Risiko Eksplorasi Panas Bumi Perlu Ditanggung Pemerintah
Tantangan dan kendala pengembangan energi panas bumi muncul dari sektor ekonomi, sosial, hingga lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan transisi energi, khususnya dari energi panas bumi, perlu dioptimalkan agar mendukung target net zero emission 2060. Namun, tantangan dan risiko yang dapat muncul dari pengembangan energi panas bumi harus tetap diperhatikan dan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengemukakan, energi panas bumi dapat dioptimalkan sebagai upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan mendukung target emisi nol bersih 2060. Dari hasil riset Reforminer, mengoptimalkan potensi panas bumi di Indonesia dapat menurunkan emisi sebesar 183 juta ton setara karbon dioksida.
Pengembangan energi panas bumi juga memiliki sejumlah keunggulan, seperti tidak tergantung cuaca dan menghasilkan energi yang lebih besar. Energi panas bumi juga tidak memerlukan lahan yang luas dan bebas dari risiko kenaikan harga energi fosil.
”Namun, pengembangan industri panas bumi memiliki banyak sekali tantangan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Strategi Penciptaan Nilai Tambah Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060” yang diselenggarakan Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).
Tantangan dan kendala pengembangan energi panas bumi muncul dari sektor ekonomi, sosial, hingga lingkungan. Dari aspek birokrasi, izin pengembangan panas bumi bisa bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi. Di sisi lain, eksplorasi berisiko tinggi karena kepastian potensi cadangan dan mutu uap belum jelas.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha, menyepakati pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak lepas dari risiko dan permasalahan. Beberapa di antaranya terkait dengan perizinan, bencana alam, paparan gas beracun, pencemaran lingkungan, kecelakaan kerja, kendala sosial, pandemi, hingga ada kesenjangan tarif yang memengaruhi keekonomian proyek.
Dampak pengembangan dan eksplorasi PLTP juga terangkum dalam laporan tapak tambang panas bumi yang disusun Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2022. Jatam menyoroti pengembangan PLTP tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, tetapi juga kesehatan warga di sekitar lokasi eksplorasi.
Salah satu contoh nyata dampak eksplorasi tersebut ditunjukkan dari aktivitas PLTP Sorik Merapi di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Beberapa tahun terakhir, masyarakat di sekitar lokasi kerap mengalami gejala sesak napas dan keracunan karena diduga menghirup kebocoran gas hidrogen sulfida dari aktivitas PLTP (Kompas.id, 9/11/2022).
Menurut Satya, guna mengurangi risiko pengembangan PLTP, maka harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. Kemudian perlu juga keselarasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi khususnya terkait izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin kehutanan, dan perizinan sumber daya alam.
”Bentuk kontrak benar-benar dapat berubah bila kita bisa membuat kompensasi bahwa risiko eksplorasi ini ditanggung oleh pemerintah,” tuturnya.
Strategi transisi energi
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP-KEN), pemerintah menegaskan untuk menggantikan penggunaan energi final nonlistrik di semua sektor.
Kemudian dalam melaksanakan pengembangan sumber daya energi terbarukan, pemerintah pusat dan daerah juga akan mengalokasikan lahan serta menyediakan fasilitas.
Selain terus memacu agar harga energi baru terbarukan lebih kompetitif, kata Satya, Indonesia melakukan strategi transisi energi berupa dekarbonisasi energi fosil. Semua upaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi, pembangunan berkelanjutan serta rendah karbon yang disertai ketahanan iklim.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi tidak menampik bahwa pengembangan industri energi panas bumi di Indonesia masih sangat lamban.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, pemanfaatan energi panas bumi baru dimanfaatkan sebesar 2,35 gigawatt atau 10,19 persen dari total potensi yang ada, yakni 23,06 gigawatt.
Sebagai upaya mengakselerasi potensi ini, Julfi menekankan pentingnya kolaborasi antara industri dan pemerintah. mengubah bisnis model yang sesuai dengan isu saat ini. Selain itu, perlu perubahan model bisnis, salah satunya dengan memperbarui teknologi dalam pemanfaatan panas bumi.