Alokasi Belanja Negara Belum Optimal Dukung Pembangunan Kesehatan
Reformasi anggaran belanja negara yang tidak produktif diperlukan. Anggaran itu bisa dialihkan untuk bidang kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas kesehatan masyarakat merupakan aspek penting untuk mendukung capaian target Indonesia Emas pada tahun 2045. Namun, komitmen negara melalui alokasi anggaran belanja pada bidang tersebut masih rendah. Reformasi anggaran perlu dilakukan dengan merealokasi belanja yang tidak produktif.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diolah dari data Bank Dunia dan Kementerian Keuangan menunjukkan, belanja negara untuk kesehatan di Indonesia paling rendah dibandingkan dengan negara lain. Belanja Indonesia untuk kesehatan hanya 6,9 persen.
Hal itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat (38,0 persen), China (27,5 peren), Australia (21,9 persen), Jerman (21,6 persen), Jepang (20,4 persen), Inggris (19,4 persen), dan Korea Selatan (19,5 persen).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengutarakan hal itu dalam kunjungannya ke kantor redaksi Harian Kompas di Jakarta, Jumat (12/1/2024).
Suharso menyatakan, komposisi belanja pemerintah kini masih didominasi belanja tidak produktif dan tidak berorientasi jangka panjang. Belanja tersebut meliputi, antara lain, belanja barang, belanja bunga utang, dan belanja kompensasi atau subsidi, seperti belanja untuk subsidi energi.
”Reformasi pada subsidi energi untuk alokasi yang lebih tepat sasaran perlu diakselerasi. Terdapat potensi ruang fiskal dari adanya relaksasi subsidi energi sebesar Rp 208,1 triliun yang bisa dialihkan untuk mengatasi stunting (tengkes),” ujarnya.
Tengkes
Berdasarkan perhitungan Bappenas, keseluruhan perhitungan anggaran untuk intervensi penanganan tengkes di Indonesia sebesar Rp 185,2 triliun. Anggaran tersebut meliputi bantuan gizi untuk anak balita, bantuan gizi untuk ibu hamil, pemberian makan siang gratis, dan pemberian susu gratis.
Adapun sasaran yang menjadi perhitungan dalam pemberian bantuan tersebut hanya pada penduduk miskin dan rentan.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menambahkan, perhitungan bantuan gizi untuk anak balita diberikan dengan biaya masing-masing Rp 20.000 per hari untuk 10 juta anak. Dengan demikian, total kebutuhan biaya bantuan untuk gizi anak balita sebesar Rp 75,2 triliun dalam setahun.
Terdapat potensi ruang fiskal dari adanya relaksasi subsidi energi sebesar Rp 208,1 triliun yang bisa dialihkan untuk mengatasi ’stunting’.
Jumlah sasaran anak berusia di bawah lima tahun atau balita tersebut diasumsikan dari data registrasi sosial ekonomi tahun 2023 yang menunjukkan 34 persen keluarga miskin dan rentan di Indonesia. Adapun jumlah anak balita, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 30,2 juta anak.
Sementara bantuan gizi untuk ibu hamil diperkirakan Rp 9,2 triliun dalam setahun. Bantuan itu diberikan sebesar Rp 20.000 per ibu hamil dalam satu periode kehamilan sekitar 280 hari. Adapun jumlah ibu hamil yang masuk dalam kelompok miskin dan rentan sekitar 1,4 juta orang.
Terkait dengan pemberian makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah, anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 75,6 triliun untuk makan siang gratis dan Rp 25,8 triliun untuk susu gratis.
Perhitungan itu didapat dari jumlah efektif hari sekolah setahun 255 hari dikalikan dengan harga makan siang ataupun harga susu serta jumlah anak sekolah pada kelompok miskin dan rentan. Jumlah anak sekolah pada kelompok itu 57,9 juta anak, asumsi harga makan siang Rp 15.000, dan harga susu Rp 5.000.
Meskipun begitu, menurut Suharso Monoarfa, intervensi pencegahan tengkes yang paling efektif dilakukan pada calon ibu sampai pada ibu melahirkan. Pada fase tersebut, 50 persen risiko tengkes bisa dicegah. Selain efektif untuk mencegah tengkes pada anak, intervensi pada masa itu mencegah risiko kematian ibu.
Data angka kematian ibu di Indonesia 190 per 100.000 kelahiran hidup. Kondisi itu bisa disebabkan oleh kondisi anemia pada ibu hamil, paparan rokok tinggi, serta kurang gizi. ”Negara dengan AKI (angka kematian ibu) yang tinggi biasanya angka stunting-nya juga tinggi,” kata Suharso.
Dalam berbagai riset juga disebutkan, pencegahan tengkes akan maksimal dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari masa kehamilan sampai anak berusia dua tahun.
Ketua Indonesia Sport Nutrition Association Rita Ramayulis menuturkan, kondisi tengkes sulit diperbaiki jika melewati 1.000 hari pertama kehidupan. Perbaikan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) bisa optimal pada ibu hamil, ibu menyusui, bayi baru lahir, sampai anak berusia dua tahun (Kompas, 9 Juli 2020).
Suharso menambahkan, intervensi lain untuk mendukung pembangunan sistem kesehatan di Indonesia, yakni penguatan fasilitas kesehatan rujukan. Setidaknya diperlukan 80 rumah sakit rujukan nasional di Indonesia, tetapi baru disetujui pembangunan 40 rumah sakit. Sebagian anggaran didapatkan dari bantuan luar negeri.
Karena itu, ia berharap, komitmen pemerintah, termasuk pemerintah yang akan datang, bisa makin fokus pada kebutuhan lebih sensitif dan strategis untuk pembangunan bangsa.
Reformasi anggaran subsidi energi memang akan menjadi keputusan tidak populis. Akan tetapi, keputusan tersebut dinilai lebih strategis untuk pembangunan di masa depan untuk mendukung capaian generasi emas tahun 2045.
Keputusan mengurangi subsidi energi tak akan serta-merta menambah angka kemiskinan di Indonesia. ”Kita hanya mengurangi subsidi dari sasaran tidak tepat. Dengan mengalihkan anggaran untuk penurunan angka stunting dan AKI (angka kematian ibu) akan lebih strategis, sensitif, dan lebih tepat,” ucapnya.