Salah Kaprah Rokok Elektrik untuk Berhenti Merokok
Rokok elektrik tidak terbukti dapat membantu berhenti merokok. Dampak kesehatan yang lebih buruk justru bisa terjadi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan rokok elektrik terbukti tidak dapat membantu seseorang untuk berhenti merokok. Rokok elektrik pun tidak memenuhi syarat sebagai alat bantu berhenti merokok. Dampak kesehatan yang amat berbahaya justru bisa mengintai perokok elektrik.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, di Jakarta, Selasa (9/1/2024), mengatakan, alat bantu terapi untuk berhenti merokok setidaknya harus memenuhi delapan syarat terapi pengganti nikotin. Rokok elektrik telah terbukti tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
”Syarat pertama, terapi pengganti nikotin untuk berhenti merokok harus bisa menghentikan penggunaan rokok konvensional. Namun, faktanya, pengguna rokok elektrik juga menggunakan rokok konvensional. Angka dual user (pengguna rokok elektrik dan konvensional) di Indonesia malah tinggi di Indonesia,” tuturnya.
Hasil studi dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) pada 2018 mengungkapkan, dari 11,8 persen remaja pengguna rokok elektrik sebanyak 51 persen di antaranya merupakan pengguna ganda atau pengguna rokok konvensional dan rokok elektrik. Selain itu, studi dari Universitas Indonesia pada 2019 juga menemukan bahwa 61,5 persen mahasiswa pengguna rokok elektrik juga menggunakan rokok konvensional.
Syarat pertama, terapi pengganti nikotin untuk berhenti merokok harus bisa menghentikan penggunaan rokok konvensional. Namun, faktanya, pengguna rokok elektrik juga menggunakan rokok konvensional.
Agus menyampaikan, syarat berikutnya yang juga tidak dipenuhi sebagai terapi berhenti merokok adalah rokok elektrik tidak dapat mencegah atau mengontrol kondisi putus nikotin (withdrawal). Setelah penggunaan selama tiga bulan, seharusnya dilakukan evaluasi sehingga penggunaannya bisa dihentikan. Akan tetapi, rokok elektrik selama ini digunakan terus-menerus.
Syarat lain yang tidak dipenuhi adalah mengurangi atau menghapus risiko konsumsi rokok. Pada rokok elektrik, dampak buruk bagi kesehatan masih ditemui, bahkan sama buruknya dengan penggunaan rokok konvensional. Kadar nikotin yang seharusnya dikurangi secara bertahap pun tidak dilakukan oleh pengguna rokok elektrik. Pada sejumlah kasus, kadar nikotin pada penggunaan rokok elektrik justru meningkat.
Oleh karena itu, menurut Agus, alih-alih membantu orang untuk berhenti merokok, penggunaan rokok elektrik menjadi masalah baru di masyarakat. Mengutip data dari Statista pada Januari-Maret 2023, Indonesia menempati peringkat pertama pengguna rokok elektrik di dunia. Tercatat setidaknya 25 persen masyarakat Indonesia pernah menggunakan rokok elektrik. Itu lebih tinggi dari Swiss (16 persen), Amerika Serikat (15 persen), Inggris (13 persen), dan Kanada (13 persen).
Prevalensi pengguna rokok elektrik di Indonesia pun meningkat secara signifikan. Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) di Indonesia menunjukkan prevalensi perokok elektrik pada 2011 sebesar 0,3 persen, sementara pada 2021 prevalensi perokok elektrik meningkat 10 kali lipat menjadi 3 persen.
Peningkatan yang lebih besar ditemukan pada remaja. Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) pada 2016 menunjukkan, prevalensi perokok elektrik pada remaja usia 10-18 tahun sebesar 1,2 persen. Jumlah itu meningkat menjadi 10,9 persen pada 2018 menurut data Riset Kesehatan Dasar.
Pengendalian rokok elektrik
Agus menuturkan, pemerintah harus lebih tegas dalam mengatur penggunaan rokok elektrik di Indonesia. Aturan yang tegas seharusnya bisa dilakukan dengan melarang peredaran rokok elektrik. Aturan itu sudah berlaku di Singapura dan Thailand.
”Pengendalian rokok elektrik kalau bisa dilakukan dengan pelarangan. Namun, jika tidak bisa, rokok elektrik harus dikendalikan secara tegas dengan pengendalian tembakau sesuai rekomendasi dari WHO,” katanya.
Agus menyampaikan, pemerintah telah menuangkan aturan mengenai rokok elektrik melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Diharapkan, aturan turunan dari undang-undang tersebut bisa segera diterbitkan dengan memuat aturan yang lebih detail mengenai pengendalian rokok elektrik.
Setidaknya, aturan yang harus termuat adalah upaya untuk mencegah orang terdampak rokok elektrik, penyediaan fasilitas berhenti merokok, peringatan bahaya kesehatan pada kemasan rokok elektrik, pengenaan cukai pada produk rokok elektrik, serta mengatur iklan dan promosi dari rokok elektrik.
Menurut Agus, aturan yang tegas mengenai pengendalian rokok elektrik sangat mendesak. Banyak masyarakat memiliki persepsi yang keliru mengenai rokok elektrik. Sejumlah masyarakat menganggap rokok elektrik lebih tidak adiktif dibandingkan dengan rokok konvensional. Selain itu, ada juga masyarakat yang menilai bahwa rokok elektrik tidak menyebabkan kanker.
”Padahal, faktanya, rokok elektrik juga mengandung nikotin yang bisa menyebabkan adiksi, kandungan karsinogen yang menyebabkan kanker, serta bahan toksik yang menyebabkan iritasi dan inflamasi (peradangan). Jadi, sekalipun rokok elektrik tidak mengandung tar, bahaya kesehatan tetap besar, baik sebagai penyebab penyakit jantung, paru, maupun kanker,” tutur Agus.
Cukai
Kementerian Keuangan telah memberlakukan pajak rokok atas rokok elektrik mulai 1 Januari 2024. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro dalam siaran pers yang terbit pada 29 Desember 2023 mengatakan, aturan pemberlakuan pajak rokok atas rokok elektrik menjadi salah satu upaya untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat.
Dalam jangka panjang, penggunaan rokok elektrik dapat berpengaruh pada kesehatan. Bahan yang terkandung dalam rokok elektrik pun termasuk dalam barang konsumsi yang perlu dikendalikan.
Diharapkan pula melalui penerapan cukai pada rokok elektrik, penerimaan cukai hasil tembakau dari rokok elektrik bisa meningkat. Pada 2023, penerimaan hanya sebesar Rp 1,75 triliun atau hanya sebesar 1 persen dari total penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) dalam setahun.