Evolusi Kalender Masehi
Tahun Baru 1 Januari 2024 berlalu. Berusia lebih dari 2000 tahun, sistem penanggalan ini memiliki akar yang lebih lama.
Perayaan Tahun Baru 1 Januari 2024 telah berlalu. Kini, 8,1 miliar penduduk Bumi memasuki periode baru perputaran Bumi mengelilingi Matahari. Meski bukan kalender pertama yang digunakan umat manusia, kalender Masehi menjadi sistem penanggalan paling banyak digunakan hingga kini.
Peradaban pertama yang tercatat memakai kalender dan merayakan tahun baru adalah bangsa Babilonia di wilayah Mesopotamia atau di Irak sekarang. Sejak 2.000 tahun sebelum Masehi (SM), mereka sudah merayakan Akitu, perayaan tahun baru yang berlangsung selama 12 hari. Tahun baru ini, seperti ditulis Time, 29 Desember 2023, dimanfaatkan untuk penobatan raja baru atau penegasan kembali kesetiaan kepada raja.
Tahun baru bangsa Babilonia itu ditandai sebagai fase Bulan (moon) baru pertama setelah vernal equinox alias titik musim semi di belahan Bumi utara. Ekuinoks musim semi ini terjadi saat Matahari tepat di atas khatulistiwa dan mulai bergerak ke utara yang menandai akhir musim dingin dan datangnya musim semi di Bumi bagian utara. Dalam penanggalan saat ini, ekuinoks musim semi itu terjadi antara 19-21 Maret.
Patokan vernal equinox sebagai awal tahun baru itu juga digunakan pada sejumlah kalender bangsa-bangsa di Bumi utara, termasuk kalender Romawi yang menjadi cikal bakal kalender Masehi saat ini. Kalender Romawi yang ada pada 753 SM, saat kota Roma didirikan oleh Romulus, terdiri atas 10 bulan (month) dari Maret-Desember dan panjangnya 304 hari. Bulan ke-1, 3, 5, dan 8 berisi 31 hari dan sisanya 30 hari.
Kalender Romawi ini adalah kalender pertanian. Antara Desember-Maret ada jeda 60 hari yang merupakan puncak musim dingin dan tidak dimasukkan dalam kalender karena tidak ada aktivitas pertanian.
Setelah jeda musim dingin, seperti ditulis di Livescience, 11 November 2020, dimulailah putaran tahun baru dengan bulan pertama Martius alias Maret. Bulan Maret ini juga dijadikan bulan awal konsul-konsul baru menjabat di kerajaan Romawi. Konsul ini semacam hakim yang dipilih untuk bersama-sama mengatur negara.
Selanjutnya, Numa Pompilius, pengganti Romulus, pada tahun 713 SM mengubah kalender dengan memasukkan sebagian hari yang sebelumnya tidak masuk dalam kalender dan membaginya dalam dua bulan, yaitu Ianuarias (Januari) sebagai bulan ke-11 dengan panjang 29 hari dan Februarius jadi bulan ke-12 dengan panjang 28 hari.
Baca juga: Mengapa Bulan Februari Hanya Punya 28 Hari?
Penambahan dua bulan itu dilakukan karena seiring zaman, kalender tidak lagi hanya digunakan untuk pertanian, tapi juga administrasi pemerintahan. Dengan perubahan ini, satu tahun kalender Romawi menjadi 355 hari.
Belakangan disadari bahwa tahun baru 1 Maret makin maju dan jatuh pada musim yang salah. Karena itu, dikenalkan bulan tambahan atau kabisat bernama Intercalaris atau Mercedonius dengan panjang 27 hari dan digunakan dua tahun sekali atau disebut tahun kabisat.
Pada tahun kabisat ini, panjang bulan Februarius yang semula 28 hari menjadi 23 hari atau 24 hari. Konsekuensinya, jumlah hari dalam setahun secara berurutan dalam empat tahun adalah 355 hari, 377 hari, 355 hari, dan 378 hari. Namun, penggunaan Intercalaris ini belakangan justru disalahgunakan untuk memperpanjang atau memperpendek masa jabatan seseorang.
Pergeseran awal tahun baru dari 1 Maret ke 1 Januari diperkirakan mulai terjadi pada tahun 450 SM. Saat itu, Pemerintah Romawi sudah menjadikan 1 Januari sebagai awal tahun birokrasi meski untuk keperluan keagamaan masih menggunakan 1 Maret sebagai patokan. Menurut sumber lain, pergeseran tahun birokrasi itu baru terjadi tahun 153 SM saat pelantikan konsul diubah dari Maret ke Januari.
Dengan perubahan ini, Ianuarias dan Februarius menjadi bulan ke-1 dan ke-2. Perubahan ini membuat nama bulan menjadi tidak sesuai dengan urutannya, terutama bulan September, Oktober, November, hingga Desember yang secara maknawi berarti bulan ke-7 hingga ke-10. Pengubahan ini membuat keempat bulan itu berada di urutan bulan ke-9 hingga ke-12 seperti sekarang.
Penanggalan Matahari
Sejak Intercalaris dikenalkan, panjang rata-rata hari dalam setahun kalender Romawi sebesar 366,25 hari masih belum sama dengan periode revolusi Bumi. Kerumitan itu terjadi karena penyusunan bulan dalam kalender masih memakai siklus revolusi Bulan mengelilingi Bumi selama 29,5 hari, sedangkan panjang tahunnya mengikuti revolusi Bumi memutari Matahari.
Karena itu, Julius Caesar pada tahun 46 SM meminta Sosigenes, ahli astronomi dan matematika, untuk membuat kalender Romawi murni berbasis penanggalan Matahari. Perubahan yang berlaku mulai tahun 45 SM itu menjadikan susunan dan panjang bulan dalam kalender Romawi menjadi seperti yang digunakan saat ini.
Kalender tersusun atas 12 bulan dari Januari-Desember dengan panjang hari dalam tujuh bulan pertama adalah 31 hari untuk bulan ganjil dan 30 hari untuk bulan genap. Ketentuan ini dibalik pada lima bulan terakhir, yaitu 31 hari untuk bulan genap dan 30 hari untuk bulan ganjil. Khusus Februari, panjangnya ditetapkan 28 hari.
Baca juga: Mengapa Desember Jadi Bulan Ke-12 dalam Kalender Masehi?
Pada sistem baru ini, panjang satu tahun adalah 365 hari. Setiap empat tahun sekali, pada tahun keempat, akan ditambahkan satu hari sebagai tahun kabisat sehingga panjang rata-rata setiap tahun adalah 365,25 hari. Perubahan ini membuat nama kalender Romawi pun bergeser menjadi kalender Julian yang merujuk pada nama sang kaisar.
Seiring berkembangnya kekuasaan Romawi, penggunaan kalender Julian pun ikut meluas di beberapa wilayah Eropa. Namun, awal tahun barunya belum serentak. Sampai abad pertengahan Masehi, sekitar abad ke-15, sebagian masyarakat merayakan tahun baru pada 25 Desember seiring datangnya hari Natal. Sementara di wilayah lain, ada yang merayakan tahun baru pada 25 Maret.
Meski demikian, penggunaan epoch kalender Masehi baru dilakukan pada abad ke-6. Epoch adalah patokan awal tahun dalam setiap kalender. Pemakaian epoch ini membuat sebuah sistem penanggalan memiliki angka tahun yang ajek dan menjadi ciri kalender modern.
Pemakaian epoch kelahiran Yesus sebagai awal tahun dalam kalender Julian itu digagas biarawan Eropa Timur Dionysius Exiguus pada tahun 525 setelah kelahiran Yesus. Dari sini, seperti dikutip ABC News, 23 November 2012, muncul konsep tahun Anno Domini (AD) yang artinya tahun Tuhan. Dalam bahasa Arab yang kemudian diadopsi masyarakat Indonesia, istilah AD itu disebut Masehi. Berikutnya juga dikenal istilah Before Christ (BC) untuk menyebut tahun sebelum kelahiran Yesus atau SM.
Meski demikian, penggunaan epoch itu menimbulkan kontroversi karena dianggap tidak tepat. Yesus, seperti ditulis dalam buku Paus Benediktus XVI, diperkirakan lahir beberapa tahun sebelum epoch kalender Masehi itu dimulai. Kontroversi ini tentu baru berkembang setelah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memprediksi Yesus lahir pada tahun 7 SM-2 SM.
Belum sempurna
Setelah kalender Julian berlangsung sekitar 1.500 tahun, mulai ditemukan adanya kejanggalan. Konsili Nicea tahun 325 Masehi menetapkan hari raya Paskah jatuh pada Minggu pertama setelah bulan purnama pertama setelah ekuinoks musim semi. Ketetapan ini untuk membuat perayaan Paskah benar-benar terjadi seperti saat Yesus dibangkitkan.
Berabad-abad kemudian, hari Paskah terjadi makin maju sehingga tidak sesuai dengan musimnya. Karena itu, Paus Gregorius XIII mereformasi kalender Julian pada tahun 1582 dengan mengubah ketentuan tentang tahun kabisat. Jika semula tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat, kini ditambahkan ketentuan dengan tahun yang habis dibagi 400 untuk tahun abad atau tahun kelipatan 100.
Hasilnya, tahun 1700, 1800, 1900, dan 2100 bukan tahun kabisat. Dengan demikian, jika dalam kalender Julian ada 100 tahun kabisat dalam 400 tahun, maka dalam sistem baru yang disebut kalender Gregorian, merujuk nama Paus Gregorius XIII, hanya ada 97 tahun kabisat pada periode sama.
Baca juga: Kalender Masehi Masih Menyimpan Kesalahan
Selanjutnya, untuk mengatasi kelebihan hari yang terjadi, Paus memotong 10 hari dalam kalender. Pemotongan ini membuat 4 Oktober 1582 langsung diikuti tanggal 15 Oktober 1582. Artinya, tanggal 5-14 Oktober 1582 tidak pernah ada. Ketentuan inilah yang digunakan hingga kini meski adopsi di sejumlah negara butuh waktu hingga ratusan tahun. Bahkan kalender Julian tetap digunakan oleh masyarakat Kristen Ortodoks hingga kini.
Meski kini kalender Gregorian atau kalender Masehi digunakan oleh semua negara, bukan berarti sistem penanggalan ini sudah sempurna. Kalender ini masih memiliki kesalahan kecil dalam jangka ribuan tahun. Kesalahan ini juga baru disadari seiring berkembangnya ilmu astronomi modern.
Dalam kalender Gregorian, satu tahun didefinisikan sebagai waktu yang ditempuh Bumi untuk mengelilingi Matahari selama 365,25 hari, yaitu dari ekuinoks musim semi ke ekuinoks musim semi berikutnya. Dalam astronomi modern, satu tahun itu adalah waktu yang dibutuhkan Matahari untuk kembali ke posisinya yang sama di antara bintang-bintang di langit atau disebut satu tahun tropis.
Panjang satu tahun tropis ini berubah setiap tahun karena sangat bergantung pada tarikan gravitasi planet-planet lain terhadap Matahari, khususnya Jupiter. Selain itu, pergeseran arah sumbu rotasi Bumi atau presesi juga sangat memengaruhi.
Meski kini kalender Gregorian atau kalender Masehi digunakan oleh semua negara, bukan berarti sistem penanggalan ini sudah sempurna.
Menurut Time and Date, panjang rata-rata satu tahun tropis itu adalah 365 hari 5 jam 48 menit 45 detik atau 365,242189 hari. Sementara panjang satu tahun kalender Julian adalah 365,25 hari dan kalender Gregorian 365,2425 hari. Perbedaan kecil itu mungkin tidak berpengaruh jika diukur dari umur manusia. Namun, dalam 10.000 tahun, kalender Gregorian akan kelebihan 3 hari dan kalender Julian kebanyakan 78 hari.
Persoalan kelebihan hari itu akan dirasakan oleh manusia masa depan, ribuan tahun dari sekarang. Namun, apakah saat itu manusia masih menggunakan kalender Masehi atau masih eksis di Bumi, waktulah yang akan menjawab. Jika kolonisasi Mars berhasil, sistem penanggalan di sana pun akan ikut berubah sesuai revolusi Planet Mars.
Meski ada kekurangan, kalender Gregorian bukan hanya menjadi sistem penanggalan yang paling banyak digunakan manusia, tetapi juga membentuk sejarah dan evolusi manusia. Selamat Tahun Baru 2024, selamat menempuh putaran revolusi baru Bumi mengelilingi Matahari.