Dunia Pendidikan dan Industri Perlu Sama-sama Proaktif Hadapi Perubahan
Dunia industri dan pendidikan perlu berkolaborasi untuk menyiapkan talenta yang memiliki kompetensi relevan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dunia pendidikan dan industri diminta untuk sama-sama proaktif menyesuaikan diri satu sama lain guna menemukenali kebutuhan masing-masing sehingga dapat mendukung Indonesia maju. Dinamika dunia yang berubah cepat memengaruhi kehidupan dan dunia kerja. Hal ini akan membawa perubahan pada demand, yaitu ekspektasi dari sisi industri serta supply, yaitu para talenta.
Apalagi, kesenjangan antara lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) sudah lama dikeluhkan. Akibatnya, lulusan dari dunia pendidikan seperti pendidikan vokasi dan perguruan tinggi banyak tidak terserap di dunia kerja.
Sekretaris Jenderal Forum Human Capital Indonesia Dharma Syahputra mengatakan, pengembangan talenta dari sisi industri dan persiapan dari sisi penyedia di dunia pendidikan di dalam negeri masih belum cocok (mismatch). Saat lowongan kerja dibuka ada banyak peminat yang menandakan Indonesia memasuki masa bonus demografi. Namun, tak semua peminat bisa diserap industri.
Dharma mengatakan dari sisi permintaan, kini juga banyak perubahan karena dinamika dunia yang semkin cepat berubah. Dari pengalaman Forum Human Capital Indonesia yang secara umum membantu perekrutan pekerja untuk badan usaha milik negara (BUMN), lowongan yang dibuka berubah, yaitu meminta talenta yang berlatar belakang digital. Persyaratan yang ditetapkan juga lebih spesifik seperti data analis, dibandingkan dengan dulu yang hanya menyebutkan lulusan teknik.
Para karyawan yang dikirim perusahaan untuk studi lanjut, misalnya, tidak lagi kuliah MBA, tapi digital help care atau bioteknologi. Hal ini didorong tren adaptasi teknologi, termasuk kecerdasan buatan dan juga digitalisasi. Banyak juga posisi baru yang muncul seperti tenaga di energi terbarukan dan ekonomi hijau. Adapun untuk softskills, dituntut memiliki kompetensi leadership, berorientasi prestasi, memiliki kepercayaan diri dan bekerja sama dengan orang lain.
Sementara itu, lanjut Dharma, industri juga perlu paham, perubahan juga datang dari sisi penyedia. Generasi muda kini punya cara pandang yang berbeda. Dulu perusahaan mau mencari karyawan yang loyal 5-10 tahun hingga mencapai posisi manajer. Namun, generasi kini punya pandangan sendiri, ingin bekerja dalam hitungan dua tahun karena ingin menimba pengalaman, lalu mendirikan usaha rintisan.
”Kalau mindset dari human resources di perusahaan masih yang lama, susah untuk mendapat talenta yang diharapkan. Jadi, perlu diubah sistem kita. Dalam merekrut karyawan sekarang perlu memberikan kebebasan berkreasi dan dibuat cara untuk mau betah, dengan format perusahaan membuat innovation hub atau laboratorium sehingga dalam tiga tahun bisa menjadi CEO perusahaan sendiri dan ini jadi menarik banyak talenta untuk perusahaan,” kata Dharma dalam gelar wicara bertajuk ”Closing The Achievement Gap” yang digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Pendidikan dan Kebudayaan bersama Binus University International di Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Perlu saling bicara
Menurut Dharma, mismatch antara DUDI dan dunia pendidikan karena tidak banyak saling berbicara. Dari sisi pendidikan kini juga ditantang mengembangkan pendidikan dan pelatihan yang dapat dikonversi menjadi satuan kredit semester (SKS). Saat ini belum banyak perguruan tinggi yang menerima perubahan dibandingkan perusahaan yang lebih fleksibel. Sebab, perusahaan tidak minta talenta yang langsung siap hardskills, justru yang diharapkan memiliki cara berpikir kritis, analitis, dan kreatif.
Perusahaan kini menuntut talenta dengan learning agility, yakni mau terus belajar dan mengembangkan kemampuan berpikir sehinngga dapat beradaptasi dengan perubahan. Ada kebutuhan belajar profesional ke mikro, bukan lagi makro, dengan model mikro kredensial, selain mendapat sertifikasi kompetensi juga bisa dikonversi menjadi kredit kuliah.
Perusahaan menuntut kompetensi yang bukan sekadar technical skill, tapi kemampuan memecahkan masalah, bekerja sama, komunikasi verbal dan tertulis, fleksibilitas dan adaptasi, hingga inisiatif.
Sementara itu, Deputy President Director PT Bank Central Asia, Tbk Armand W Hartono mengatakan, perusahaan juga harus proaktif untuk membantu penyiapan talenta yang sesuai kebutuhan. BCA melakukannya lewat program Bakti BCA, salah satunya membuka program magang sambil mendapat beasiswa yang bekerja sama dengan universitas untuk meraih gelar sarjana.
”Perusahaan itu harus bisa survive, jangan sampai sengsara. Makanya kita yang bisa kerja. Di luar kepintaran dan pendidikan, kita butuh talenta yang bisa mencari masalah yang ada dan mencari solusi, bukan yang membuat masalah,” ujar Armand.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan menyiapkan talenta berkualitas masih menjadi tantangan, Sebab, mengacu hasil PISA yang digelar OECD, pelajar Indonesia belum memiliki kompetensi dasar yang wajib dimiliki dalam literasi, numerasi, dan sains. Ditambah lagi akses pendidikan dari SMP ke SMA/SMK sederajat baru sekitar 60 persen, sedangkan yang bisa melanjut ke perguruan tinggi hanya separuhnya.
Pasar kerja, lanjut Faisal, juga tidak lagi mengutamakan indeks prestasi kumulatif (IPK). Perusahaan butuh orang yang memiliki kompetensi kepemimpinan dan kerja sama dengan orang lain. Perguruan tinggi ditantang untuk dengan cepat menyediakan profil angkatan kerja yang sesuai. Hal ini karena keahlian tertentu bertahan rata-rata lima tahun.
Pengembangan kapasitas juga bisa dilakukan lewat belajar daring secara mandiri. Universitas, misalnya, kini bersaing dengan platform pelatihan digital dari perusahaan yang bersertifikasi dan relevan dengan kebutuhan profesional. Hal ini sebenarnya jadi peluang universitas untuk menyesuaikan kebutuhan dalam pendidikan.
Ketua Komisi Tetap Pendidikan Dasar dan Menengah, Kadin, Antarina SF Amir mengatakan untuk menuju Indonesia Emas 2045 yang didukung dengan bonus demografi, masih ada tantangan. Itu di antaranya berupa kesenjangan antara lulusan universitas dengan kebutuhan dunia kerja. Dunia pendidikan berperan untuk menyiapkan talenta unggul yang memiliki IQ tinggi, karakter, dan kemampuan berpikir yang andal. Hal ini jika pendidikan sejak dini hingga universitas dilakukan dengan baik dan berkualitas.
”Sekarang IPK sudah tidak masuk lagi diperhitungkan. Tinggal 25 persen perusahaan yang minta. Perusahaan menuntut kompetensi yang bukan sekadar technical skill, tapi kemampuan memecahkan masalah, bekerja sama, komunikasi verbal dan tertulis, fleksibilitas dan adaptasi, hingga inisiatif,” kata Antarina yang juga Founder & CEO HighScope Indonesia Institute.
Sayangnya, sistem pengajaran yang terjadi masih sama, belum berfokus pada siswa/mahaiswa dan mengakomodasi keberagaman potensi anak. Padahal, Ki Hajar Dewantara telah lama mengenalkan pendidikan holistik dan berpusat pada anak. ”Saat ini semakin penting untuk menyamakan persepsi dunia kerja dan pendidikan,” kata Antarina.