90 Detik Menuju ”Kiamat Bumi”
Ancaman perang nuklir, perubahan iklim, disrupsi teknologi membuat jam kiamat berdetak 90 detik menuju hancurnya Bumi.
Jam kiamat telah berdetak 90 detik menuju ”kehancuran” Bumi. Meningkatnya ancaman perang nuklir di Ukraina, perubahan iklim, dan kian masifnya dampak disrupsi teknologi makin mengarahkan Bumi pada kebinasaannya. Meski ini jam hipotesis dan metafora, ini menjadi pengingat bahwa kehidupan di planet biru sedang tidak baik-baik saja.
Perkumpulan Ilmuwan Atom atau Bulletin of the Atomic Scientist (BAS) di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Selasa (23/1/2024), kembali mengumumkan posisi jam kiamat terbaru menuju kehancuran Bumi akibat ulah manusia. Tahun ini, jam kiamat berada pada posisi 90 detik menjelang tengah malam atau menuju kiamat Bumi.
Posisi jam kiamat 2024 itu sama dengan jam kiamat 2023 dan menjadi 90 detik menjelang tengah malam yang kedua sejak jam kiamat mulai ditetapkan pada 1947. Penetapan itu menjadi bentuk keprihatinan BAS yang besar atas situasi global saat ini.
”Risiko tahun lalu terus berlanjut sampai sekarang dengan keganasan yang terus terjadi. Karena itu, sekali lagi, kami menetapkan jam kiamat tahun ini tetap 90 detik menjelang tengah malam,” kata pimpinan eksekutif tertinggi BAS, Rachel Bronson, dalam siaran langsung yang ditayangkan di kanal Youtube BAS pada Selasa (23/1/2024).
Baca juga: Alarm Jam Kiamat Bumi akibat Perang dan Krisis Iklim
Ancaman terbesar tahun ini masih bersumber dari perang di Ukraina yang senantiasa meningkatkan risiko perang nuklir. Terlebih sejak November 2023, seperti dikutip dari Le Monde, 9 November 2023, Rusia telah menarik diri dari perjanjian pembatasan senjata di Eropa dan larangan uji coba nuklir komprehensif.
Selain itu, perang Israel-Gaza yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 juga memberikan gambaran lebih lanjut tentang kengerian perang modern sekalipun tanpa menggunakan senjata nuklir. Perang ini tidak hanya membuat banyak orang menderita, tetapi bisa memicu konflik yang lebih luas, termasuk penggunaan senjata nuklir.
Tak hanya perang, tahun 2023 juga tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah Bumi setelah revolusi industri. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), seperti dikutip Reuters, 30 November 2023, menyebut, suhu tahun lalu mencapai 1,4 derajat celsius lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur udara sebelum revolusi industri dimulai. Pada tahun bersamaan, banjir dahsyat, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem yang berdampak pada jutaan orang terjadi di sejumlah negara.
Selain itu, ilmuwan BAS juga menyoroti kebangkitan kecerdasan buatan sebagai teknologi baru yang tidak hanya mempermudah hidup, tetapi juga merusak harmoni hidup manusia. Kecerdasan buatan berpotensi memperbesar disinformasi dan merusak ekosistem informasi yang menjadi sandaran demokrasi.
Kemampuan dan keterampilan robot buatan makin tinggi dan makin mendekati karakter alamiah manusia. Salah satu aplikasi kecerdasan buatan yang disoroti BAS, seperti dikutip dari The Washington Post, 24 Januari 2024, adalah penggunaan chatbot canggih, seperti ChatGPT. Kemajuan teknologi ini dikhawatirkan menimbulkan masalah eksistensial sehingga teknologi ini perlu dikelola dengan bijak.
Meski jam kiamat tahun ini sama dengan tahun lalu, itu bukan tanda bahwa dunia dalam keadaan stabil.
Selain itu, pemanfaatan kecerdasan buatan untuk kepentingan militer juga berkembang pesat, mulai dalam bidang intelijen, pengawasan, pengintaian, simulasi, hingga pelatihan. Hal yang menyedihkan, penggunaan senjata otonom yang mematikan juga semakin luas. Senjata ini bisa mengidentifikasi, menghancurkan, hingga mematikan musuh tanpa campur tangan manusia. Operasi militer yang membunuh banyak nyawa, termasuk mereka yang tidak berdosa, bisa dilakukan semudah bermain video gim.
”Kecerdasan buatan adalah teknologi baru yang berpotensi mengakhiri dunia. Teknologi ini berkembang pesat dan berpotensi mengubah hidup manusia,” kata Herbert Lin, anggota Dewan Sains dan Keamanan BAS yang juga peneliti di Pusat Keamanan dan Kerja Sama Internasional Universitas Stanford, AS, kepada Livescience, Selasa (23/1/2024).
Bronson mengingatkan, meski jam kiamat tahun ini sama dengan tahun lalu, itu bukan tanda bahwa dunia dalam keadaan stabil. Situasi ini justru mengindikasikan sebaliknya, yaitu dunia sedang tidak baik-baik saja.
Metafora
Jam kiamat adalah jam hipotesis yang dibuat Martyl Langsdorf untuk BAS pada 1947. Sementara BAS didirikan pada 1945 oleh ”bapak bom atom”, pencipta bom atom, termasuk Albert Einstein, Robert Oppenheimer, dan ilmuwan yang terlibat Proyek Manhattan, proyek rahasia AS untuk membuat bom atom untuk pertama kalinya.
Sejak semula, ilmuwan sudah mengingatkan potensi kerusakan dari bom yang mereka buat. Namun, AS tetap menjalankan misi itu karena dibayang-bayangi kekhawatiran bahwa negara adidaya lain tengah menyiapkan hal serupa selama masa Perang Dunia II berlangsung.
Akhirnya bom atom pertama ”Little Boy” jatuh di Hiroshima, Jepang, pada Agustus 1945 yang membunuh 110.000-an orang dan menghancurkan 60.000 bangunan. Beberapa hari kemudian, bom kedua ”Fat Man” jatuh di Nagasaki, Jepang, yang menewaskan 210.000 orang dan menghancurkan 90.000 gedung.
Masifnya dampak bom atom itu membuat ilmuwan yang sebelumnya bekerja keras membuat bom atom langsung menjadi kelompok yang menolak dan menentang keberadaan bom atom. Mereka membentuk BAS untuk mengingatkan potensi bahaya dari penyalahgunaan inovasi mereka. BAS meminta senjata atom harus dihentikan dan pembangkit tenaga nuklir dipantau dengan ketat.
Baca juga: Bom Atom dan Harkat Kemanusiaan
Saat dibuat pada 1947, jam kiamat diset pada posisi 7 menit menuju tengah malam. Untuk pertama kalinya, jam maju hingga 3 menit menuju tengah malam pada 1949 saat Uni Soviet menguji bom nuklirnya untuk pertama kali. Sejak itu, jam kiamat terus bergerak maju dan mundur sebagai respons atas perlombaan senjata nuklir.
Jam kiamat berada pada posisi terjauhnya pada 1991, yaitu 17 menit menjelang tengah malam. Saat itu, Uni Soviet dan AS menandatangani Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START) dan diikuti bubarnya Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin.
Berikutnya, sejak 2007, faktor penilaian jam kiamat tidak hanya soal penggunaan senjata nuklir, tetapi ditambahkan faktor-faktor baru, termasuk perubahan iklim, teknologi disruptif dari kecerdasan buatan hingga bioteknologi, perang, sampai pandemi global. Faktor non-nuklir itu dimasukkan karena mereka secara nyata membahayakan keberlanjutan hidup manusia di Bumi.
Meski sejumlah faktor non-nuklir sudah ditambahkan, penentuan jam kiamat ini tetap tidak lepas dari kritik. Penetapan jam kiamat dianggap tidak ada gunanya dan hanya menimbulkan kecemasan dan ketakutan.
Salah satu gugatan itu datang dari ahli risiko bencana global dari Universitas Oxford, Inggris, Anders Sandberg. Dalam tulisannya di The Conversation, 23 Januari 2015, Sandberg menyebut, jam kiamat bukanlah ukuran waktu, probabilitas, atau jarak. Karena itu, manfaat jam kiamat ini lebih untuk mengetahui arah pasti kehidupan di Bumi daripada mengukurnya dengan tepat.
Setelan jam kiamat ini dibuat hanya berdasarkan penilaian ahli yang menggambarkan ”perasaan mendesak yang kuat” yang dimiliki oleh para penilainya. Setelan jam kiamat dibuat tanpa adanya batas pasti yang bisa menunjukkan seberapa dekat berbagai faktor-faktor yang diukur bisa memicu kehancuran Bumi.
Tanpa adanya batasan pasti kehancuran Bumi, penilaian ahli itu memunculkan potensi untuk melebih-lebihkan apa yang terjadi atau justru meremehkan risiko atau ancaman yang ada di depan mata. Karena itu, jam kiamat ini dianggap tidak lebih dari sekadar ramalan baik yang bisa mendorong manusia untuk melakukan perubahan.
Setelan jam kiamat memang ditetapkan oleh Dewan Sains dan Keamanan BAS yang terdiri atas 18 pakar dari berbagai bidang keilmuan, mulai dari nuklir, perubahan iklim, teknologi, sejarah militer, hingga diplomasi. Penilaian mereka dimasukkan setelah berdiskusi dengan rekan seprofesi dan anggota Dewan Sponsor BAS yang 11 orang di antaranya adalah peraih Hadiah Nobel.
Baca juga: Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim
Karena itu, Bronson menyampaikan, penetapan jam kiamat bisa dijadikan pengingat penting bagi pemerintah dan komunitas di seluruh dunia untuk mengambil tindakan langsung demi menyelamatkan Bumi dan kehidupannya. Butuh konsensus politik global yang kuat sehingga berbagai masalah ini bisa diatasi serius.
Semua negara dan kelompok masyarakat memiliki peran yang sama untuk menjaga dan menyelamatkan Bumi. Namun, negara-negara besar, seperti AS, China, dan Rusia, memiliki peran yang lebih besar untuk bisa menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Mereka memiliki kapasitas lebih besar untuk menarik kembali Bumi dalam keseimbangannya.
Selain itu, pemimpin negara-negara besar dan berpengaruh di dunia selama ini telah mengarahkan Bumi menuju dan semakin dekat dengan bencana. Kini, mereka perlu mengambil tanggung jawab lebih besar demi menyelamatkan dan menjaga keberlangsungan kehidupan di Bumi.