung dengan pasien yang dibedahnya.
”Saat ini baru sekitar 10 persen ruang operasi yang menggunakan robot. Namun, tidak menutup kemungkinan 100 persen operasi akan dilakukan robot,” kata Farritor.
Apabila teknologi ini bisa diaplikasikan di bumi, akan sangat membantu rumah sakit dan pelayanan medis di daerah-daerah yang jauh dari akses dokter, baik itu daerah perdesaan, terpencil, pulau-pulau kecil, hingga di medan perang sekalipun.
Karena itu, selain NASA dan swasta, militer AS juga membantu mendanai riset ini karena akan sangat berguna untuk melakukan pembedahan prajurit mereka di medan perang tanpa perlu mengikutkan dokter bedah di medan perang.
Dorongan penggunaan teknologi bedah jarak jauh ini juga selaras dengan laporan Perhimpunan Dokter Bedah Amerika (ACS) yang menyebut sepertiga wilayah AS tidak memiliki dokter bedah meski setengah wilayah itu memiliki rumah sakit. Adapun studi dari Universitas Washington AS juga menunjukkan ketersediaan dokter bedah di perdesaan AS turun lebih dari 29 persen dari 2001 sampai 2019.
Teknologi bedah jarak jauh ini berpotensi untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekitar 4.000 dokter spesialis bedah di Indonesia, separuhnya berada di Jawa dan seperdelapannya ada di DKI Jakarta. Persebaran dokter bedah ini mengikuti persebaran penduduk.
Di luar Jawa, dokter bedah umumnya terkumpul di kota-kota besar dan provinsi dengan jumlah penduduk relatif besar. Konsekuensinya, beberapa provinsi belum memiliki dokter bedah sama sekali.
”Operasi jarak jauh berpotensi mengatasi masalah seperti itu sehingga pasien bisa mendapatkan layanan kesehatan yang mereka butuhkan,” tambah Farritor.
Manfaat inilah yang membuat pengembangan teknologi antariksa menjadi penting. Pengembangan teknologi luar angkasa akan mendorong banyak riset pendukung, termasuk riset kedokteran, yang penerapannya tidak hanya untuk menjaga kesehatan dan keselamatan antariksawan, tetapi juga bermanfaat bagi manusia di bumi.