Akupunktur Jadi Terapi Atasi Efek Samping Kemoterapi
Akupunktur medis dapat menjadi terapi paliatif untuk meredakan nyeri dan efek samping dari pengobatan kanker.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akupunktur medis bisa menjadi bagian dari terapi paliatif bagi pasien kanker stadium akhir. Dengan akupunktur diharapkan rasa nyeri dan berbagai efek samping dari terapi kanker yang dijalani pasien bisa diatasi.
Dokter Spesialis Akupunktur Medik Subspesialis Akupunktur Analgesia dan Anastesia RS Pondok Indah-Pondok Indah Handaya Dipanegara menuturkan, akupunktur dapat berperan dalam terapi paliatif kanker untuk mengatasi nyeri dan gejala efek samping akibat terapi kanker, seperti kemoterapi dan radioterapi. Penusukan jarum pada titik-titik akupunktur tertentu dapat merangsang pelepasan hormon endorfin pada tubuh yang berperan untuk mengurangi rasa nyeri.
”Akupunktur juga bisa membantu mengurangi mual, muntah, kelelahan, mulut kering, rambut rontok, hilangnya nafsu makan, dan gangguan pencernaan yang terkait dengan pengobatan kanker,” ujarnya di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Akupunktur medik merupakan suatu modalitas terapi yang dilakukan dengan memasukkan jarum halus pada titik-titik tertentu di permukaan kulit. Akupunktur umumnya dilakukan untuk mengatasi nyeri serta mengobati berbagai kondisi kesehatan tertentu berdasarkan pengetahuan anatomi, fisiologi, dan patologi yang berbasis bukti ilmu kedokteran (BEM).
Handaya mengatakan, tindakan perawatan pada pasien kanker stadium akhir biasanya bersifat paliatif. Terapi paliatif merupakan perawatan bagi pasien dengan cara memaksimalkan kualitas hidup dan mengurangi gejala yang mengganggu pada pasien. Itu berupa manajemen nyeri, manajemen gejala lain, serta dukungan emosional dan spiritual.
Ia menyampaikan, selain untuk mengurangi rasa nyeri dan efek samping pengobatan kanker pada pasien, akupunktur juga dapat membantu pasien mengurangi kecemasan, stres, dan depresi. Akupunktur dapat memberikan efek relaksasi dan membantu mengurangi tingkat kecemasan yang sering kali dialami pasien.
”Akupunktur telah terbukti efektif, baik secara terpisah maupun sebagai terapi tambahan untuk kasus depresi pada pasien kanker,” katanya.
Handaya menambahkan, pasien kanker yang mendapatkan akupunktur pun bisa terbantu memiliki kualitas tidur yang lebih baik. Sejumlah pasien kanker ditemukan mengalami kesulitan dan gangguan tidur atau insomnia. Akupunktur akan membantu pasien memperbaiki pola tidur dengan merangsang titik-titik tertentu yang terkait dengan relaksasi dan regulasi hormon.
Akupunktur dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi paliatif yang efektif dan aman untuk pasien kanker.
Dengan akupunktur, imunitas tubuh dari pasien bisa ditingkatkan pula. ”Beberapa penelitian telah menunjukkan pengaruh akupunktur dalam meningkatkan proliferasi dan aktivitas sel NK (natural killer/pembunuh alami) sehingga pertumbuhan tumor bisa terkendali,” katanya.
Kanker merupakan penyakit yang ditandai oleh proliferasi (pembelahan sel) yang tidak terkontrol serta penyebaran sel abnormal. Salah satu sel yang berperan dalam sistem pertahanan nonspesifik terhadap tumor adalah sel natural killer.
”Selain itu, akupunktur pada pasien kanker yang tengah menjalani terapi paliatif juga memiliki efek antiinflamasi sehingga dapat membantu mengurangi peradangan yang terkait dengan penyakit kanker atau pengobatannya,” ujar Handaya.
Karena itu, menurut dia, akupunktur dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi paliatif yang efektif dan aman untuk pasien kanker. Secara umum, terapi akupunktur dilakukan secara rutin sebanyak 12 kali terapi dalam satu seri dengan 1-2 kali pertemuan per minggu.
Namun, terapi yang diberikan bisa berbeda bagi setiap pasien. Sebelum memulai terapi akupunktur, pasien sebaiknya melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang merawat serta dokter spesialis akupunktur medik.
Kesenjangan
Dalam rilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1 Februari 2024 disebutkan, beban penyakit kanker secara global semakin meningkat. Namun, sebagian besar negara tidak cukup membiayai perawatan kanker, termasuk perawatan paliatif bagi pasien.
Pada 2022 diperkirakan ada 20 juta kasus kanker baru dengan 8,7 juta kematian. Diperkirakan pula jumlah orang yang masih hidup dalam lima tahun setelah terdiagnosis kanker sebanyak 53,5 juta orang.
Sementara dari survei WHO global terkait cakupan kesehatan semesta (UHC), hanya 39 persen negara yang memasukkan manajemen kanker sebagai bagian dari cakupan kesehatan yang ditanggung. Selain itu, hanya 28 persen negara yang menanggung biaya perawatan paliatif bagi pasien, termasuk untuk perawatan pereda nyeri yang tidak terkait dengan kanker.
Wakil Kepala Bagian Pengawasan Kanker Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) Isabelle Soerjomataram menuturkan, ketimpangan akses pada pelayanan kanker terlihat berdasarkan indeks pembangunan manusia di setiap negara. Hal itu terutama pada kasus kanker payudara. Di negara dengan indeks pembangunan manusia yang tinggi semakin banyak ditemukan kasus kanker payudara. Akan tetapi, kasus kematian semakin banyak ditemukan di negara dengan indeks pembangunan manusia yang rendah.
Di negara dengan indeks pembangunan manusia yang tinggi tercatat ada 1 dari 12 perempuan yang terdiagnosis kanker payudara. Sementara di negara dengan indeks pembangunan manusia yang rendah tercatat 1 dari 27 perempuan yang terdiagnosis kanker payudara. Namun, angka kematian di negara dengan indeks pembangunan manusia tinggi sebesar 1 dari 71 perempuan, sedangkan negara dengan indeks pembangunan manusia rendah 1 dari 48 perempuan akan meninggal karena kanker payudara.
”Perempuan di negara-negara dengan indeks pembangunan manusia rendah memiliki kemungkinan 50 persen lebih kecil terdiagnosis kanker payudara dibandingkan perempuan di negara dengan indeks yang tinggi. Namun, mereka punya risiko lebih tinggi untuk meninggal karena keterlambatan diagnosis dan kurangnya akses terhadap pengobatan yang berkualitas,” ujar Isabelle.
Ketua Union for International Cancer Control Cary Adams menambahkan, sekalipun kemajuan dalam deteksi dini dan pengobatan kanker terus terjadi, kesenjangan yang tinggi dalam perawatan kanker tidak hanya akan ditemukan antara negara berpenghasilan tinggi dan rendah. Perawatan kanker yang diterima oleh masyarakat akan sangat bergantung pada prioritas dari pemerintah di suatu wilayah.
”Pemerintah punya peran untuk memprioritaskan perawatan kanker dan memastikan setiap orang mempunyai akses pada layanan yang terjangkau dan berkualitas. Jadi, ini bukan hanya soal ketersediaan sumber daya, tetapi masalah kemauan politik (political will),” katanya.