Minat Anak Muda Indonesia Melanjutkan Studi ke Luar Negeri Meningkat
Rata-rata usia mahasiswa yang melamar untuk mendapatkan beasiswa S-3 ke luar negeri saat ini adalah 33 tahun.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minat generasi muda untuk melanjutkan studi ke luar negeri semakin meningkat, kesempatan untuk mendapatkan beasiswa yang tersedia pun semakin beragam. Ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk mencetak dan memanfaatkan generasi terpelajar menuju Indonesia Emas 2045.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, tren usia mahasiswa yang melamar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan doktor (S-3) ke luar negeri kini semakin muda. Pada 2022, rata-rata usia pelamar adalah 33 tahun atau sekitar tujuh tahun lebih muda daripada rata-rata usia pada 12 tahun lalu.
”Jadi Indonesia akan semakin optimistis untuk menatap masa depan karena generasi mudanya semakin muda yang sekolah sampai ke jenjang tertinggi atau jenjang doktoral,” kata Kepala Balai Pembiayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anton Rahmadi dalam diskusi yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPI Dunia) di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, Sabtu (6/1/2024).
Selain melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), pemerintah juga menyediakan program beasiswa studi dalam dan luar negeri lainnya. Mulai dari Beasiswa Indonesia Maju (BIM), beasiswa untuk calon dosen perguruan tinggi (S-2), calon guru SMK (S-1), dosen pendidikan profesi guru, dosen pendidikan tinggi (S-3), dosen pendidikan akademik dan vokasi (S-3), pelaku budaya (S-1 hingga S-3), serta untuk pendidik dan tenaga kependidikan (S-2 hingga S-3).
Sedikitnya 19,5 juta orang sudah menerima berbagai beasiswa ini. Menurut Anton, hal ini dilakukan demi membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia, seperti mengejar target pemenuhan doktor di perguruan tinggi sebesar 20 persen dan membangun SDM yang berkualitas internasional.
Sekertaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti menambahkan, pelajar yang melanjutkan studi ke luar negeri memiliki kesempatan lebih untuk melihat dunia dari perspektif global. Namun, dia menegaskan, bukan berarti mahasiswa di dalam negeri tidak memiliki kompetensi selevel.
”Jiwa global sudah tentu dibutuhkan di era keterbukaan seperti sekarang karena kita tidak hanya menjadi warga negara Indonesia, tetapi juga menjadi masyarakat dunia,” kata Suharti.
Kalau Anda ingin Indonesia Emas 2045 artinya kita harus berjuang dari sekarang. Ini memerlukan pengetahuan dan kemampuan global.
Menurut Komisaris Omega Education Group Soebowo Musa, dunia pendidikan hari ini tidak lagi terbatas oleh wilayah negara. Dengan kemajuan teknologi digital, seseorang bisa belajar dari mana pun dan kapan pun. Namun, studi di luar negeri bisa memberikan pengalaman dan wawasan yang tidak ada di internet.
Transformasi yang semakin cepat ini adalah tantangan sehingga seseorang yang akan studi ke luar negeri perlu memperkirakan studi apa yang akan berguna di masa depan. Oleh karena itu, generasi muda seharusnya mempunyai kompetensi yang lebih jika bisa mengoptimalkan kemajuan dunia.
”Kalau Anda ingin Indonesia Emas 2045, artinya kita harus berjuang dari sekarang. Ini memerlukan pengetahuan dan kemampuan global,” tutur Soebowo.
Pengetahuan dan kemampuan global ini diperlukan agar para pelajar bisa memiliki pemikiran yang kritis tanpa kekhawatiran. Misalnya, mahasiswa harus berani berdebat secara intelektual dengan dosen saat membahas sebuah permasalahan tanpa merendahkan.
Para dosen atau orangtua juga perlu mengubah pola pikir bahwa dalam dunia pendidikan semua berhak mendapatkan posisi yang setara. Budaya senioritas tidak boleh lagi berlaku jika menginginkan perubahan yang lebih baik.
”Di Indonesia ini pemikiran kritik dianggap tidak sopan, padahal kritik tidak ada hubungannya antara sopan dan tidak sopan. Jadi, benahi dulu pemikiran kritis, maka pemikiran kreatifnya otomatis akan jalan,” ucapnya.
Koordinator PPI Dunia Hamzah Assuudy Lubis mengatakan, mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri juga perlu berjejaring untuk pengembangan diri. PPI yang tersebar di 62 negara di tiga kawasan, yaitu Asia-Oseania, Amerika-Eropa, dan Timur Tengah-Afrika, menjadi wadah untuk saling bertukar ilmu dan pikiran sesama diaspora Indonesia.
PPI Dunia yang dulunya bernama Indonesische Vereeniging digagas Mohammad Hatta pada 1922 telah menjadi wadah pemikiran anak muda demi bangsa Indonesia merdeka. Saat ini, mereka terus bergerak dalam bidang pendidikan, penelitian, pelatihan, lokakarya, pengabdian kepada masyarakat, dan turut mempromosikan UMKM Indonesia ke luar negeri.