Iklan Politik Berpotensi Mengamplifikasi Penyebaran Hoaks
Iklan politik di media sosial dan arus utama dapat mengamplifikasi penyebaran hoaks menjelang Pemilu 2024. Pembaca sulit membedakan antara iklan dan jurnalistik. Konten digital politik juga berpengaruh terhadap penyebaran informasi sesat.
JAKARTA, KOMPAS — Iklan politik bertebaran di media sosial dan media arus utama menjelang Pemilu 2024. Namun, konten yang disajikan berpotensi mengamplifikasi penyebaran hoaks. Hal ini perlu diwaspadai karena tidak semua pembaca atau audiens bisa membedakan antara iklan politik dan produk jurnalistik.
Editorial Manager Indonesian Data Journalism Network (IDJN) Mawa Kresna mengatakan, influence operation atau operasi pengaruh menjelang Pilpres 2024 mempunyai tiga pola kerja. Mulai dari membuat konten kampanye yang direkayasa, memproduksinya secara masif, hingga mengamplifikasi penyebarannya lewat iklan di media sosial dan media arus utama.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Selain influence operation yang menggunakan hoaks dan penggiringan isu di media sosial, kami melihat iklan digital politik juga berpengaruh besar dalam penyebaran informasi sesat atau hoaks,” ujarnya dalam webinar ”Ikhtiar Mempersempit Ruang Gerak Penyebaran Hoaks di Media Sosial” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Google News Initiative, Selasa (16/1/2024).
Beriklan di media sosial, seperti Facebook dan Instagram, serta media arus utama dilakukan sejumlah kandidat untuk meraih dukungan pemilih dalam kontestasi politik. Konten-konten itu disajikan dalam beragam bentuk, seperti tulisan, gambar, infografik, dan video.
Strategi meraup dukungan publik melalui cara seperti ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Selain mengangkat narasi untuk membangun citra positif, tidak sedikit konten yang dibuat untuk menyudutkan rival politik.
”Konten (iklan) di media sosial disebarkan dengan target pembaca tertentu, usia tertentu, dan wilayah tertentu. Jadi, ada target yang sangat mikro karena dianggap lebih efektif,” katanya.
Baca juga: Penguatan Literasi Digital Membentengi Masyarakat dari Penyebaran Hoaks
Sayangnya, tidak semua konten digital politik teruji kebenarannya. Alhasil, orang yang mengakses konten tersebut berpeluang terpapar informasi yang menyesatkan.
Iklan politik juga disajikan di media-media arus utama, salah satunya lewat advertorial. Akhir tahun lalu, sejumlah media daring memuat advertorial tentang dukungan pejuang Wadas kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Sayangnya, tidak semua konten digital politik teruji kebenarannya. Alhasil, orang yang mengakses konten tersebut berpeluang terpapar informasi yang menyesatkan.
Kresna mengatakan, karena konten tersebut merupakan advertorial, tidak ada konfirmasi memadai terhadap klaim dukungan tersebut. Padahal, setelah ditelusuri, orang-orang yang menyatakan dukungan itu bukan warga Wadas.
”Ini cukup berbahaya karena pembaca kita sulit membedakan apakah ini advertorial atau berita sungguhan. Ini cara menyusup yang sangat halus bagi para capres,” ucapnya.
Kresna menambahkan, selain dalam isu politik, influence operation juga dilancarkan untuk berbagai isu lainnya, salah satunya kedatangan pengungsi Rohingya. Hal ini diawali dari penyebaran hoaks yang menyudutkan pengungsi asal Myanmar tersebut.
”Konten-konten hoaks diproduksi dan disebarkan secara masif. Kemudian menargetkan kelompok yang lemah, yaitu Rohingya. Sebab, dalam kondisi itu, mereka tidak punya kemampuan untuk memberikan klarifikasi atau counter wacana atas hoaks yang berkembang di media sosial,” tuturnya.
Baca juga: Hilang Nyawa karena Hoaks Merajalela
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Masduki menuturkan, untuk mengantisipasi penyebaran hoaks, tidak hanya membutuhkan literasi digital, tetapi juga menjaga jarak dari sumber-sumber hoaks tersebut. Mitigasinya semakin rumit karena konten dengan narasi manipulatif juga menyebar di media arus utama melalui iklan-iklan politik.
”Pendanaan iklan-iklan politik itu mungkin terhubung dengan pasangan calon nomor 1, 2, dan 3, atau partai politik. Ini bagian dari mobilisasi karena waktunya sudah sangat pendek menuju pilpres,” katanya.
Menurut Masduki, dibutuhkan perbaikan regulasi oleh pemerintah terkait moderasi konten. Selain itu, komunitas media dan jurnalis perlu membenahi kode etiknya.
”Terus melakukan kolaborasi kerja jurnalisme profesional. Apa pun situasinya, unit pemeriksa fakta perlu ditingkatkan terus wawasan dan keterampilannya,” ujarnya.