Pertambangan di Pulau Kecil Melanggar Undang-Undang
Pakar menyatakan, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil melanggar hukum selain juga merusak lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain mengancam kelestarian lingkungan, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil juga merupakan bentuk pelanggaran hukum. Oleh karena itu, berbagai aktivitas pertambangan yang merusak ini perlu segera dihentikan oleh pemerintah.
Guru Besar Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo La Ode M Aslan menyampaikan, regulasi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Tidak ada satu poin pun dalam regulasi tersebut yang memperbolehkan sektor pertambangan bisa masuk ke pulau-pulau kecil.
Ketentuan dalam Pasal 23 Ayat 2 UU No 27/2007 menyatakan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha atau industri perikanan secara lestari, pertanian organik, dan peternakan.
”Tidak ada dasarnya eksploitasi tambang dilakukan di wilayah pulau-pulau kecil. Jadi, eksploitasi ini merupakan pelanggaran hukum berat,” ujar Aslan dalam diskusi media secara daring yang diselenggarakan Forest Watch Indonesia (FWI), Kamis (18/1/2024), di Jakarta.
Menurut Aslan, aktivitas pertambangan berdampak terhadap pulau-pulau kecil karena wilayah ini baik secara fisik, biologis, dan kimia sangat rentan terhadap berbagai perubahan yang terjadi di daratan. Salah satu yang paling fatal ialah abrasi hingga membuat luasan pulau kecil semakin menyusut karena hantaman ombak yang sangat masif.
Alih-alih menyelamatkan, Aslan menilai, pemerintah justru berupaya semakin mengeksploitasi pulau-pulau kecil. Hal ini ditunjukkan dari pembentukan regulasi yang berpotensi merusak pulau-pulau kecil, seperti UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Solusi yang perlu dilakukan ialah menghentikan aktivitas perusakan lingkungan, seperti pertambangan pasir dan logam berat di pulau-pulau kecil. Kemudian, perlu juga melakukan investigasi secara transparan apa yang terjadi, baik di pulau-pulau kecil maupun di daratan.
Kondisi pulau-pulau kecil di Indonesia sudah mengalami kerusakan yang sangat masif.
”Pemerintah kita tidak memberikan ruang terhadap badan-badan terkait di daerah untuk melakukan monitoring. Padahal, seharusnya mereka diberikan wewenang dan operasional untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin aktivitas atau dampak dari pertambangan di pulau-pulau kecil,” ujarnya.
Guru Besar Perencanaan dan Manajemen Hutan Universitas Pattimura Agustinus Kastanya menambahkan, kondisi pulau-pulau kecil di Indonesia sudah mengalami kerusakan yang sangat masif. Oleh karena itu, perlu ada peninjauan konsep pembangunan, terutama di sektor pertambangan.
Selain itu, perlu juga ditetapkan tindakan pengamanan dari aspek lingkungan dan sosial sehingga masyarakat dapat memastikan jenis pembangunan yang harus berlangsung di tempat tersebut. Di sisi lain, semua investasi harus terintegrasi dengan pembangunan berkelanjutan dan menjamin kesejahteraan masyarakat, khususnya yang ada di sekitar lokasi.
IUP di pulau kecil
Dalam laporan yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sebanyak 218 izin usaha pertambangan(IUP) telah mengapling 34 pulau-pulau kecil di sejumlah wilayah di Indonesia. Total luas konsesi IUP tersebut mencapai lebih dari 274.000 hektar.
Beberapa pulau kecil yang masih terancam kegiatan pertambangan di antaranya Pulau Sangihe (Sulawesi Utara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara), Pulau Wawonii (Sulawesi Tenggara), Pulau Gag (Papua Barat Daya), Pulau Gee (Maluku Utara), Pulau Pakal (Maluku Utara), Pulau Doi (Maluku Utara), dan Pulau Romang (Maluku).
Salah satu ancaman nyata dari aktivitas pertambangan terjadi di Pulau Wawonii. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat, Pulau Wawonii memiliki keanekaragaman ekosistem, flora, dan fauna yang sangat tinggi. Namun, tidak kurang dari 1.000 jenis tumbuhan dan ratusan hewan, seperti penyu, kura-kura batok, dan burung maleo, makin terancam habitatnya oleh aktivitas pertambangan nikel di wilayah ini.
Kepala Divisi Hukum Jatam Muhammad Jamil menuturkan,upaya penyelamatan mendesak dilakukan karena pulau-pulau kecil amat rentan terhadap berbagai dampak dari kegiatan pertambangan, baik aspek ekonomi, lingkungan, sosial, maupun perubahan iklim.Upaya penyelamatan juga penting karena pulau kecil merupakan bagian dari kedaulatan negara mengingat lokasinya yang banyak berbatasan dengan negara lain (Kompas, 16/1/2024).