Melestarikan Arsitektur Tradisional untuk Masa Depan
Arsitektur tradisional dapat digunakan untuk menjawab kebutuhan teknologi hunian di masa depan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah rumah adat di berbagai daerah terus menyusut tergerus modernisasi. Pelestarian kekayaan arsitektur tradisional mendesak dilakukan karena menyimpan segudang pengetahuan yang berguna bagi kehidupan di masa depan.
Arsitektur tradisional bukan sebatas ekspresi seni dan teknik bangunan, melainkan juga cerminan tatanan sosial masyarakat. Bahkan, tidak jarang rumah adat Nusantara berkaitan dengan sistem kekerabatan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Ketua Pelaksana Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia 2023: Tanah Karo, Daniella Eleora, mengatakan, kekayaan pengetahuan dan budaya yang tersimpan dalam arsitektur tradisional masih sering diabaikan. Penggantian rumah adat menjadi bangunan modern tidak terbendung. Rumah adat yang masih bertahan juga banyak yang rusak.
”Banyak yang tidak peduli dan hanya melihatnya sebagai bangunan. Padahal, rumah adat harus tetap ada karena sangat berguna bagi kehidupan di masa depan,” ujarnya dalam pameran ”Membangun Jabu, Rajut Kebersamaan” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Daniella mengatakan, arsitektur tradisional bisa digunakan untuk menjawab kebutuhan teknologi hunian di masa depan. Sejumlah rumah adat mempunyai sistem pendinginan pasif atau passive cooling dengan mengatur ukuran jendela atau bagian sirkulasi udara. Dengan begitu, udara di dalam rumah tidak panas meski tanpa mesin pendingin ruangan.
Selain itu, banyak rumah adat menggunakan fondasi kayu dengan sistem pasak. Hal ini dapat meminimalkan kerusakan saat diguncang gempa. Dalam beberapa kejadian gempa, korban meninggal dan mengalami luka-luka dikarenakan tertimpa reruntuhan bangunan beton.
”Rumah tradisional justru menerapkan prinsip arsitektur berkelanjutan. Sayangnya, banyak orang menganggap berkelanjutan itu harus modern. Padahal, untuk bergerak ke depan, kita juga harus belajar dari masa lalu,” ucapnya.
Daniella berharap semakin banyak pihak yang peduli melestarikan rumah adat Nusantara. Sebab, hal itu bukan sekadar pengetahuan arsitektur, melainkan juga kekayaan budaya yang harus dijaga agar tidak punah.
Sejumlah rumah adat mempunyai sistem pendinginan pasif atau passive cooling dengan mengatur ukuran jendela atau bagian sirkulasi udara. Dengan begitu, udara di dalam rumah tidak panas meski tanpa mesin pendingin ruangan.
”Pemakaiannya tentu bisa menyesuaikan. Kekayaan rumah adat harus dipertahankan. Jangan sampai generasi mendatang tidak mengenalnya lagi. Jika arsitektur tradisional ini hilang, adat dan budayanya juga terancam terputus,” katanya.
Siwaluh Jabu
Pameran ”Membangun Jabu, Rajut Kebersamaan” menampilkan dokumentasi arsitektur vernakular di Tanah Karo, terutama rumah adat Karo yang disebut Siwaluh Jabu. Selain dokumentasi foto, pameran yang berlangsung pada 8-21 Januari 2024 ini juga menampilkan maket Siwaluh Jabu dengan berbagai tipe.
Daniella menuturkan, ekskursi di Tanah Karo dilakukan di Desa Dokan dan Desa Pangambatan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, pada Juli-Agustus 2023. Pihaknya menemukan beberapa perubahan komponen bangunan dan penggunaan rumah adat tersebut.
Atap Siwaluh Jabu yang semula berbahan ijuk diganti menggunakan seng. Kondisi di dalam rumah panggung yang aslinya tanpa sekat juga telah ditambah sekat. Namun, struktur dinding dan atap masih mempertahankan orisinilitasnya.
”Sesuai namanya, rumah ini awalnya dipakai untuk delapan keluarga. Namun, dalam perkembangannya terjadi penyesuaian penggunaannya. Saat ini ada yang ditinggali oleh empat keluarga,” katanya.
Ekskursi ini merupakan program tahunan Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik UI. Program tersebut berlangsung sejak 1965 dan bertujuan untuk mendokumentasikan arsitektur vernakular Indonesia yang kemudian diolah menjadi buku, film, dan bentuk lainnya.
”Dengan pameran ini, kami berharap semakin banyak pihak yang bergerak untuk melestarikan rumah adat. Ini bagian dari kekayaan budaya yang semestinya kita jaga bersama,” ucapnya.
Pameran ”Membangun Jabu, Rajut Kebersamaan” tidak cuma menarik perhatian pengunjung dari kalangan arsitek dan komunitas masyarakat Karo. Pengunjung dari sejumlah daerah di Tanah Air juga mengapresiasi pameran itu sebagai salah satu cara mengenalkan budaya bangsa.
”Arsitektur rumah adat merupakan bagian dari pengetahuan tradisional. Penelitian terhadap rumah adat Nusantara sebaiknya dipamerkan seperti ini sehingga masyarakat lebih mudah untuk mengenal dan mempelajarinya,” ujar Mery (32), pengunjung asal Manado, Sulawesi Utara.
Mery berharap pendokumentasian arsitektur tradisional di Tanah Air dapat dilakukan lebih masif. Namun, hal ini perlu dilengkapi dengan narasi budaya yang melekat pada arsitektur tersebut.