Pelatihan Vokasi Belum Dioptimalkan untuk Tingkatkan Mutu Tenaga Kerja
Balai latihan kerja perlu dioptimalkan untuk meningkatkan produktivitas di dunia kerja.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelatihan vokasi untuk meningkatkan kompetensi penting untuk mengatasi kesenjangan kompetensi yang muncul karena penuaan populasi, globalisasi, perubahan iklim, ataupun digitalisasi. Namun, pelatihan di dunia kerja belum menjadi budaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perusahaan.
”Kurang dari 8 persen perusahaan menawarkan pelatihan formal kepada pekerja. Jika kesenjangan keterampilan dibiarkan, akan menyebabkan produktivitas rendah, pergantian pekerja tinggi, dan kurangnya inovasi,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam Dialog Nasional Kolaborasi untuk Pelatihan Vokasi dan Produktivitas yang digelar Kementerian Ketenagakerjaan dan USAID Partnership for Productivity atau PADU di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Proporsi perusahaan di Indonesia yang menggelar pelatihan keterampilan berada di bawah rata-rata kawasan Asia Timur dan Pasifik yang sudah mencapai 35 persen. Padahal, sekitar 70 persen penduduk Indonesia berada di kelompok usia produktif 15-64 tahun. Pada 2030-2035 Indonesia memasuki puncak bonus demografi yang didominasi generasi milenial dan generasi Z yang mengisi pasar kerja.
Menurut Ida, jika bonus demografi tidak dimanfaatkan, akan memunculkan kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas tinggi yang dapat memengaruhi stabilitas nasional. Oleh karena itu, transformasi pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dilakukan dengan memperkuat dan mengubah balai latihan kerja (BLK) menjadi balai pelatihan vokasi dan produktivitas.
Mission Director USAID Indonesia Jeffrey P Cohen mengatakan, dukungan peningkatan balai pelatihan vokasi dan produktivitas bersama dunia usaha dan industri untuk menciptakan peluang pelatihan vokasi berkualitas guna membantu generasi muda, terutama di kelompok rentan. Data per Agustus 2022 menunjukkan ada sekitar 8,4 juta penganggur. Namun, ada dilema pengembangan tenaga kerja yang membesar karena persyaratan kerja semakin menjauh dari jalur pendidikan.
Oleh karena itu, program PADU diluncurkan untuk meningkatkan investasi penting pada lembaga pelatihan vokasi melalui kemitraan antara DUDI dan BLK milik pemerintah. Kemitraan yang berkelanjutan ini ditargetkan dapat meningkatkan kesiapan tenaga kerja muda inklusif dengan fokus utama pada pelibatan perempuan di segala inisiatif.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, peningkatan kompetensi lulusan pendidikan dan tenaga kerja dengan cepat dapat dilakukan lewat pelatihan vokasi. Dunia kerja membutuhkan orang-orang yang terampil yang bisa meningkatkan produktivitas. Karena itu, transformasi BLK menjadi balai pelatihan vokasi dan produktivitas sebagai upaya merespons penyiapan tenaga kerja yang terampil menjalankan tugas di dunia kerja, memenuhi standar pemberi kerja, lalu mampu menjadi tenaga kerja ataupun wirausaha.
Pelatihan pun didesain yang memiliki nilai manfaat unutk meningkatkan karier peserta. Lalu, peserta pelatihan diberi kesempatan untuk ikut uji kompetensi sehingga mendapat sertifikasi.
Orang boleh pintar mengoperasikan mesin, misalnya jika tidak disiplin, punya daya juang, dan memiliki ketahanan yang kuat, ya, tidak dipakai.
Menurut Anwar, kapasitas balai pelatihan vokasi bisa mencapai 4,1 juta peserta per tahun jika melibatkan pemerintah, DUDI, dan masyarakat. Untuk itu, perlu dioptimalkan dengan memiliki informasi detail mengenai keahlian yang dibutuhkan di peride kini dan akan datang, serta memastikan tata kelola dan instruktur pelatihan yang relevan.
Ketua Tim Koordinasi Nasional Vokasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Warsito menyebutkan, tiap tahun ada 3,5 juta-3,7 juta lulusan pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Lalu, ada sekitar 7,9 juta penganggur.
”Pelatihan vokasi penting, namun bukan hanya keterampilan teknis, tapi juga keterampilan manajerial/pengusaha dan melekatkan vokasi dengan DUDI,” ujar Warsito.
Pelatihan vokasi diperlukan untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja yang selaras DUDI dalam waktu singkat. Karena itu, orientasinya sesuai kebutuhan yang diwujudkan dengan kolaborasi bersama DUDI. Saat ini, baru 4-6 persen tenaga kerja bekerja di perusahaan, selebihnya sekitar 96 persen di UMKM.
Ketua Komite Pengembangan dan SDM Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Lispiyatmini menuturkan, DUDI sangat membutuhkan tenaga kerja yang punya kompetensi, yakni keterampilan, pengetahuan, dan sikap. ”Keluhan saat ini terutama di sikap. Orang boleh pintar mengoperasikan mesin, misalnya jika tidak disiplin, punya daya juang dan memiliki ketahanan yang kuat, ya, tidak dipakai,” ucapnya.
Kesulitan DUDI mendapatkan tenaga kerja yang diharapkan menyebabkan pengusaha membuat sekolah kejuruan yang bermitra dengan industri di Kawasan Industri MM 2100 Bekasi. ”Jika pendidikan dan pelatihan vokasi tahu apa yang dibutuhkan DUDI dan menggarapnya dengan lincah serta punya pola pikir bertumbuh, lulusannya tidak akan menganggur,” katanya.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki mengatakan, aksesibilitas pelatihan vokasi berkualitas harus sampai ke pelosok. Mengacu pada pengalaman Korea Selatan, pelatihan vokasi dikuatkan saat memasuki bonus demografi.
”Jika bonus demografi di kurun 2025-2029 tidak disiapkan dengan peningkatan keterampilan dan keahlian bekerja, Indonesia bisa kehilangan kesempatan menjadi Indonesia Emas,” ujar Maliki.