Kekerasan dan Praktik Berbahaya pada Perempuan Masih Tinggi
Kesetaraan jender serta pemenuhan hak perempuan merupakan fondasi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kekerasan serta praktik-praktik berbahaya pada perempuan, seperti perkawinan dini dan pemotongan atau pelukaan genitalia, masih tinggi. Jika tidak ada upaya yang sinergis dan kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut, tujuan pembangunan berkelanjutan yang diharapkan bisa tercapai pada 2030 sulit tercapai.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan, jumlah perempuan di Indonesia hampir separuh dari seluruh penduduk di Indonesia. Perempuan punya potensi yang besar untuk mendorong percepatan pembangunan bangsa. Karena itu, partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki menjadi kunci kesejahteraan suatu bangsa.
”Namun, di samping potensi perempuan yang sangat luar biasa, masih terjadi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Imbas dari ketimpangan tersebut membuat perempuan dan anak rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan,” tuturnya saat hadir secara virtual dalam acara peluncuran program Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia atau Berani fase kedua, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Program Berani fase kedua merupakan bentuk dukungan dari UNFPA, Unicef, dan UN Women serta Global Affairs Canada bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi bagi semua perempuan dan anak di Indonesia.
Program Berani fase kedua merupakan kelanjutan dari program Berani fase pertama dan dilaksanakan mulai Agustus 2023 sampai Desember 2027 di 26 kabupaten/kota di 14 provinsi di Indonesia. Program ini dijalankan untuk mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ketiga mengenai kehidupan sehat dan sejahtera serta tujuan kelima terkait kesetaraan jender.
Di samping potensi perempuan yang sangat luar biasa, masih terjadi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Imbas dari ketimpangan tersebut membuat perempuan dan anak rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan.
Bintang menuturkan, prevalensi kekerasan pada perempuan dan anak menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan serta Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja pada 2021 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tetap masih tinggi di Indonesia, baik kekerasan secara fisik, psikis, seksual, maupun bentuk kekerasan lainnya.
Tercatat prevalensi kekerasan fisik ataupun seksual pada perempuan usia 15-64 tahun oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya pada 2021 mencapai 26,10 persen. Angka itu turun 7,3 persen dibandingkan tahun 2016. Namun, prevalensi kekerasan terhadap perempuan usia 15-64 tahun oleh selain pasangan selama setahun terakhir untuk kekerasan seksual meningkat menjadi 5,2 persen pada 2021, sementara pada 2016 sebesar 4,7 persen.
Selain persoalan terkait kekerasan, perempuan juga masih belum mendapatkan haknya atas kesehatan reproduksi. Hak atas kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual yang belum terpenuhi turut berdampak pada praktik kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan atas kesehatan reproduksinya. Perempuan juga rentan terhadap praktik yang berbahaya, seperti tindakan pemotongan atau pelukaan pada genitalia. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Indonesia 2021 menunjukkan, sebanyak 55 persen anak perempuan dari jumlah perempuan usia 15-49 tahun mengalami sunat, meliputi 21,3 persen menjalankan praktik sunat perempuan kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan 33,7 persen hanya secara simbolis.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mendorong penghapusan praktik pelukaan atau pemotongan genitalia perempuan yang dikenal juga sebagai sunat perempuan. Sunat pada perempuan merupakan praktik berbahaya yang melanggar hak perempuan dan anak. Praktik berbahaya tersebut juga termasuk bentuk kekerasan berbasis jender.
Sunat pada perempuan berbeda dengan sunat pada laki-laki. Secara medis, sunat pada perempuan tidak memiliki manfaat. Itu berbeda dengan sunat pada laki-laki yang dibutuhkan untuk kebersihan diri.
Pembangunan
Country Representative Badan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Fund/UNFPA) untuk Indonesia Hassan Mohtashami menuturkan, kesetaraan jender serta pemenuhan hak pada perempuan merupakan fondasi untuk mencapai tujuan pembangunan, perdamaian, dan keamanan secara nasional ataupun global. Akan tetapi, berbagai persoalan justru memperlihatkan belum terwujudnya kesetaraan jender dan pemenuhan hak tersebut.
Ia mencontohkan, kini masih banyak perempuan yang belum otonom terhadap tubuhnya. Sejumlah perempuan tidak bebas untuk memutuskan kapan ia akan hamil. Perempuan juga belum bebas menentukan berapa banyak anak yang akan dilahirkan. ”Jika perempuan saja belum otonom atas tubuhnya, bagaimana bisa kita berbicara mengenai kesetaraan jender?” tutur Hassan.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amich Alhumami mengatakan, pemerintah telah berkomitmen memperkuat perwujudan kesetaraan jender, termasuk terkait kesehatan reproduksi pada perempuan. Kesehatan reproduksi pun masuk sebagai agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
”Pada tujuan pembangunan Indonesia Emas, secara khusus dalam transformasi sosial, akan diwujudkan kesehatan untuk semua. Pada ketahanan sosial, budaya, dan ekologi juga termasuk pada perwujudan keluarga berkualitas, kesetaraan jender, dan masyarakat yang inklusif,” tuturnya.