Tangkal Hoaks dengan Lebih Kritis Merespons Informasi
Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, hoaks makin sulit dideteksi. Warga perlu lebih kritis merespons informasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), hoaks semakin sulit dideteksi. Penyebaran konten bermuatan informasi palsu kian marak menjelang Pemilu 2024. Kritis merespons informasi menjadi salah satu kunci untuk menangkal hoaks.
Associate Professor Data Science Program di Monash University Indonesia, Derry Wijaya, mengatakan, kemajuan teknologi AI ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi berdampak positif untuk membantu membuat konten, tetapi di sisi lain bisa dipakai untuk menyebarkan misinformasi.
Misinformasi yang dihasilkan bisa berupa teks, gambar, audio, dan video. Salah satu konten hoaks yang saat ini banyak beredar adalah dengan menyisipkan audio hasil AI ke dalam video yang nyata.
Konten tersebut menyebar luas di ruang digital melalui media sosial. Hal ini membingungkan penerima konten. Sebab, dengan bantuan AI, audio palsu itu bisa dibuat mirip dengan suara orang yang ada dalam video tersebut.
”Intinya kita harus lebih kritis dalam membaca informasi itu. Kalau kontennya memicu emosi, kita harus mulai bertanya siapa yang akan diuntungkan kalau informasi itu disebarkan. Jadi, jangan langsung share, tapi dipikirkan dulu,” ujarnya dalam diskusi daring bertema ”Waspada Penggunaan Teknologi AI dalam Penyebaran Misinformasi/Disinformasi”, Rabu (24/1/2024).
Membongkar kebohongan
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membendung penyebaran hoaks di jagat maya. Salah satunya menggunakan metode debunking atau membongkar kebohongan informasi yang sudah disebarkan.
Akan tetapi, upaya debunking kalah cepat dari penyebaran hoaks yang sangat masif. Sebab, sebelum penelusuran kebenaran informasi itu tuntas, konten tersebut sudah disebar ribuan kali lewat media sosial.
Metode lainnya adalah prebunking, yaitu proses membongkar kebohongan informasi sebelum hoaks menyerang. Masyarakat diajak dan diedukasi untuk mengidentifikasi informasi palsu. Oleh karena itu, literasi digital perlu terus ditingkatkan.
Konten tersebut menyebar luas di ruang digital melalui media sosial. Hal ini membingungkan penerima konten. Sebab, dengan bantuan AI, audio palsu itu bisa dibuat mirip dengan suara orang yang ada dalam video tersebut.
”Yang perlu dilakukan adalah mengamati kejanggalan-kejanggalan. Setelah itu, lihat siapa yang menyebarkannya. Kemudian, jika informasi itu terlalu sempurna, wajib dicek dulu,” ucapnya.
Menurut Derry, terkadang gencarnya penyebaran hoaks tidak hanya disebabkan ketidaktahuan kebenaran pada informasi yang diterima. Sebab, faktor emosional juga bisa berpengaruh, terutama jika informasi itu sesuai dengan pemahaman orang yang menerimanya.
”Hal ini membuat emosi kita terpetik. Kita tahu itu tidak 100 persen benar, tapi tetap membagikannya. Hal ini harus dilatih untuk bisa menahannya. Mesti dihentikan kebiasaan hanya ingin membagikan konten sesuai dengan kepercayaan kita,” ucapnya.
Derry menambahkan, selain menyebarkan hoaks, AI dipakai untuk propaganda. AI dimanfaatkan untuk membuat teks, audio, dan visual guna memanipulasi opini publik agar lebih condong kepada pihak yang membuatnya.
Hal ini digunakan untuk sejumlah tujuan, salah satunya mengerdilkan kelompok oposisi. Bahkan, di sejumlah negara, AI dipakai untuk menyensor beberapa informasi yang tidak diinginkan oleh otoritas setempat untuk disebarluaskan.
”Banyak alat pendeteksi misinformasi masih dalam tahap riset. Pengembangannya lebih lambat dari produksi dan penyebaran misinformasi. Selain itu, konteks misinformasi berubah-ubah seiring waktu,” katanya.
Penyebaran hoaks bertema politik semakin masif menjelang Pemilu 2024. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, dalam rentang waktu 2022 hingga awal Januari 2024, terdapat 203 hoaks pemilu. Informasi bohong itu menyebar di platform digital melalui 2.882 konten.
Penyebaran terbanyak lewat platform Facebook dengan 1.325 konten. Selanjutnya 947 konten Twitter atau X, 342 konten Tiktok, 198 konten Instagram, 36 konten Snack Video, dan 34 konten Youtube.
Dalam diskusi ”Mewujudkan Pemilu Damai 2024”, pegiat literasi digital, Gun Gun Siswadi, menyampaikan, maraknya hoaks yang bertebaran di media sosial menjadi salah satu tantangan Pemilu 2024. Media sosial cenderung menjadi tidak produktif karena banyak digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.
Terdapat beberapa langkah untuk mengidentifikasi hoaks, seperti memperhatikan judul berita yang bombastis dan melihat sumber berita yang tidak kredibel. Penyebaran hoaks patut diwaspadai karena dapat memicu provokasi dan agitasi.