Pemerintah Kejar Cakupan 95 Persen Imunisasi Polio
Cakupan imunisasi pada Sub-PIN Polio ditargetkan mencapai 95 persen agar perlindungan yang terbentuk bisa optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan Sub-Pekan Imunisasi Nasional Polio pada putaran pertama ditargetkan bisa mencapai cakupan minimal 95 persen. Hal itu diperlukan agar upaya perlindungan pada anak-anak terhadap kejadian luar biasa polio bisa tercapai secara optimal.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu ditemui di Jakarta, Rabu (1/17/2024), mengatakan, cakupan imunisasi dalam Sub-Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio harus ditargetkan sekurang-kurangnya 95 persen. Diharapkan, penerimaan masyarakat pun bisa baik sehingga target cakupan imunisasi tersebut bisa tercapai.
Pelaksanaan Sub-PIN Polio dimulai secara serentak pada 15 Januari 2024. Imunisasi diberikan untuk semua anak usia 0-7 tahun di seluruh Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Adapun target yang menjadi sasaran imunisasi sebanyak 8.491.178 anak yang meliputi 3,9 juta anak di Jawa Tengah, 4,4 juta di Jawa Timur, dan 149.821 anak di Sleman, DI Yogyakarta.
”Untuk (pelaksanaan) di Jawa Tengah tidak ada masalah. Namun, di Jawa Timur, khususnya di Madura, ada kemungkinan resisten di masyarakat. Karena itu, kita perlu kerja bersama pemerintah daerah,” ujarnya.
Mengutip data Kementerian Kesehatan, cakupan Sub-PIN Polio di tiga lokasi tersebut per 16 Januari 2024 sebesar 42,6 persen. Dengan rincian, sebesar 37,4 persen di Jawa Tengah, 47,5 persen di Jawa Timur, dan 29,7 persen di Sleman, DIY.
Pelaksanaan Sub-PIN Polio sebagai penanggulangan KLB polio akan dilakukan dalam dua putaran. Putaran pertama akan dilakukan dalam waktu satu minggu yang kemudian dilanjutkan dengan putaran berikutnya pada 19 Februari 2024. Setiap putaran ditargetkan bisa tercapai cakupan minimal 95 persen. Sub-PIN Polio putaran berikutnya bisa dilakukan kembali apabila berdasarkan kajian epidemiologi masih ditemukan risiko penularan di masyarakat.
”Target cakupan sekurang-kurangnya adalah 95 persen untuk setiap putaran dan merata di setiap tingkatan, mulai dari desa, kecamatan, sampai kabupaten. Seluruh perangkat daerah serta partisipasi aktif dari seluruh masyarakat dibutuhkan dalam menyukseskan kegiatan (Sub-PIN Polio) ini,” kata Maxi.
Mutasi virus polio
Secara terpisah, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, kewaspadaan akan penularan polio perlu diperkuat, terutama setelah adanya laporkan kasus cVDPV2 (Circulating vaccine-derived poliovirus type 2). Sub-PIN Polio yang dilaksanakan saat ini juga menjadi respons dari temuan kasus cVDPV2 di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
”Vaccine-derived poliovirus adalah situasi di mana galur atau strain virus polio bermutasi dari galur atau strain yang ada di dalam virus polio dari vaksin yang diteteskan (vaksin polio oral/OPV). OPV mengandung virus polio yang dilemahkan yang bila masuk ke sistem pencernaan akan membentuk imunitas dengan pembentukan antibodi,” ujarnya.
Namun, Tjandra menambahkan, pada kondisi tertentu, galur atau strain dari virus di dalam vaksin OPV dapat secara genetik berubah atau bermutasi yang akhirnya dapat beredar di komunitas. Perubahan genetik itu semakin berisiko terjadi pada komunitas yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus polio serta kondisi kebersihan lingkungan dengan sanitasi yang buruk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, semakin rendah tingkat imunitas penduduk, akan semakin meningkatkan risiko peredaran ”vaccine-derived poliovirus”. Risiko perubahan genetik dari virus tersebut juga semakin besar.
”Program yang tepat harus dilakukan agar kejadian serupa (kasus lumpuh layuh akibat polio) tidak terjadi lagi di masa datang,” ucap Tjandra.