logo Kompas.id
HumanioraJebakan Algoritma di Tengah...
Iklan

Jebakan Algoritma di Tengah Banjir Berita ”Politainment”

Berita politik bernuansa hiburan meramaikan pemberitaan media menjelang Pemilu 2024. Konten substantif pun tergusur.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 4 menit baca
Beberapa wartawan media<i> online</i> di salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur sedang bekerja dengan memanfaatkan Wi-Fi milik koperasi di daerah itu, Rabu (23/5/2020).
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Beberapa wartawan media online di salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur sedang bekerja dengan memanfaatkan Wi-Fi milik koperasi di daerah itu, Rabu (23/5/2020).

Menjelang Pemilu 2024, berita politik bernuansa hiburan (politainment) membanjiri media massa di Tanah Air. Konten-konten politik dibungkus hiburan yang miskin gagasan substantif. Media pun rawan jatuh dalam jebakan algoritma karena terbuai mengejar jumlah audiens (traffic).

Penyebaran konten politainment semakin masif memasuki tahun politik. Tak hanya di media massa, terutama daring, konten yang mengemas topik politik dalam format infotainment atau hiburan juga ramai didistribusikan di media sosial.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Debat calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan presiden tahun 2024 menjadi bahan bagi jurnalis atau media dalam memproduksi berita. Sebab, ajang ini menyedot perhatian masyarakat lantaran menyangkut suksesi kepemimpinan bangsa.

Namun, pascadebat tersebut, tidak sedikit media lebih tertarik memproduksi berita yang ”lari” dari substansi perdebatan.

Alih-alih mengelaborasi gagasan capres dan cawapres atau mendalami rekam jejak kepemimpinan mereka, sejumlah media justru tergiur membuat konten dengan mencampurkan unsur hiburan nan remeh-temeh.

Tiga calon presiden, yaitu Prabowo Subianto (kiri), Ganjar Pranowo (tengah), dan Anies Baswedan (kanan), dalam Debat Calon Presiden Pemilu 2024 Putaran Ketiga di Istora Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (7/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga calon presiden, yaitu Prabowo Subianto (kiri), Ganjar Pranowo (tengah), dan Anies Baswedan (kanan), dalam Debat Calon Presiden Pemilu 2024 Putaran Ketiga di Istora Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (7/1/2024).

Banyak media menyoroti gaya atau reaksi kandidat, salah satunya dengan berjoget, saat merespons komentar atau pertanyaan dari kandidat lain. Ramai pula pemberitaan tentang kehidupan personal para calon yang jauh dari kepentingan publik.

Baca juga: Jaga Kepercayaan Publik di Tahun Politik

Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio (KBR) Citra Dyah Prastuti mengatakan, banyaknya konten politik berbalut hiburan menjelang pemilu tidak terlepas dari ekosistem media dalam mengejar jumlah audiens. Alhasil, muncul banyak berita yang tidak substantif.

Acuan mesin algoritma merangsang media membuat berita bernuansa politainment. Hal itu patut diantisipasi karena berpotensi menjauhkan peran media dalam mengedukasi masyarakat.

”Jadi, media jatuh pada perangkap-perangkap bernama algoritma dan traffic. Inilah kenyataan yang kita hadapi sekarang,” ujarnya dalam diskusi daring ”Menghindari Politainment Berita Pemilu” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, di Jakarta, Jumat (12/1/2024).

Ekosistem media turut melanggengkan praktik politainment. Media kerap bekerja di antara logika bisnis dan kepentingan publik. Tak jarang, logika bisnis ditempatkan di atas kepentingan publik demi kelangsungan industri media.

Peneliti politik dan media di Amerika Serikat, David Schultz, mendefinisikan politainment sebagai strategi komunikasi politik kontemporer yang menggabungkan politik dan hiburan atau entertainment.

Sementara Justus Nieland membuat dua definisi. Pertama, ”hiburan politik” yang membungkus topik politik dalam format hiburan. Kedua, ”politik yang menghibur” di mana aktor politik memakai strategi hiburan untuk mendongkrak popularitasnya.

Tidak sekadar sensasi

Jumlah audiens telah menjadi indikator pemberitaan di platform daring. Tren jurnalisme umpan klik (clickbait) pun mengemuka. Hal ini berpotensi menggusur konten substansial yang diperlukan masyarakat sebagai pertimbangan menentukan pilihan politiknya.

Menurut Citra, jurnalis dan media perlu menggugat dirinya sendiri dalam mengedukasi masyarakat lewat pemberitaan. Dengan begitu, konten yang disajikan tidak sekadar mengutamakan sensasi dan hal yang tidak substantif demi diakses banyak orang agar jumlah audiens atau traffic tinggi.

Iklan

”Tidak bisa dimungkiri bahwa ekosistem media saat ini bekerja dengan cara begitu. Sayangnya, ketika traffic tinggi, tidak memberikan penghargaan pada kualitas pemberitaan,” ujarnya.

Berita pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 dalam tampilan di media sosial di telepon pintar. Tampilan fitur Instant Article di layar ponsel sebelah kiri, sementara fitur Accelerated Mobile Pages (AMP) ada di layar ponsel sebelah kanan, dua teknologi yang dikembangkan secara terpisah oleh Facebook dan Google. 16 Maret 2016.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Berita pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 dalam tampilan di media sosial di telepon pintar. Tampilan fitur Instant Article di layar ponsel sebelah kiri, sementara fitur Accelerated Mobile Pages (AMP) ada di layar ponsel sebelah kanan, dua teknologi yang dikembangkan secara terpisah oleh Facebook dan Google. 16 Maret 2016.

Citra menambahkan, media bekerja dengan mempertimbangkan nilai berita (news value). Oleh karena itu, ia berharap agar jurnalis dan media lebih memprioritaskan pemberitaan yang substantif dan bermanfaat bagi publik.

”Ada sesuatu yang perlu kita pecahkan. Bagaimana memastikan karya jurnalistik yang dibuat secara berat dan mungkin juga mahal bisa menjangkau banyak audiens. Untuk itu, mari kita sama-sama mendorong literasi media agar lebih baik,” jelasnya.

Dalam bukunya berjudul Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital (2023), Ketua Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Agus Sudibyo menuliskan, transformasi digital melahirkan model bermedia yang baru.

Adaptasi yang dilakukan para pelaku media dan wartawan di Indonesia terhadap model bermedia tersebut telah melahirkan sejumlah konsekuensi.

Salah satu konsekuensi yang ditekankan pada buku itu adalah apropriasi trafik sebagai paradigma pemberitaan. Terjerembap dalam paradigma ini, banyak media terpola untuk menjalankan jurnalisme berkualitas rendah dan sangat longgar secara etika jurnalistik.

Kamera jurnalis televisi saat merekam Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana memberikan keterangan pers terkait putusan Mahkamah Agung atas hukuman seumur hidup terhadap Ferdy Sambo di Kejagung, Jakarta, Rabu (9/8/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Kamera jurnalis televisi saat merekam Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana memberikan keterangan pers terkait putusan Mahkamah Agung atas hukuman seumur hidup terhadap Ferdy Sambo di Kejagung, Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Program Officer Media dan Demokrasi Remotivi, Surya Putra menuturkan, menjelang Pilpres 2024, banyak media mengangkat isu tidak substantif. Padahal, dengan memproduksi konten-konten bermutu, media bisa ”memaksa” kandidat untuk memperdebatkan hal-hal yang lebih esensial.

Antara bisnis dan kepentingan publik

Ekosistem media turut melanggengkan praktik-praktik politainment. Media kerap bekerja di antara logika bisnis dan kepentingan publik. Tidak jarang, logika bisnis justru ditempatkan di atas kepentingan publik demi kelangsungan industri media tersebut.

”Itu yang membuat mengapa budaya jurnalisme seperti ini sangat subur. Sebab, genre pemberitaan yang santai dan menghibur dianggap lebih mendatangkan banyak klik yang nanti ditransaksikan dalam profit,” ujarnya.

Selain itu, memproduksi berita nonsubstantif cenderung membutuhkan sumber daya, waktu, dan biaya lebih sedikit. Sebaliknya, untuk membedah gagasan dan rekam jejak kandidat capres dan cawapres akan menguras sumber daya yang besar.

Baca juga: Pemilih Muda dan Buaian ”Politainment”

Pengendara mobil membayar e-tol terlihat dari layar kamera seorang jurnalis yang meliput di Pos Jasa Marga, Gerbang Tol Cikampek Utama, Karawang, Jawa Barat, Minggu (30/4/2023).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Pengendara mobil membayar e-tol terlihat dari layar kamera seorang jurnalis yang meliput di Pos Jasa Marga, Gerbang Tol Cikampek Utama, Karawang, Jawa Barat, Minggu (30/4/2023).

Tingginya beban kerja jurnalis juga turut berpengaruh. Target produktivitas jurnalis media daring di Tanah Air bisa mencapai 10 berita per hari.

”Bagaimana mau berekspektasi jurnalis membuat liputan yang substantif seputar pilpres. Jadi, jurnalis dituntut memproduksi berita sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya dan mendatangkan klik sebanyak-banyaknya,” ungkapnya.

Menurut Surya, masifnya berita bernuansa politainment akan mereduksi hal-hal penting dalam topik politik. Alhasil, perdebatan politik tidak lagi menekankan program dan data, kredibilitas, serta kapabilitas, tetapi lebih mengutamakan citra dan sekadar menjadi tontonan hiburan.

”Dampak lainnya adalah tidak terciptanya basis pemilih yang rasional. Para pemilih atau warga akan terjebak dalam citra, kesan, dan impresi semata,” ujarnya.

Editor:
EVY RACHMAWATI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000