Studi terbaru menunjukkan, pengidap gangguan bipolar lebih berisiko mengalami kematian dini.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
Gangguan bipolar dapat membuat hidup menghadapi banyak tantangan. Gangguan kesehatan jiwa tersebut juga disertai dengan risiko kematian dini lebih tinggi. Karena itu, gejala gangguan bipolar perlu dikenali sejak dini agar penderita segera mendapat penanganan yang tepat.
Studi terbaru menunjukkan besarnya risiko itu. Dalam dua kelompok berbeda, penderita gangguan bipolar 4-6 kali lebih mungkin mengalami kematian dini daripada orang-orang tanpa gangguan bipolar. Adapun perokok berisiko dua kali lebih tinggi mengalami kematian dini dibandingkan dengan mereka yang tak merokok.
Tim peneliti dari Universitas Michigan (UM), tempat riset jangka panjang terhadap orang-orang dengan gangguan bipolar, melaporkan temuan mereka tersebut di jurnal Psychiatry Research. Perbedaan mencolok dalam angka kematian, kesehatan, dan gaya hidup kemungkinan berkontribusi pada hal ini.
”Selama ini gangguan bipolar dipandang sebagai faktor risiko kematian, tetapi selalu dilihat dari penyebab umum kematian lainnya,” kata Anastasia Yocum, PhD, penulis utama studi itu dan manajer data program penelitian di Program Riset Bipolar Heinz C Prechter, dikutip Sciencedaily, 4 Januari 2024.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pada 2019 tercatat terdapat sekitar 40 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan bipolar. Orang dengan gangguan bipolar mengalami episode depresi bergantian dengan periode gejala manik dan berisiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
Selama episode depresi, orang tersebut mengalami suasana hati tertekan (merasa sedih, mudah tersinggung, dan hampa) atau kehilangan kesenangan dan minat dalam beraktivitas sepanjang hari. Sementara gejala manik antara lain euforia atau mudah tersinggung, energi meningkat, dan perilaku impulsif.
Selama ini gangguan bipolar dipandang sebagai faktor risiko kematian, tetapi selalu dilihat dari penyebab umum kematian lainnya.
Laki-laki ataupun perempuan memiliki risiko sama mengalami gangguan bipolar, serta bisa terjadi pada orang-orang dari berbagai latar belakang dan segala usia, terutama usia 15-35 tahun. Meski belum diketahui penyebab pastinya, faktor genetika dan kehidupan penuh tekanan berperan memicu masalah mental ini.
Studi jangka panjang
Untuk memahami besarnya risiko kematian dini pada orang dengan gangguan bipolar, Yocum dan timnya, termasuk Direktur Program Prechter Melvin McInnis, MD, mengamati kematian dan faktor terkait pada 1.128 sukarelawan dengan dan tanpa gangguan bipolar dalam studi jangka panjang.
Studi menemukan, semua, kecuali dua orang, dari 56 kematian sejak studi dimulai pada 2006 dari kelompok partisipan dengan gangguan bipolar. Analisis menunjukkan gangguan bipolar membuat seseorang enam kali lebih mungkin meninggal dalam 10 tahun daripada mereka yang tanpa gangguan bipolar.
Sebagai perbandingan, peserta riset yang pernah merokok atau berusia di atas 60 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk meninggal dalam waktu sama dibandingkan orang yang tidak pernah merokok atau berusia di bawah 60 tahun, terlepas dari status bipolarnya.
Kemudian, para peneliti beralih ke sumber data lain untuk melihat apakah mereka dapat menemukan efek sama. Mereka menganalisis catatan pasien anonim selama bertahun-tahun dari sekitar 18.000 orang yang mendapatkan perawatan primer melalui Michigan Medicine, pusat medis akademik UM.
Di antara kelompok ini, pengidap gangguan bipolar empat kali lebih mungkin meninggal selama masa riset daripada mereka yang tanpa gangguan bipolar. Tim mempelajari catatan lebih dari 10.700 orang dengan gangguan bipolar dan kelompok pembanding, yakni 7.800 orang tanpa gangguan kejiwaan.
Pengidap hipertensi lima kali lebih mungkin meninggal daripada mereka dengan tekanan darah normal, perokok dua kali lebih mungkin meninggal dibandingkan mereka yang tak merokok, dan mereka yang berusia di atas 60 tahun tiga kali lebih mungkin meninggal. Ketiganya tanpa melihat status bipolar.
Aksi nyata
”Kami menemukan penderita gangguan bipolar memiliki risiko kematian dini jauh lebih besar dibandingkan perokok,” kata McInnis, Profesor Psikiatri di UM Medical School. Temuan ini diharapkan mendorong lebih banyak aksi mengatasi faktor risiko kematian tinggi pada orang dengan gangguan bipolar.
Yocum dan McInnis mencatat penderita gangguan bipolar pada kedua kelompok jauh lebih mungkin pernah merokok dibandingkan dengan orang-orang tanpa gangguan bipolar. Ada 47 persen dari pasien UM dengan bipolar memiliki riwayat merokok, begitu pula 31 persen peserta Prechter dengan gangguan bipolar.
Dalam kelompok Prechter, pengidap gangguan bipolar lebih mungkin menderita asma, diabetes, dan hipertensi daripada mereka yang tanpa gangguan bipolar. Peserta dengan gangguan bipolar yang juga perokok punya risiko kematian dua kali lebih tinggi daripada pengidap gangguan bipolar, tetapi tidak merokok.
Penelitian sebelumnya menunjukkan orang dengan gangguan bipolar lebih mungkin menderita sindrom metabolik. Hal ini menempatkan mereka pada risiko lebih tinggi terkena diabetes dan penyakit kardiovaskular karena kombinasi faktor terkait ukuran pinggang, kolesterol, gula darah, dan tekanan darah.
Yocum dan McInnis mengutarakan, temuan yang ada perlu dikombinasikan riset tentang status kesehatan, perilaku berisiko kesehatan, dan penyebab kematian spesifik pada pengidap gangguan bipolar. Hal ini bisa jadi masukan untuk upaya meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup penderita gangguan bipolar.