Perubahan Iklim Mengancam Pendidikan Anak Perempuan
Bencana alam merupakan tantangan di Indonesia. Dampak berlapis dirasakan masyarakat, terutama anak-anak perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim berdampak besar bagi perempuan dalam mewujudkan hak mereka atas pendidikan. Perempuan yang sejak awal menghadapi ketidaksetaraan akses kesehatan, kesehatan reproduksi, pendidikan, partisipasi dan perlindungan, posisinya semakin rentan dengan adanya bencana iklim.
Bagi anak perempuan, perubahan iklim tidak hanya memengaruhi kemampuan mereka untuk pergi sekolah, tetapi juga kualitas pendidikan mereka. Bahkan, kelangkaan air juga menjadi masalah utama bagi anak perempuan di wilayah timur Indonesia.
”Dalam dua tahun diprediksi lebih dari 12,5 juta anak perempuan tidak dapat menyelesaikan sekolah karena bencana iklim yang merusak sekolah,” ujar Influencing Director Plan Indonesia Nazla Mariza, Jumat (26/1/2024), di Jakarta, pada acara ”Temu Plan Indonesia Youth Network (PlaNet) #5: Menuju Masa Depan, Melawan Krisis Iklim”.
Dalam acara tersebut, Nazla memaparkan hasil riset yang berjudul ”For Our Futures—Suara Kaum Muda tentang Keadilan Iklim dan Pendidikan untuk Masa Depan” yang baru-baru ini diluncurkan Plan International dan kaum muda dari Indonesia, Nepal, dan Australia. Riset tersebut melibatkan mayoritas anak perempuan sebagai responden.
Riset yang ditulis oleh Plan International dan kaum muda dari tiga negara di Asia Pasifik (Indonesia, Nepal, dan Australia) ini mengungkapkan dampak besar krisis iklim terhadap akses pendidikan anak perempuan dan perempuan muda. Para penulis berkonsultasi dengan lebih dari 500 kaum muda berusia 10-24 tahun (mayoritas adalah anak perempuan) di ketiga negara. Sebanyak 154 kaum muda di antaranya berasal dari Indonesia.
Sepertiga kaum muda yang menjadi responden mengatakan bahwa sekolah mereka telah ditutup, rusak, atau hancur karena bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim tahun lalu. Hampir separuhnya mengatakan, mereka merasa tidak aman dalam perjalanan dari dan ke sekolah karena bencana terkait iklim.
Selain Nazla, dalam diskusi bulanan Temu PlaNet yang dipandu Aditya Septiansyah (Campaign Lead, Plan Indonesia), Gita Syahrani (Head of Executive Board, Koalisi Ekonomi Membumi) juga memaparkan mitigasi krisis iklim dengan langkah hijau, dan Aprilia Resdini (Perwakilan Plan International pada COP28) yang menyampaikan pesan kaum muda terkait krisis iklim di COP28.
Kepala Divisi Penghimpunan dan Pengembangan Layanan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Lia Kartikasari memberikan materi soal dukungan BPDLH bagi upaya mitigasi perubahan iklim.
Menurut Nazla, akibat dampak perubahan iklim, di masa depan, anak-anak terutama anak perempuan, akan menghadapi tantangan untuk beradaptasi lebih berat lagi jika tidak ada aksi yang benar-benar berdampak pada penurunan emisi ataupun peningkatan kapasitas adaptasi dari saat ini.
Kelangkaan air
Kelangkaan air menjadi isu utama anak perempuan wilayah timur Indonesia yang kini berdampak pada pendidikan mereka. Anak perempuan harus berjalan hingga 5 kilometer untuk mengambil air dan ini seringkali mengganggu aktivitas belajar mereka.
Kesulitan tersebut dialami, misalnya, oleh Wiwin dari Nusa Tenggara Timur yang harus mengatur waktu karena setelah pulang sekolah dia harus membantu tugas-tugas rumah, terutama mengambil air berulang kali sehingga waktu belajarnya habis hanya untuk tugas-tugas rumah.
Dari riset tersebut, kaum muda merekomendasikan agar pemerintah perlu membangun wadah seperti Dewan Nasional untuk Kaum Muda Perempuan. Dewan ini berfokus pada isu perubahan iklim agar menjadi wadah amplifikasi suara yang beragam, terutama pada perempuan muda yang memiliki pengalaman nyata dari dampak perubahan iklim.
Rio, salah satu aktivis muda dari Yogyakarta yang ikut dalam riset tersebut, mengungkapkan, dalam riset tersebut tim menemukan perbedaan dan kesamaan terkait dampak iklim yang dihadapi Indonesia, Australia, dan Nepal.
”Salah satu temuan, kalau di Indonesia, kaum muda menginginkan pemerintah berkomitmen mengintegrasikan kurikulum pendidikan dengan perubahan iklim agar dipahami anak-anak di sekolah apa itu krisis iklim dan bagaimana cara memitigasinya,” paparnya.
Gita yang juga dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) mengungkapkan, hasil riset LTKL menemukan adanya pemikiran anak-anak di zaman sekarang (generasi Z) saat berbelanja makanan, pakaian, dan sebagainya disertai pertanyaan apakah ikut merusak lingkungan atau tidak.
Ia mencontohkan potensi basis alam apa yang bisa dikelola secara lestari, seperti madu hutan ataupun daun kelor. ”Di seluruh Indonesia banyak sekali potensi alam yang bisa dikembangkan. Kita biasanya melihat keanekaragaman hayati cuma pada komoditas,” katanya seraya mencontohkan nanas tidak sekadar dimakan, tetapi juga bisa diolah menjadi bahan kecantikan.