Bansos Bukan Solusi Utama Mengatasi Kemiskinan
Terlalu banyak memberikan bantuan sosial bisa menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada negara.
JAKARTA, KOMPAS — Bantuan sosial bukan jalan keluar satu-satunya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, melainkan hanya bersifat sementara untuk perlindungan sosial masyarakat. Terlalu banyak memberikan bansos bisa menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada negara.
Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Elan Satriawan menjelaskan, pada hakikatnya bansos berfungsi sebagai instrumen perlindungan kepada masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi. Namun, lebih jauh dari itu, hal yang paling dibutuhkan adalah pemberdayaan ekonomi dan afirmasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Tidak cukup menanggulangi kemiskinan hanya dengan bantuan sosial. Perlindungan sosial sifatnya jaring pengaman, hanya menahan saja, tidak bisa meningkatkan kesejahteraan secara signifikan,” kata Elan dalam diskusi bertajuk ”Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?” yang digelar Universitas Paramadina, Rabu (7/2/2024).
Bansos adalah bentuk bantuan perlindungan sosial dari negara yang dananya bersumber dari APBN, APBN termasuk berasal dari pajak rakyat sendiri, bukan dari kantong elite atau partai politik tertentu.
Afirmasi bisa melalui beasiswa sekolah, program lansia, dan prioritas daerah pengentasan kemiskinan yang membuat mereka memiliki daya saing dengan orang lain. Sementara itu, pemberdayaan ekonomi bisa dilakukan dengan pendampingan usaha, subsidi usaha, inklusi keuangan, peningkatan produktivitas, dan modal usaha, atau pelatihan-pelatihan.
Namun, dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini menilai, pemerintah sejauh ini hanya berfokus pada bantuan sosial. Upaya-upaya melakukan afirmasi dan pemberdayaan ekonomi kalah dengan gelontoran bansos yang belakangan anggarannya ditambahkan di tengah tahun politik.
Sepanjang 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran untuk perlindungan sosial hampir mencapai Rp 4.000 triliun, atau tepatnya Rp 3.663,4 triliun berdasarkan catatan Kementerian Keuangan dari 2014-2024. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, anggaran perlindungan sosial tersebut sudah dialokasikan sebesar Rp 496,8 triliun yang dibagi ke beberapa kementerian dan lembaga.
Baca juga: Hati-hati Politisasi Bansos Menjelang Pemilu 2024
Dalam faktanya, sejak 2015-2023 anggaran jumbo ini tak kunjung menurunkan angka kemiskinan sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada 2023, misalnya, tingkat kemiskinan turun hingga 9,36 persen, padahal target RPJMN adalah 8 persen.
”Sejauh ini capaian tidak pernah mencapai target, jadi ada masalah di sana. Ini belum bicara masalah politisasi,” ucapnya.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, dalam bukunya Dilema Bansos: Pembelajaran dari Pandemi dan Urgensi Reformasi Tata Kelola menyebutkan, salah satu problematika yang dihadapi dalam tata kelola bansos adalah belum adanya peta jalan (roadmap) yang komprehensif terkait dengan bansos bagi kelompok rentan, termasuk tidak ada acuan khusus kapan bansos akan diberikan dan kapan akan dihentikan.
Selain itu, banyak kelompok masyarakat tidak mendapatkan bantuan sosial karena tidak terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Padahal, DTKS menjadi basis data untuk penyaluran bantuan.
”Kalau tidak ada reformasi bansos, juga tidak baik. Bukan dengan mengganti program, inkonsistensi, dan fragmentasi dalam setiap kementerian yang membuat bansos tidak terintegrasi; itu karena kita tidak punya roadmap bansos,” kata Yanu.
Guru Besar Universitas Paramadina Didin S Damanhuri menambahkan, penyaluran bantuan sosial akhir-akhir ini sudah dipolitisasi. Sebab, dugaan politisasi bansos untuk memenangkan salah satu calon presiden dalam Pemilu 2024 sangat kuat.
Suara-suara kritis dari para akademisi pun dianggap angin lalu, bahkan direspons dengan suara tandingan. Dia membandingkan era Orde Baru dahulu Presiden Soeharto setidaknya mau mengundang akademisi dan mahasiswa yang mengkritiknya ke istana, sekarang tidak sama sekali.
”Bansos digunakan sebagai instrumen politik untuk memenangkan putra presiden adalah bagian dari konstruksi politik yang otoritarian,” tutur Didin.
Baca juga: Kemensos Akui Kesulitan Cegah Politisasi Bansos
Dia menegaskan, bansos adalah bentuk bantuan perlindungan sosial dari negara yang dananya bersumber dari APBN, termasuk berasal dari pajak rakyat sendiri, bukan dari kantong elite atau partai politik tertentu. Maka, personifikasi dan politisasi bansos sangat tidak baik untuk masyarakat.