logo Kompas.id
HumanioraGigih Membendung Hoaks yang...
Iklan

Gigih Membendung Hoaks yang Kian Canggih

Teknologi mempercepat laju informasi, tapi tidak menjamin akurasi. Produksi hoaks yang semakin canggih patut diwaspadai.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 4 menit baca
Ilustrasi: Upaya Twitter (kini X) berperang melawan misinformasi, hoaks, dan informasi menyesatkan.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Ilustrasi: Upaya Twitter (kini X) berperang melawan misinformasi, hoaks, dan informasi menyesatkan.

Menjelang Pemilu 2024, hoaks politik yang disebar ”menggempur” ruang digital lewat media sosial. Konten bermuatan informasi palsu itu semakin sulit dikenali dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Kolaborasi berbagai pihak perlu ditingkatkan agar kian gigih membendung hoaks yang semakin canggih.

Hujan tak kunjung mendinginkan perdebatan panas dua pemuda di sebuah warung kopi di Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024). Akar masalahnya bersumber dari video di media sosial yang menampilkan seorang tokoh politik sedang berpidato menggunakan bahasa Arab.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Fahri (26), pengunjung asal Tanah Abang, berupaya meyakinkan temannya, Gusmawan (27), bahwa konten itu adalah hoaks. Tokoh politik di video tersebut merupakan salah satu calon presiden pada Pemilu 2024.

Akan tetapi, Gusmawan tetap ngotot menganggap video itu fakta. Sebab, suara dalam video itu sangat mirip dengan suara tokoh politik tersebut.

”Sekarang sudah banyak yang seperti itu. Videonya bisa diedit dengan mengganti suaranya pakai berbagai bahasa. Teknologinya namanya AI,” ujar Fahri.

Sejumlah pemuda menonton televisi yang akan menayangkan acara Debat Calon Wakil Presiden 2024 di salah satu warung kopi di Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Sejumlah pemuda menonton televisi yang akan menayangkan acara Debat Calon Wakil Presiden 2024 di salah satu warung kopi di Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).

Gusmawan tidak percaya begitu saja. Apalagi, tokoh politik dalam video itu merupakan ”jagoannya” dalam kontestasi pilpres tahun ini. Suara mereka meninggi agar tidak tenggelam ditelan suara guyuran hujan yang semakin deras.

Fahri pun tak mau menyerah. Tangannya dengan cepat menyambar ponsel cerdas di atas meja. Ia mencari video asli konten tersebut di Youtube. Setelah itu, ia juga menunjukkan laman cek fakta yang menjelaskan video itu sebagai konten hoaks.

Baca juga: Iklan Politik Berpotensi Mengamplifikasi Penyebaran Hoaks

”Memang sangat sulit meyakinkan kebenaran kalau sudah jatuh cinta sama capres. Mungkin ini yang dinamakan cinta itu buta,” ujar Fahri disertai tawanya. Gusmawan pun ikut tertawa mendengarnya.

Momen Pemilu 2024 tidak hanya menghangatkan diskursus politik. Penyebaran hoaks juga semakin masif. Dengan teknologi informasi yang semakin canggih, konten-konten hoaks yang berseliweran di ruang digital kian sulit diidentifikasi masyarakat awam.

Barisan saat Kirab Bendera Partai Politik yang mengisi acara Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024 di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Senin (27/11/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Barisan saat Kirab Bendera Partai Politik yang mengisi acara Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024 di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Senin (27/11/2023).

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan, dalam rentang waktu 2022 hingga awal Januari 2024, terdapat 203 hoaks pemilu. Informasi bohong itu menyebar di platform digital melalui 2.882 konten.

Penyebaran terbanyak lewat platform Facebook dengan 1.325 konten. Selanjutnya 947 konten Twitter atau X, 342 konten Tiktok, 198 konten Instagram, 36 konten Snack Video, dan 34 konten Youtube.

Iklan

Kemenkominfo telah mengajukan take down terhadap 1.399 konten, sedangkan 1.483 konten lainnya sedang ditindaklanjuti. Jumlah hoaks berpotensi meningkat mengingat pemungutan suara Pemilu 2024 semakin dekat.

Oleh karena itu, kolaborasi berbagai pihak, termasuk media massa, sangat penting untuk membendung penyebaran hoaks. Masyarakat atau pemilih membutuhkan informasi valid untuk menentukan pilihannya. Jika informasi yang diakses tidak benar, pertimbangan yang digunakan untuk memilih menjadi keliru.

Penyebaran hoaks jauh lebih masif ketimbang upaya membongkar kebohongan informasi tersebut.

Sejumlah pihak terus berupaya melawan penyebaran hoaks. Komunitas media bersama berbagai lembaga berkolaborasi membuat gerakan cek fakta.

Akan tetapi, upaya meredam produksi hoaks dan penyebarannya tidaklah mudah. Sebab, penyebaran hoaks jauh lebih masif ketimbang upaya membongkar kebohongan informasi tersebut. Karena itu, tim pemeriksa fakta dituntut mengembangkan kapasitasnya, termasuk mempelajari tools atau alat dan aplikasi teknologi terkini.

Pemeriksa Fakta AFP, Nisya Kunto, mengatakan, terdapat sejumlah tantangan untuk mengecek fakta dalam sebuah informasi. Beberapa di antaranya adalah mendapatkan bukti atau pernyataan dari narasumber, konten yang panjang dengan berbagai klaim, dan cepatnya pergerakan konten yang diunggah.

Selain itu, masifnya ekosistem internet menambah sulit dalam mendeteksi misinformasi dan disinformasi. ”Artificial intelligence (AI) juga menambahkan konten-konten yang digunakan untuk menyebarkan narasi yang salah,” ujarnya dalam webinar ”Memotret Mis-Disinformasi yang Menyebar Selama Masa Pemilu 2024”, Jumat (19/1/2024).

Grup musik menghibur para peserta sosialisasi melawan informasi hoaks terkait pemilu yang digelar Badan Pengawas Pemilu, Minggu (24/12/2023), di Gedung Sarinah, Jakarta. Informasi hoaks terkait pemilu dapat merusak kualitas demokrasi.
KOMPAS/ZULKARNAINI

Grup musik menghibur para peserta sosialisasi melawan informasi hoaks terkait pemilu yang digelar Badan Pengawas Pemilu, Minggu (24/12/2023), di Gedung Sarinah, Jakarta. Informasi hoaks terkait pemilu dapat merusak kualitas demokrasi.

Misinformasi merupakan informasi yang keliru, tetapi orang yang menyebarkannya meyakini hal itu benar. Adapun disinformasi adalah informasi keliru yang sengaja disebar untuk tujuan tertentu.

Ketahanan ekosistem informasi

Jika berkaca dari pemilu sebelumnya, polarisasi politik sulit dihindari dalam kontestasi publik. Jadi, sangat penting mengantisipasi agar misinformasi dan disinformasi tidak memicu kebencian di tengah masyarakat.

Pemilu menjadi momentum krusial dalam ketahanan ekosistem informasi di Tanah Air. Apalagi, produksi dan penyebaran hoaks hampir tidak mungkin dibendung sepenuhnya. Dengan derasnya arus informasi di tengah kemajuan teknologi komunikasi, peluang masyarakat terhasut hoaks sangat terbuka.

Untuk meminimalkan dampaknya, media massa menjadi tumpuan dalam menguji akurasi informasi yang beredar. Selain itu, menggencarkan edukasi pada masyarakat agar selalu memverifikasi informasi, mengadukan konten berbahaya atau yang berpotensi menghasut, hingga berpartisipasi aktif dalam komunitas memberantas hoaks.

Deklarasi Masyarakat Bandung Anti Hoax yang diadakan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) pada hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Deklarasi Masyarakat Bandung Anti Hoax yang diadakan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) pada hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Masduki mengatakan, untuk membendung penyebaran hoaks tidak hanya dibutuhkan literasi digital, tetapi juga menjaga jarak dari sumber-sumber hoaks tersebut. Sebab, tidak semua informasi di media sosial teruji kebenarannya.

Baca juga: Hilang Nyawa karena Hoaks Merajalela

”Perkuat kolaborasi kerja-kerja jurnalisme profesional. Apa pun situasinya, unit pemeriksa fakta perlu ditingkatkan terus wawasan dan keterampilannya,” katanya.

Di tengah riuh perdebatan politik dan hantaman gelombang hoaks, peran media sebagai penjernih informasi sangat dinanti. Media diharapkan lebih ketat memverifikasi informasi ketimbang larut dalam praktik jurnalisme serba cepat.

Editor:
ADHITYA RAMADHAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000