Habitat Gajah Kian Kritis, Sanksi Tegas pada Pelanggaran Perlu Ditegakkan
Habitat gajah sumatera semakin terancam. Perlu ada kebijakan tegas yang bisa memberikan efek jera bagi para pelanggar.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penyelamatan populasi gajah Sumatera dan melindungi habitat gajah yang tersisa semakin mendesak. Pembiaran yang selama ini terjadi terhadap perusakan hutan harus segera diperbaiki dengan penegakan hukum yang tegas.
Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar mengatakan, hutan yang menjadi habitat dari gajah semakin kritis. Hal itu setidaknya tergambar dari kondisi habitat gajah yang berada di tutupan hutan alami Bentang Alam Seblat, Bengkulu.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Konsorsium Bentang Seblat, luasan hutan alami di Bentang Alam Seblat telah berkurang sekitar 8.800 hektar dalam rentang 2020-2023. Adapun luas Bentang Alam Seblat sebesar 80.987 hektar.
“Laju kerusakan yang begitu kuat itu sebenarnya apa penyebabnya? Kita baru melihat ternyata di sini ada proses pembiaran terhadap tindakan yang sebenarnya merusak hutan yang akhirnya memotong habitat dari gajah,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Merambah Rumah Gajah: Konversi Hutan Menjadi Sawit oleh Anglo Eastern Plantation dan Perusahaan Lainnya di Kawasan Seblat, Bengkulu”, Kamis (18/1/2024) di Jakarta.
Sejumlah tindakan yang ditemukan mengancam habitat gajah di kawasan tersebut, antara lain masifnya perambahan dan pembalakan hutan, aktivitas perkebunan sawit skala besar, serta konversi kawasan hutan menjadi lahan sawit. Kondisi-kondisi tersebut dinilai akan semakin mengancam populasi gajah sumatera.
Karena itu, Ali menuturkan, penegakan hukum yang semakin kuat yang disertai dengan pemberian sanksi tegas pada pihak yang merambah ataupun membalak hutan secara liar harus dijalankan. Pastikan pula sanksi tersebut bisa menimbulkan efek jera dari para pelanggar.
Laju kerusakan yang begitu kuat itu sebenarnya apa penyebabnya? Kita baru melihat ternyata di sini ada proses pembiaran terhadap tindakan yang sebenarnya merusak hutan yang akhirnya memotong habitat dari gajah.
Selama ini, sejumlah praktik pembukaan kawasan hutan justru ditemukan dengan fasilitasi dari aparat desa ataupun oknum di pemangku kawasan. “Jika kondisi ini dibiarkan berlarut, konflik antara gajah akan semakin sering muncul. Bentang Alam Seblat yang menjadi rumah gajah terakhir di Provinsi Bengkulu ini menjadi semakin terdesak,” katanya.
Direktur Direktorat Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra menambahkan, implementasi kebijakan terkait perlindungan satwa liar, termasuk gajah, diharapkan bisa lebih tegas. Sanksi yang diberikan bagi pelanggar selama ini dinilai masih lemah. Karena itu, pemerintah dinilai belum serius melindungi hutan sebagai habitat dari satwa liar.
“Sering kali sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi administrasi. Padahal, banyak sekali pendekatan yang bisa digunakan untuk memperkuat sanksi tersebut,” ucapnya.
Koreksi kebijakan
Itu sebabnya Forest Campaigner Manager Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian mendorong agar pemerintah melakukan tindakan korektif terhadap kebijakan-kebijakan yang dapat melemahkan upaya perlindungan kawasan hutan. Menurut dia, banyak kebijakan yang justru mengakomodasi praktik kerusakan lingkungan yang dapat berdampak pada bencana ekologis.
Lemahnya kebijakan terkait perlindungan lingkungan juga memicu korporasi mengambil celah untuk membuka hutan tanpa izin untuk kepentingan produksi. “Itu dilakukan korporasi karena menurut mereka banyak peluang yang diberikan pemerintah melalui amnesti terhadap korporasi yang sebenarnya dengan sengaja membuka hutan tanpa izin,” ujarnya.
Akibatnya, kondisi lingkungan pun semakin rusak. Habitat satwa liar, termasuk gajah, kian hilang. Padahal, ketika habitat dari gajah semakin sempit, tindakan perburuan liar pada gajah akan lebih mudah dilakukan. Itu terjadi karena dalam habitat yang sempit, gajah akan semakin rentan terpisah dalam kelompoknya.
Gajah yang hidup di kelompok kecil juga berpotensi mengalami perkawinan dalam satu kelompok yang membuat genetiknya menjadi lemah. Kehilangan habitat pun akan mempersulit gajah mendapatkan pakan.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Rio Rompas menambahkan, masyarakat yang tinggal jauh dari habitat gajah bisa turut berperan mendorong upaya perlindungan terhadap gajah. Masyarakat bisa lebih selektif dalam memilih produk-produk yang digunakan.
“Masyarakat sebagai pasar bisa membangun kriteria-kriteria terhadap produk yang akan digunakan. Jika produk itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan, sebaiknya produk itu tidak dikonsumsi. Masyarakat sebagai konsumen punya peran penting dalam hal ini karena komoditas yang dihasilkan industri berakhir di konsumen,” katanya.