logo Kompas.id
HumanioraPotensi Kebudayaan Belum...
Iklan

Potensi Kebudayaan Belum Dioptimalkan

Kekayaan budaya Indonesia belum dioptimalkan untuk menopang pembangunan. Kebudayaan perlu dijadikan landasan pembangunan, termasuk dalam menyongsong visi Indonesia Emas 2045.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 4 menit baca
Katarina Kremo Tapoona (57) menenun kain di rumahnya di Desa Lamalera A, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Kamis (23/11/2023). Tradisi berburu paus di Lamalera salah satunya mewujud dalam obyek kebudayaan pengetahuan tradisional berupa menenun yang disebut tani tenane.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Katarina Kremo Tapoona (57) menenun kain di rumahnya di Desa Lamalera A, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Kamis (23/11/2023). Tradisi berburu paus di Lamalera salah satunya mewujud dalam obyek kebudayaan pengetahuan tradisional berupa menenun yang disebut tani tenane.

JAKARTA, KOMPAS – Kekayaan budaya Indonesia belum dioptimalkan untuk menopang pembangunan. Perhatian terhadap aspek kebudayaan yang berpotensi menjadi kekuatan bangsa justru tertinggal dibandingkan dengan aspek lain, seperti ekonomi dan politik.

Kebudayaan menjadi salah satu topik yang dibahas dalam debat kelima calon presiden Pemilu 2024, Minggu (4/2/2024). Masyarakat menanti gagasan capres dalam meletakkan kebudayaan pada visi pembangunan bangsa.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Isu kebudayaan sering kali luput dari perhatian. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan, awalnya tema kebudayaan tidak masuk dalam pembahasan debat. Setelah ada masukan dari berbagai pihak, termasuk pelaku budaya dan seniman, barulah isu kebudayaan diakomodasi dalam debat kelima. Isu lainnya adalah kesejahteraan sosial, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sumber daya manusia.

Menurut Hilmar, kebudayaan perlu dijadikan landasan pembangunan, termasuk dalam menyongsong visi Indonesia Emas 2045. Namun, kebudayaan tidak terbatas pada subsektor tertentu, seperti kesenian dan cagar budaya, tetapi menjadikannya paradigma baru yang berkaitan dengan sektor lain, termasuk kesehatan dan ketenagakerjaan.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid memberikan sambutan dalam Pawai Lumbung Sungai sekaligus menutup rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2023 di Kanal Banjir Timur, Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (29/10/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid memberikan sambutan dalam Pawai Lumbung Sungai sekaligus menutup rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2023 di Kanal Banjir Timur, Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (29/10/2023).

”Jadi, bukan semata-mata untuk pelestarian, tetapi menjadi penggerak utama dari pembangunan. Ini belum kejadian. Padahal, potensi untuk itu banyak sekali,” ujarnya saat ditemui di kantor Kemendikbudristek, Jumat (2/2/2024).

Hilmar menuturkan, jawaban capres mengenai topik lain juga akan mencerminkan sikapnya dalam kebudayaan. Pada isu ketenagakerjaan, misalnya, penting untuk menyimak gagasan capres mengenai fokus sektor pekerjaan dan angkatan kerja yang disiapkan.

Baca juga : Mewujudkan Gagasan Pemajuan Kebudayaan

”Jika kebudayaan masuk dalam kalkulasinya, tentu tidak hanya bicara sektor existing (yang ada saat ini), tetapi juga sektor yang berbasis pada kebudayaan, seperti pangan dan perikanan berbasis pengetahuan lokal,” katanya.

Masih banyak sumber pangan di Tanah Air yang belum dioptimalkan. Hal ini bisa menjadi peluang di tengah ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim. Pengetahuan lokal menjadi kunci utama untuk memaksimalkan peluang itu.

Kekayaan budaya bangsa masih diabaikan. Akibatnya, kebudayaan yang seharusnya dimanfaatkan sebagai modal pembangunan justru menjadi beban. Kepentingan masyarakat adat pun sering dikesampingkan atas nama pembangunan.

Iklan

”Kebudayaan tidak hanya terbatas pada taman budaya, pusat kebudayaan, dan infrastruktur lainnya. Namun, ia sebetulnya adalah himpunan berbagai institusi dan pranata dalam masyarakat yang jika dikelola dengan benar akan menjadi kekuatan besar,” paparnya.

Potensi kebudayaan sebagai modal pembangunan telah disuarakan oleh berbagai pihak. Tantangan terbesar dalam mewujudkannya adalah menggeser paradigma pembangunan yang selama ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Segala sumber daya dikerahkan sebesar-besarnya untuk tujuan itu.

Alhasil, eksploitasi sumber daya alam merajalela. Hilirisasi pun hanya bersandar pada industri ekstraktif. Padahal, eksploitasi berlebihan sangat rentan memicu masalah, salah satunya kerusakan lingkungan.

”Kita lupa bahwa di atas tanah yang kita gunakan demi industri ekstraktif ada kekayaan luar biasa yang tidak dioptimalkan, bahkan dilupakan. Hutan, misalnya, jika digarap dengan benar, hasil yang diperoleh cukup besar tanpa harus menebang habis pohonnya,” ucapnya.

Tiga pasangan capres dan cawapres naik ke panggung di akhir acara debat keempat calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan capres dan cawapres naik ke panggung di akhir acara debat keempat calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Sebatas formalitas

Ketiga pasangan capres-cawapres menyinggung isu kebudayaan dalam dokumen visi-misinya. Salah satu misi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar adalah mewujudkan manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, berakhlak, serta berbudaya. Pasangan ini menekankan beberapa hal, di antaranya memajukan kebudayaan nasional Indonesia yang berkontribusi terhadap peradaban dunia dan memperkuat eksistensi budaya, pengetahuan, dan kearifan lokal masyarakat adat.

Adapun salah satu misi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Pasangan ini menekankan penyediaan dana abadi kebudayaan untuk menjamin pelestarian budaya secara berkelanjutan.

Sementara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mempunyai strategi berkepribadian dalam kebudayaan untuk memajukan seluruh aspek kehidupan berdasarkan jati diri dan kebudayaan bangsa. Selain itu, mendukung seluruh karya seni dan warisan budaya Indonesia agar dapat mendunia melalui integrasi data, pemasaran yang tajam, dan membantu jenama lokal bermitra dengan jenama besar dunia.

Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso mengatakan, pemimpin bangsa di masa mendatang harus bisa membangun peta jalan kebudayaan. Menurut dia, visi dan misi pasangan capres-cawapres masih sebatas formalitas dan tidak memahami secara utuh isu kebudayaan di Tanah Air.

Baca juga : Di Debat Keempat Pilpres, Tingkat Kematangan Sikap Cawapres Terlihat

Warga Dayak Deah menugal atau menanam padi (ngasok miah) di ladang pada Festival Melatu Wini 2023 di Desa Liyu, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, Sabtu (2/12/2023). Melatu Wini merupakan bagian dari tradisi berladang tahunan masyarakat setempat.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Warga Dayak Deah menugal atau menanam padi (ngasok miah) di ladang pada Festival Melatu Wini 2023 di Desa Liyu, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, Sabtu (2/12/2023). Melatu Wini merupakan bagian dari tradisi berladang tahunan masyarakat setempat.

”Rekam jejak mereka tidak mempunyai komitmen yang kuat dalam pengembangan budaya. Apa yang mereka masukkan dalam visi dan misi itu sekadar melengkapi persyaratan,” ujarnya.

Menurut Bondan, kekayaan budaya bangsa masih diabaikan. Akibatnya, kebudayaan yang seharusnya dimanfaatkan sebagai modal pembangunan justru menjadi beban. Kepentingan masyarakat adat pun sering dikesampingkan atas nama pembangunan.

”Banyak masalah yang terjadi saat ini berakar pada budaya, termasuk budaya politik kita. Bagaimana mendahulukan keluarga, teman dekat, dan pendukung di atas kepentingan banyak orang. Mendahulukan keluarga dibandingkan etika bernegara yang jelas mengorbankan nilai-nilai budaya,” katanya.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000