Anak Juga Berisiko Alami Hipertensi, Lakukan Penapisan pada Usia 3 Tahun
Anak juga bisa mengalami hipertensi. Deteksi dini perlu dilakukan setidaknya mulai dari anak usia 3 tahun.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hipertensi tidak hanya bisa terjadi pada usia dewasa. Anak pun bisa mengalami hipertensi atau tekanan darah tinggi. Karena itu, penapisan dan deteksi dini menjadi sangat penting. Pemeriksaan hipertensi untuk awal penapisan bisa dilakukan setidaknya pada anak usia 3 tahun.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI yang juga dokter spesialis anak konsultan nefrologi di RSUP Dr Kariadi Semarang, Muhammad Heru Muryawan, mengatakan, hipertensi pada anak harus mendapatkan perhatian yang serius. Hipertensi pada anak yang tidak ditangani dengan baik dapat menetap hingga dewasa sehingga berisiko menyebabkan komplikasi lain, mulai dari kerusakan organ, stroke, dan penyakit jantung.
”Deteksi dini dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala perlu dilakukan juga pada anak. Sebagai skrining, pemeriksaan bisa dilakukan pada anak usia 3 tahun. Jika anak tersebut memiliki faktor risiko, pemeriksaan pun harus dilakukan setidaknya setiap satu tahun sekali,” katanya dalam Seminar Media bertajuk ”Hipertensi Pada Anak” di Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Faktor risiko hipertensi pada anak, antara lain, ialah adanya faktor keturunan atau riwayat keluarga dengan hipertensi, memiliki penyakit jantung bawaan, kurang aktivitas fisik, obesitas, orangtua merokok, lahir dengan berat badan lahir rendah yang kemudian mengalami kelebihan berat badan, serta kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi gula, garam, dan lemak. Pada anak yang kurang melakukan aktivitas fisik, kebiasaan menonton televisi yang terlalu lama juga patut diwaspadai. Anak yang menonton TV tiga jam per hari akan berisiko 6-7 kali mengalami kenaikan tekanan darah sistolik.
Prevalensi hipertensi pada anak di dunia tercatat sebesar 15-19 persen pada anak laki-laki dan 7-12 persen pada anak perempuan. Angka kejadian hipertensi pada anak paling tinggi ditemukan di China dan Indonesia.
Heru mengatakan, hipertensi pada anak umumnya diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh penyakit, seperti adanya obesitas, resistensi insulin, aktivasi sistem saraf, dan faktor genetik.
Deteksi dini dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala perlu dilakukan juga pada anak. Sebagai skrining, pemeriksaan bisa dilakukan pada anak usia 3 tahun.
Sementara pada hipertensi sekunder terjadi sebagai dampak dari penyakit lain, seperti gangguan ginjal, penyakit parenkim ginjal, arteritis sistemik, dan disfungsi endokrin. Apabila penyakit tersebut diobati dan sembuh, hipertensi pun juga teratasi.
”Sebagian besar hipertensi yang ditemukan pada anak disebabkan adanya gangguan pada ginjal. Itu sebabnya, ketika anak mengalami hipertensi harus ditemukan dulu kemungkinan penyebabnya,” ujarnya.
Pemeriksaan
Heru menyampaikan, deteksi dini hipertensi pada anak setidaknya bisa mulai dilakukan pada anak usia 3 tahun. Jika pada saat pemeriksaan tekanan darah anak normal, pemeriksaan tidak perlu dilakukan secara rutin setelah itu. Namun, pastikan gaya hidup anak tetap terkontrol dengan menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat serta mengonsumsi gizi seimbang.
Namun, pada anak dengan faktor risiko, sekalipun kondisi tekanan darah normal, tetap harus dilakukan pemeriksaan rutin setidaknya satu tahun sekali. Pemeriksaan dengan pengukuran tekanan darah juga perlu dilakukan pada anak yang menunjukkan tanda, seperti sering mengeluhkan sakit kepala atau pusing, kejang, dan gangguan kesadaran.
Heru menuturkan, pemeriksaan tekanan darah pada anak tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan pada usia dewasa. Alat yang digunakan juga sama, tetapi penggunaan manset sebaiknya jangan terlalu besar. Ukuran manset yang terlalu besar dapat menurunkan nilai tekanan darah sehingga hasil pemeriksaan menjadi tidak tepat.
Selain itu, pada saat pemeriksaan perlu dipastikan anak dalam kondisi tenang dan tidak gelisah. Istirahat selama 5 menit sebelum pemeriksaan sangat dianjurkan. Ketika akan diperiksa juga perlu dipastikan anak tidak dalam keadaan menahan buang air kecil ataupun besar. Pemeriksaan juga sebaiknya dilakukan tiga kali dengan hasil yang dihitung merupakan rata-rata dari pemeriksaan yang dilakukan.
”Pada pemeriksaan tekanan darah pada anak perlu diperhatikan pula pada interpretasi dari hasil pemeriksaan. Berbeda pada dewasa yang memiliki angka normal 120/80 mmHg dari kondisi tekanan darah, pada anak interpretasinya berbeda, tergantung dari usia, jenis kelamin, dan tinggi badan,” ujar Heru.
Terkait tata laksana, ia menuturkan, pengobatan akan diberikan jika kondisi hipertensi anak sudah pada stadium satu ataupun stadium dua. Stadium itu ditentukan sesuai dengan hasil pemeriksaan. Stadium 1 jika tekanan darahnya antara 130/80 mmHg sampai 139/89 mmHG, sedangkan stadium 2 jika tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.
Sementara jika kondisi tekanan darah masih pada kondisi meningkat, tata laksana cukup dengan modifikasi gaya hidup, seperti penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga teratur, asupan makanan tinggi kalium dan kalsium, serta pastikan pemberian ASI eksklusif. ”Ketika anak ditemukan dengan tekanan darah tinggi perlu waspada juga sebagai tanda penyakit ginjal,” ujar Heru.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, kewaspadaan orangtua akan risiko hipertensi pada anak harus terus ditingkatkan. Hipertensi juga bisa terjadi pada anak. Risikonya pun bisa berlanjut sampai usia dewasa.
”Risiko ini akan semakin besar dengan gaya hidup yang tidak sehat. Dengan adanya kesadaran ini, diharapkan upaya promotif dan preventif dengan melakukan gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan bisa lebih baik, termasuk pada anak,” katanya.