34 Pulau Kecil di Indonesia Terancam Kegiatan Pertambangan
Sebanyak 218 izin usaha pertambangan telah mengapling 34 pulau-pulau kecil di berbagai wilayah di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Kelestarian pulau-pulau kecil dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah itu terancam kegiatan industri ekstraktif, khususnya sektor pertambangan. Tercatat 218 izin usaha pertambangan mengapling 34 pulau-pulau kecil di berbagai wilayah di Indonesia.
Jumlah pulau kecil di Indonesia yang terancam kegiatan pertambangan tersebut terangkum dalam laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Jatam mencatat, total luas konsesi dari 218 izin usaha pertambangan (IUP) di 34 pulau kecil mencapai lebih dari 274.000 hektar.
Beberapa pulau kecil yang masih terancam kegiatan pertambangan di antaranya Pulau Sangihe (Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara), Pulau Bunyu (Bulungan, Kalimantan Utara), Pulau Wawonii (Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara), dan Pulau Gag (Raja Ampat, Papua Barat Daya).
Selain itu sejumlah pulau kecil lainnya yang terancam kegiatan pertambangan meliputi Pulau Gee (Halmahera Timur, Maluku Utara), Pulau Pakal (Halmahera Selatan, Maluku Utara), Pulau Doi (Halmahera Utara, Maluku Utara), dan Pulau Romang (Maluku Barat Daya, Maluku).
Kepala Divisi Hukum Jatam Muhammad Jamil mengemukakan, dampak lingkungan dan sosial ekspansi pertambangan dirasakan di pulau-pulau kecil. Bahkan, banyak warga yang mendiami pulau itu terpaksa pindah atau mengungsi karena pertambangan mencemari area sekitar tempat tinggalnya.
”Pulau kecil itu memiliki daratan terbatas sehingga warga bingung harus pindah ke mana. Padahal, di beberapa tempat, seperti di Wawonii, merupakan identitas karena jadi tempat tinggal suku Wawonii,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Masa Depan Pulau-pulau Kecil dalam Pusaran Pemilu 2024”, Selasa (16/1/2024).
Menurut Jamil, saat ini penyelamatan pulau-pulau kecil di Indonesia dari kegiatan industri ekstraktif mendesak dilakukan. Sebab, pulau-pulau kecil amat rentan terhadap berbagai dampak lingkungan dan sosial dari pertambangan, termasuk dampak perubahan iklim yang dipicu kegiatan industri ekstraktif.
Pulau kecil itu memiliki daratan terbatas sehingga warga bingung harus pindah ke mana.
Selain itu, upaya penyelamatan sangat penting karena pulau kecil merupakan bagian dari kedaulatan negara. Selama ini eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan tak terlepas dari keberadaan pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara lain.
Baca juga: Tolak Uji Materiil UU Wilayah Pesisir, Lindungi Pulau-pulau Kecil
Meski terancam kegiatan pertambangan, pulau kecil belum menjadi fokus kebijakan tiap pasangan calon presiden-wakil presiden yang berkontestasi dalam Pemilihan Presiden 2024. Bahkan, visi-misi setiap capres-cawapres berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dari penelusuran Jatam terhadap dokumen visi-misi setiap capres-cawapres, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menjadi pasangan yang paling banyak menyebut kata pesisir dan pulau kecil, yakni sebanyak 27 kali.
Sementara penyebutan kata pesisir dan pulau kecil dari dua capres-cawapres lainnya lebih sedikit, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebanyak lima kali dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD hanya empat kali.
”Dalam konferensi internasional, pemerintah selalu berkomitmen mengatasi perubahan iklim dan mencegah naiknya tinggi muka air laut. Jadi, kalau memang komitmen ini serius, seharusnya ke depan tidak ada lagi pertambangan di pulau keci,” tutur Jamil.
Privatisasi pulau kecil
Ancaman terhadap pulau-pulau kecil juga ditunjukkan dengan upaya privatisasi. Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), hingga pertengahan tahun 2023, ditemukan setidaknya 226 pulau kecil yang diprivatisasi di seluruh Indonesia.
Praktik privatisasi ini antara lain berupa transaksi jual-beli yang berujung pada pengelolaan dan pemanfaatan pulau oleh perseorangan atau perusahaan tertentu. Tujuan transaksi ini beragam, mulai dari investasi pariwisata, konservasi, hingga pertambangan.
Dua provinsi dengan privatisasi pulau-pulau kecil terbanyak adalah Maluku Utara (83 pulau) dan DKI Jakarta (78 pulau). Privatisasi pulau kecil di Maluku Utara terjadi Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan.
Sementara pulau yang diprivatisasi di DKI Jakarta mulai dari Pulau Pari, Pulau Lipan, Pulau Paniki, Pulau Sebaru Kecil, hingga Pulau Sebaru Besar.
Baca juga: Privatisasi Pulau-pulau Kecil Rentan Picu Konflik dan Ancam Ekologi
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawatimenambahkan, kasus privatisasi dan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil hampir terjadi di seluruh wilayah. Ironisnya, ruang pesisir dan pulau kecil hanya menjadi komoditas politik bagi para capres-cawapres dalam setiap pemilihan umum.
”Hal yang dibutuhkan nelayan dan masyarakat pulau kecil adalah komitmen agar mereka tetap bisa melaut tanpa berhadapan dengan kapal-kapal pengangkut batubara. Ini lebih dibutuhkan dibandingkan bagi-bagi alat modern. Mereka membutuhkan teknologi, tetapi perlu disiapkan ruang bagi mereka,” paparnya.