logo Kompas.id
HumanioraVisi-Misi Capres: Yang Tua,...
Iklan

Visi-Misi Capres: Yang Tua, yang Selalu Terlupa

Populasi Indonesia menua. Pada 2045, 1 dari 5 penduduk ialah lansia. Namun, visi kelanjutusiaan calon presiden terbatas.

Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
· 11 menit baca
Warga lansia yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki antre menunggu giliran di pos kesehatan Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (5/1/2023). Mereka terus menggunakan masker demi melindungi diri dari abu vulkanik.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Warga lansia yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki antre menunggu giliran di pos kesehatan Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (5/1/2023). Mereka terus menggunakan masker demi melindungi diri dari abu vulkanik.

Meski ada dua orang lanjut usia dan tiga orang pralanjut usia dari enam calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024, pembahasan isu kelanjutusiaan dalam visi, misi, dan program kerja mereka sangat terbatas. Padahal, sejak 2021, Indonesia sudah masuk negara dengan populasi menua. Tanpa persiapan dari sekarang, lonjakan jumlah lansia ini akan membebani negara.

”Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050” memperkirakan ada 32,42 juta penduduk lanjut usia (lansia) berumur lebih dari 60 tahun pada 2024 atau 11,5 persen dari total penduduk Indonesia. Sementara jumlah penduduk pralansia berumur 45-59 tahun ada 51,38 juta orang. Jumlah lansia Indonesia itu hampir menyamai seluruh penduduk Malaysia. Pada 2045, Indonesia akan memiliki 65,82 juta lansia atau 1 dari 5 penduduk.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

”Sebentar lagi kita akan menghadapi bonus demografi tahap kedua, yaitu saat rasio ketergantungan meningkat lagi setelah mencapai titik terendah. Naiknya rasio ketergantungan itu dipicu oleh meningkatnya jumlah lansia,” kata Guru Besar Geografi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sukamdi, Sabtu (6/1/2024).

Rasio ketergantungan yang menunjukkan besaran jumlah penduduk tidak produktif yang ditanggung penduduk produktif berumur 15-65 tahun mencapai titik terendah pada 2020 sebesar 44,33 persen. Setelah itu, rasio ketergantungan terus naik dan diprediksi mencapai 45,02 pada 2025. Rasio ketergantungan akan mencapai 50,30 pada 2041, yang menandai akhir masa bonus demografi.

https://cdn-assetd.kompas.id/daxhuIWpZhVx-qmqRnr0i8hOg5E=/1024x585/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F08%2Feda111d6-f55a-4537-9ce2-3e10e96dc9ac_jpg.jpg

Nyatanya, pandangan capres-cawapres tentang lansia amat terbatas. Dari visi, misi, dan program kerja ketiga capres-cawapres yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum, ada 16 kata lansia dalam visi-misi calon nomor urut satu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, tiga kata lansia di calon nomor urut dua Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan empat kata lansia dari pasangan nomor urut tiga Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Namun, pembahasan tentang lansia umumnya terfokus pada bantuan sosial untuk lansia. Permasalahan lansia juga selalu dikelompokkan dalam persoalan fakir miskin, orang telantar, veteran atau pensiunan, serta penyandang disabilitas. Hanya visi-misi Ganjar-Mahfud yang menyebut penyediaan pekerjaan ringan dan sederhana bagi lansia yang masih ingin bekerja.

Baca juga: Lansia dan Masa Depan Indonesia

”Meski jumlahnya terus meningkat signifikan, isu kelanjutusiaan belum menjadi arus utama dalam visi, misi, dan program kerja capres-cawapres,” tambah Direktur Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (CeFAS) Universitas Respati Indonesia, Jakarta, Susiana Nugraha.

Ketidakjelasan konsep capres-cawapres terkait lonjakan lansia itu tidak bisa dilepaskan dari lemahnya sikap mereka dalam merespons bonus demografi. Bonus demografi cenderung dipandang sebagai sesuatu yang indah dan pasti. Padahal, meski namanya bonus, banyak prasyarat harus dilakukan sebuah negara agar bonus itu berbuah menjadi berkah, bukan bencana demografi.

Hasan (72) merawat tanaman terongnya di sebuah lahan milik seorang tuan tanah, di kawasan Pondok Cabe Udik, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (11/8/2023). Selama sekitar 20 tahun, Hasan menjadi petani penggarap dan masih produktif di usia senjanya. Seiring peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka kelahiran, komposisi penduduk lansia pun terus meningkat, pada 2045 diperkirakan mencapai 25 persen (sekitar 61,4 juta).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hasan (72) merawat tanaman terongnya di sebuah lahan milik seorang tuan tanah, di kawasan Pondok Cabe Udik, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (11/8/2023). Selama sekitar 20 tahun, Hasan menjadi petani penggarap dan masih produktif di usia senjanya. Seiring peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka kelahiran, komposisi penduduk lansia pun terus meningkat, pada 2045 diperkirakan mencapai 25 persen (sekitar 61,4 juta).

Lonjakan jumlah lansia itu, lanjut Sukamdi, perlu disikapi secara responsif dan terfokus. Agar bonus demografi tahap kedua bisa berbuah, butuh pijakan kuat saat memasuki bonus demografi tahap pertama, yaitu saat rasio ketergantungan mulai turun hingga mencapai puncak terendahnya.

Pada tahap pertama bonus demografi tersebut, besarnya kelompok penduduk produktif itu perlu disediakan kesempatan kerja bermakna, bukan sekadar bekerja. Artinya, mereka mendapat pendapatan layak dan tunjangan sosial memadai. Dengan demikian, mereka bisa menabung dan berinvestasi untuk mempersiapkan kehidupan di hari tuanya.

Meski jumlahnya terus meningkat signifikan, isu kelanjutusiaan belum menjadi arus utama dalam visi, misi, dan program kerja capres-cawapres.

Jika persiapan pada tahap pertama bonus demografi saja masih tertatih-tatih, respons bonus demografi tahap kedua dipastikan lebih sulit. Saat jumlah warga lansia terus melonjak, tetapi mereka belum sempat menjadi ”kaya”, warga lansia justru akan menjadi beban bagi penduduk produktif, memberatkan ekonomi negara, dan rentan menarik Indonesia dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

Ekonomi dan sosial

Pandangan ketiga capres-cawapres yang tertulis dalam visi, misi, dan program kerja mereka sejatinya adalah cerminan masyarakat memandang lansia. Lansia kerap dianggap sebagai sosok lemah, sakit-sakitan, telantar, tak perlu bekerja, harus memperbanyak ibadah, dan tinggal menanti akhir kehidupan. Padahal, seiring bertambahnya usia harapan hidup sebagai konsekuensi keberhasilan pembangunan, jumlah warga lansia sehat dan produktif menjadi naik.

Susiana mengatakan, proses penuaan merupakan sesuatu yang pasti, bersifat progresif, dan tidak bisa dihentikan. Seiring bertambahnya usia, fungsi sel dan organ dalam tubuh pasti akan menurun hingga menyebabkan penurunan fisiologis dan kognitif mereka.

Puncak bonus demografi terjadi antara 2020 dan 2024, saat rasio ketergantungan mencapai 44, artinya 100 penduduk usia produktif umur 15-65 tahun menanggung 44 penduduk usia tidak produktif, baik anak-anak maupun lansia. Setelah 2024, Indonesia memasuki akhir masa bonus demografi dan bonus demografi akan berakhir tahun 2041.
TANGKAPAN LAYAR BUKU

Puncak bonus demografi terjadi antara 2020 dan 2024, saat rasio ketergantungan mencapai 44, artinya 100 penduduk usia produktif umur 15-65 tahun menanggung 44 penduduk usia tidak produktif, baik anak-anak maupun lansia. Setelah 2024, Indonesia memasuki akhir masa bonus demografi dan bonus demografi akan berakhir tahun 2041.

Pada satu titik, proses penuaan tersebut akan menghasilkan dua kelompok lansia, yaitu lansia yang membutuhkan perawatan jangka panjang (long-term care) dan lansia yang masih sehat, mandiri, dan bisa produktif sesuai dengan umurnya.

Namun, paradigma masyarakat dan kebijakan pemerintah saat ini hanya memandang lansia sebagai kelompok yang membutuhkan perawatan jangka panjang. Hal ini mengakibatkan lansia hanya dipandang sebagai kelompok populasi yang patut dikasihani. Sementara lansia yang masih produktif dan bisa berkontribusi untuk masyarakat dan negara justru terabaikan.

Baca juga: Lansia Bukanlah Manusia Sia-sia

Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023 menyebut indikator kesehatan lansia diukur dari persentase lansia yang mengalami keluhan kesehatan dan angka kesakitan (morbiditas) lansia. Pada 2023, sebanyak 41,49 persen memiliki keluhan kesehatan fisik dan psikis dalam sebulan terakhir. Sementara angka kesakitan lansia yang menunjukkan terganggunya aktivitas lansia akibat keluhan kesehatan 19,72 persen. Artinya, jumlah lansia sehat jauh lebih besar.

Selain itu, 53,93 persen lansia masih bekerja dan 30,10 persen dari populasi warga lansia mengurus rumah tangga. Mereka umumnya tidak memiliki jaminan hari tua dan pensiun. Sebanyak 78,69 persen dari populasi lansia saat ini berpendidikan maksimal sekolah dasar (SD) atau tidak tamat SD.

Lansia yang masih bekerja umumnya di sektor pertanian, manufaktur, dan jasa yang membutuhkan kekuatan fisik, sedikit konsentrasi, dan tidak memerlukan tingkat pendidikan tertentu. Di masa depan, bukan hanya usia harapan hidup lansia yang membaik, tetapi juga tingkat pendidikan dan melek teknologinya.

Seorang warga lanjut usia membaca surat kabar saat menunggu tokonya di Pasar Lama, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (29/5/2021). Lansia merupakan mereka yang masuk ke dalam kelompok usia 60 tahun ke atas. Masih banyak dijumpai lansia yang tetap produktif beraktivitas dalam keseharian mereka.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Seorang warga lanjut usia membaca surat kabar saat menunggu tokonya di Pasar Lama, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (29/5/2021). Lansia merupakan mereka yang masuk ke dalam kelompok usia 60 tahun ke atas. Masih banyak dijumpai lansia yang tetap produktif beraktivitas dalam keseharian mereka.

”Kondisi lansia memang beragam. Karena itu, lansia yang masih sehat, mandiri, dan produktif perlu diperhatikan juga, bukan hanya lansia yang membutuhkan perawatan jangka panjang, miskin dan telantar yang memang menjadi kewajiban negara,” kata Susiana.

Sukamdi menambahkan, pemerintah seharusnya menjamin kesempatan bagi warganya untuk mendapat penghasilan layak dalam sektor apa pun sehingga saat sudah tidak bekerja atau pensiun, mereka tetap bisa hidup layak. Namun, saat ini, sebagian besar masyarakat justru bekerja di sektor informal yang minim jaminan dan perlindungan kesejahteraan sosial, terutama pensiun. Akibatnya, saat menjadi lansia nanti, mereka tetap harus bekerja agar hidup.

Lonjakan jumlah warga lansia produktif ini akan membuka peluang bonus demografi kedua untuk Indonesia. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan struktur pekerjaan yang memungkinkan warga lansia untuk bisa bekerja, tanpa mengabaikan penyediaan lapangan kerja bagi penduduk usia produktif. Selama ini, usulan pemberian kerja bagi warga lansia selalu dianggap mengurangi kesempatan penduduk yang lebih muda.

Baca juga: Lansia Butuh Layanan Kesehatan Terintegrasi

Iklan

Jika berkaca pada negara lain, pemberian pekerjaan untuk warga lansia itu sangat beragam. Di Singapura, banyak warga lansia bekerja sebagai pembersih toilet di bandar udara atau pramusaji di hotel. Di Belanda, warga lansia dimungkinkan untuk bekerja sebagai pengirim paket barang atau makanan. Sementara di Jepang, sejumlah industri menyubkontrakkan pekerjaan mereka kepada warga lansia untuk dikerjakan di rumah.

Untuk menghindari benturan dengan orang muda, di Jepang ada kafe yang dikhususkan untuk warga lansia dan juga dilayani oleh warga lansia pada hari-hari tertentu. Pada hari lain, kafe itu dikelola orang muda dan terbuka untuk siapa saja.

https://cdn-assetd.kompas.id/KS5Sxkcx_u5lEPeLPySS-b1lKmg=/1024x1713/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F12%2F22%2F20211222-H08-LHR-Penduduk-lansia-mumed_1640182662_jpg.jpg

”Pemberian pekerjaan untuk lansia perlu disesuaikan dengan budaya Indonesia,” kata Sukamdi.

Sistem kerja subkontrak seperti di Jepang lebih cocok diterapkan di Indonesia. Sistem tersebut memungkinkan warga lansia tetap berada di rumah yang lebih aman dan nyaman serta menghindarkan mereka dari risiko jatuh atau kelelahan di jalan.

Pemberian keterampilan kerja baru bagi pralansia atau lansia juga perlu disiapkan. Pemberian keterampilan baru ini tidak melulu harus menghasilkan uang karena tidak semua warga lansia membutuhkan uang karena memiliki jaminan hari tua dan pensiun memadai.

Warga lansia perlu diberikan aktivitas sehingga bisa mengisi hari tuanya secara produktif. Pekerjaan dan aneka keterampilan baru itu penting bagi warga lansia sebagai sarana aktualisasi diri, tidak langsung membuang pengalaman kerja yang mereka miliki selama puluhan tahun, serta membuat mereka tetap aktif.

”Semakin lansia tidak aktif, hanya duduk-duduk saja, maka proses penurunan kemampuan fisik dan kognitifnya justru akan semakin cepat sehingga mereka lebih cepat sakit, tidak mandiri, hingga memunculkan banyak masalah psikososial,” tambah Susiana.

Finlandia membentuk pusat-pusat kegiatan lansia (elderly center) di sejumlah kawasan permukiman. Di tempat itu, warga lansia bisa mempelajari banyak keterampilan baru, mulai dari merajut, menenun, hingga pertukangan. Di tempat itu mereka juga bisa berolahraga, membaca di perpustakaan, memeriksakan kesehatan fisik dan mental, atau sekadar berkumpul bersama teman.

Warga lansia berjemur di perkampungan padat di bantaran Kali Ciliwung, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (5/4/2020). Di tengah ancaman pandemi Covid-19, warga yang tinggal di kampung padat penduduk ini berusaha untuk tetap bugar dengan berolahraga dan berjemur di pagi hari.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga lansia berjemur di perkampungan padat di bantaran Kali Ciliwung, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (5/4/2020). Di tengah ancaman pandemi Covid-19, warga yang tinggal di kampung padat penduduk ini berusaha untuk tetap bugar dengan berolahraga dan berjemur di pagi hari.

Di Indonesia, kegiatan sosial warga lansia umumnya terfokus pada aktivitas keagamaan dan kegiatan dengan keluarga dan lingkungan. Aktivitas ekonomi warga lansia umumnya terpusat di pasar-pasar tradisional yang makin tergerus zaman.

Pemerintah sebenarnya memiliki posyandu lansia yang kegiatannya terfokus pada pemeriksaan kesehatan. Namun, belum adanya aktivitas produktif terkoordinasi di posyandu lansia membuat sebagian warga lansia enggan mengakses kegiatan ini.

Perawatan jangka panjang

Di luar persoalan pekerjaan dan aktivitas sosial, lanjut Sukamdi, Indonesia juga belum memiliki model perawatan lansia. Selama ini, perawatan lansia dilakukan hanya berdasarkan budaya yang menempatkan orangtua sebagai tanggung jawab anak.

Karena itu, banyak warga masih berpandangan untuk menggantungkan hari tuanya pada anak-anak mereka. Anak masih dianggap sebagai alat investasi untuk merawat mereka di hari tua. Pandangan tersebut juga masih kuat pada anak muda, bahkan menjadi pendorong kuat untuk menikah dan memiliki anak.

Padahal, tantangan zaman mulai berubah. Banyak anak tidak bisa merawat orangtuanya karena tinggal di kota, bahkan negara berbeda. Keterbatasan ekonomi juga membuat anak kesulitan merawat orangtuanya. Akibatnya, makin mudah ditemukan warga lansia ”telantar”. Walau tinggal serumah dengan anaknya, banyak warga lansia ditempatkan di kamar pengap di belakang rumah, dengan perawatan dan makanan seadanya, bahkan jarang diajak komunikasi.

Bapak Hadi (86) dan Ny Hadi (83), agen koran <i>Kompas </i>di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (13/8/2019). Mereka masih aktif berbisnis, antara lain dengan menjual koran <i>Kompas</i> bagi pelanggan di Kudus.
TITUS KITOT UNTUK KOMPAS

Bapak Hadi (86) dan Ny Hadi (83), agen koran Kompas di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (13/8/2019). Mereka masih aktif berbisnis, antara lain dengan menjual koran Kompas bagi pelanggan di Kudus.

Di sisi lain, menempatkan orangtua di panti wreda atau griya lansia masih dianggap ”membuang” orangtua. Panti jompo yang bisa diakses warga lansia pun sangat terbatas kapasitasnya, khususnya rumah lansia milik pemerintah. Griya lansia swasta juga hanya bisa diakses warga lansia dari kelompok ekonomi menengah atas. Sementara perawat warga lansia Indonesia justru makin banyak dikirim ke luar negeri.

Upaya promotif dan preventif untuk menjadikan warga lansia sehat dan produktif di masa tua juga belum banyak dilakukan. Selama ini upaya menciptakan kesehatan di hari tua bergantung pada kesadaran individu, belum banyak campur tangan negara. Harga pangan sehat terjangkau, fasilitas publik yang membuat warga aktif bergerak, hingga bebas beredarnya produk yang membahayakan kesehatan makin menempatkan warga dalam posisi sulit untuk hidup sehat.

Dalam kondisi itu, wajar jika usia harapan hidup masyarakat rendah. Usia harapan hidup manusia Indonesia pada 2019 mencapai 71,34 tahun, tetapi usia harapan hidup sehatnya hanya 62,8 tahun. Artinya, 8,5 tahun sisanya dijalani warga lansia dalam kondisi sakit. Tahun 2023, usia harapan hidup masyarakat Indonesia sudah mencapai 73,74 tahun. Meski angka harapan hidup sehatnya belum tersedia, banyak pihak diyakini belum akan mengalami peningkatan berarti.

Di tengah berbagai keterbatasan itu, tambah Susiana, sebenarnya perawatan warga lansia berbasis komunitas seperti yang diterapkan di Thailand bisa dilaksanakan di Indonesia. Perawatan lansia, khususnya yang tinggal sendiri tanpa ada anak atau keluarganya, tak bisa lagi sepenuhnya diserahkan kepada tetangga karena tiap rumah tangga juga memiliki masalahnya sendiri.

Warga lansia di Desa Karanganyar di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, masih aktif membuat gerabah, seperti terlihat beberapa waktu lalu. Pemerintah Kota Magelang saat ini berupaya menggerakkan warga lansia untuk menekuni usaha produktif serupa.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Warga lansia di Desa Karanganyar di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, masih aktif membuat gerabah, seperti terlihat beberapa waktu lalu. Pemerintah Kota Magelang saat ini berupaya menggerakkan warga lansia untuk menekuni usaha produktif serupa.

Thailand memberikan insentif bagi kader yang membantu memantau warga lansia di lingkungan mereka dan melaporkan kondisi warga lansia tersebut kepada petugas puskesmas yang bertanggung jawab. Proses ini membuat perkembangan kondisi warga lansia selalu terpantau dan menghindarkan warga lansia dari kodokushi alias meninggal dunia tanpa diketahui orang lain, yang juga sudah beberapa kali terjadi di Indonesia.

Warga lansia yang masih sehat dan produktif inilah yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah ke depan. Siapa pun capres-cawapres terpilih dalam pemilu 14 Februari 2024 perlu melakukan pembangunan berwawasan kependudukan.

Pembangunan manusia yang dijalankan juga harus disesuaikan dengan siklus kehidupan manusia, dari janin hingga meninggal, bukan hanya memperhatikan satu aspek atau satu kelompok populasi saja.

Kebijakan prolansia

Selain konsep pembangunan lansia yang lebih terstruktur dan komprehensif, pembangunan lansia juga butuh payung hukum yang jelas agar tiap kebijakan yang dibuat pemerintah bisa diterapkan hingga ke level pemerintahan terendah.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia perlu diperbarui karena sudah tidak mampu menjawab tantangan zaman saat populasi sudah menua dan jumlah warga lansia mengalami lonjakan seperti sekarang.

Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan sebenarnya juga cukup baik dalam mengakomodasi pembangunan lansia yang lebih luas dan komprehensif. Namun, implementasi strategi nasional ini sulit dijalankan pemerintah daerah karena belum operasional.

Sejumlah lwarga lanjut usia melakukan senam pagi di Lapangan Merbau, Kelurahan Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (8/12/2023) pagi.
KOMPAS/KRISTI UTAMI

Sejumlah lwarga lanjut usia melakukan senam pagi di Lapangan Merbau, Kelurahan Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (8/12/2023) pagi.

Keterlibatan pemerintah daerah dalam pembangunan lansia menjadi kunci karena pemerintah daerahlah yang mengurusi penduduk langsung. Selain itu, situasi kependudukan di setiap daerah berbeda.

Provinsi yang populasinya sudah menua saat ini antara lain DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Namun, pada 2045, sesuai ”Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050”, justru DKI Jakarta-lah yang akan menjadi provinsi dengan porsi penduduk lansia terbesar, yaitu 1 dari 4 penduduk.

Situasi ini seharusnya menjadi kesadaran baru bagi pemerintah untuk menyiapkan segala sesuatu menyambut lonjakan jumlah warga lansia itu. Pembangunan kependudukan sesuai siklus kehidupan manusia, dari janin hingga meninggal, perlu diterapkan. Masalah yang dihadapi warga lansia pun bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga ekonomi, sosial, politik, budaya, hingga pembangunan infrastruktur.

Jika pembangunan lansia terus dipinggirkan, keberadaan warga lansia yang sangat besar jumlahnya itu justru akan membebani masyarakat dan negara. Karena itu, presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2024 memiliki andil besar dalam menyiapkan warga lansia di masa Indonesia Emas 2045 agar mereka tidak menjadi beban, tetapi penopang pertumbuhan ekonomi yang dimotori penduduk usia produktif.

Editor:
EVY RACHMAWATI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000